Skip to main content
Pijar KesadaranSpiritual

Menyadari Napas, Menyadari Anugerah Hidup

14 December 2021 Persaudaraan Matahari No Comments

Menyadari Napas

Yang banyak dialami teman-teman adalah frustasi karena mencari keterhubungan. Padahal yang selalu Mas Guru sampaikan itu adalah, menyadari kalau kita selalu terhubung dengan Gusti dan kita berusaha menyadari keterhubungan itu. Bedanya “menyadari” dengan “mencari” itu secara real-nya bagaimana? Di mana letak perbedaan menyadari keterhubungan dan mencari keterhubungan itu?

Hal-hal yang sederhana, ternyata untuk sebagian orang, itu bisa menjadi ruwet. Kita menjalankan keheningan dengan menikmati setiap tarikan dan embusan napas, merasakan dalam napas itu ada kasih murni. Dengan napas yang diberikan kepada kita, kita dikasihi oleh Tuhan. 

Pertanyaannya, “KasihNya perlu dicari atau tidak?”

Parah jika ada yang bertanya, “KasihNya yang mana, ya? Napasnya yang mana?”

Asal kita betul-betul menyadari napas kita sendiri, otomatis kita tahu bahwa, bersama napas itu kita dikasihi. Karena napas itu dikasih ke kita. 

Bahkan, banyak yang tidak sadar, kalau hidup adalah sebuah anugerah. 

Pertanyaannya, “Adakah kemungkinan orang yang tidak menyadari, kalau dirinya itu sebetulnya hidup?”

Kalau kita betul-betul memberi perhatian kepada napas kita, otomatis kita bisa merasakan aliran napas itu, otomatis merasakan dan sadar kalau kita hidup, otomatis kita mengerti juga bahwa, kita dikasihi oleh Yang Memberi Hidup.

Bagaimana kita bisa menikmati napas? Inilah yang namanya proses. Fokus kepada keheningan itu, fokus kepada prosesnya. Kalau proses ini dijalankan terus, sampai ke titik kita betul-betul memperhatikan penuh, merasakan penuh, menyadari penuh: hirup napas ke dada, hembuskan lagi, hirup lagi, tidak diatur-atur, napas yang natural. Kalau proses tersebut dijalankan terus, maka akan ada yang disebut sebagai hasil. Hasilnya, kita menyadari bahwa, kita tidak pernah terpisah dengan Tuhan, sumber kasih murni dalam diri yang disebut Hingsun/Diri Sejati.

Fokusnya ke proses menikmati napasnya, terhubungnya itu adalah hasil.

Kita tidak usah mencari yang “terhubung” itu, karena itu sudah satu paket. Saat kita menarik napas, embuskan lagi, dinikmati, maka secara otomatis “terhubung”. 

Kenapa masih dicari terhubungnya lagi? Memang yang Anda cari itu apa? Inilah akar masalahnya. Dia membayangkan, terhubung itu adalah sebuah sensasi, sehingga dia punya khayalan, bahwa ini yang namanya terhubung. Padahal jelas, saya mengatakan, “Cukup nikmati, setiap menarik napas, Anda terhubung.”

 

Menikmati Napas

Teman-teman banyak yang bertanya, “Saya sudah menikmati napas atau belum? Saya ini menikmati napas atau mikirin napas?”

Kalau kita membahas meditasi kuliner, nanti banyak yang bertanya serupa, “Mas Guru, saya sedang menikmati bakso atau tidak?”

Bertanya memang bebas. Tapi, yang sedang merasakan napas, itu Anda sendiri. Mengapa ditanyakan kepada saya?

Setiap orang yang hidup, pasti bernapas. Menikmati napas adalah Anda sadar kalau Anda bernapas. Kalau Anda bisa merasakan napas, tanpa pikirannya melayang ke sana ke mari, itu artinya Anda sedang menikmati napas. Kalau Anda bisa bersyukur dan berterima kasih atas napas Anda, itu namanya Anda menikmati napas. Tentu saja saya bisa menilai Anda, apakah Anda menikmati napas atau tidak. Tapi, sewajarnya, ya Anda sendiri yang merasakan itu. 

Dalam konteks meditasi kuliner. Saat Anda memakan tahu, Anda tidak perlu bertanya, “Mas Guru, saya sedang menikmati tahu ini atau tidak?”

Yang makan tahu, itu Anda, yang merasakan Anda. Saya hanya memberi definisi tentang menikmati tahu. Tahunya benar-benar terasa. Bukan saat Anda makan tahu, tapi di pikiran Anda yang muncul es krim atau malah berpikir waktunya bayar cicilan.

Supaya Anda bisa menikmati napas, pikiran Anda dibawa untuk penuh memperhatikan, Anda tidak menengok ke belakang atau ke depan. Kalau pikiran muncul secara tiba-tiba, tentang bayar sekolah anak atau bayar cicilan, jangan dilawan. Sadari saja semua yang dipikirkan itu. Kalau sudah disadari, diikuti pikiran ke sana ke mari, dibawa lagi menyadari napas, dan lupakan. Abaikan pikiran Anda, fokus hanya merasakan napas, menikmati napas, tidak mikirin napas itu sendiri. Itulah namanya menikmati napas. 

Jangan bertanya tentang, apakah sudah menikmati napas, karena Anda sendiri yang hidup. Kita hanya memberikan kriteria/definisi dari menikmati napas. Yang pasti, proses itu akan nampak hasilnya. 

Ada juga yang percaya diri, “Saya sudah menikmati napas, berarti saya sudah hening.”

Tapi ternyata, tidak betul-betul terhubung pada Gusti. Maka, itu bisa menjadi satu bahan untuk memberikan umpan balik, bahwa sebetulnya, dia belum menikmati napas. Untuk mengetahui dia sudah menikmati napas atau belum, tinggal dicek kualitas keterhubungannya. Keterhubungan itu berefek pada jiwa yang murni. Jika orang itu sering kesambet, itu indikasi yang pasti dan mutlak, kalau dia belum menikmati napas. Jadi, tetap harus mengajak dia, untuk memahami secara utuh. Jangan manja. Pikirannya harus jelas, kalau dia harus bertanggung jawab kepada apa yang terjadi pada dirinya. Maka bolehlah, orang dengan kasus tersebut bertanya, “Apakah saya sudah menikmati napas atau belum?” 

Kita bisa memberikan umpan balik, selama Anda belum bisa  bahagia konsisten, hidup Anda masih ruwet, Anda masih belum jernih. Nyata bahwa, itu indikasi Anda belum menikmati napas. Karena, kalau kita sudah betul-betul menikmati napas, otomatis terhubung penuh, otomatis hidup akan terselaraskan. 

Pokoknya, kalau Anda masih ruwet, berarti belum menikmati napas. Kalau sudah menikmati napas, hidup akan semakin tertata dan terselaraskan. Anda harus bisa membedakan, menikmati napas dengan ngelamunin napas. Kalau ada orang yang hidupnya ruwet, padahal sering meditasi duduk merem bersila, itu namanya bukan sedang menikmati napas, tapi sedang  ngelamunin napas atau ngelamunin yang lain-lain. Orang yang seperti ini, lebih baik nyapu, ngepel, dan seterusnya. 

Secara praktis, kalau Anda duduk diam dan Anda benar-benar hening, maka itu ada gunanya, berguna untuk diri sendiri, lama-lama berguna untuk banyak orang. Kalau Anda duduk merem bersila, tapi ruwet, maka itu tidak berguna. Anda gagal berguna untuk diri sendiri, apalagi untuk orang lain. Sekarang Anda bakar sampah, nyapu, ngepel, atau bantuin orang lain, jelas ada gunanya daripada ngelamun. Jadi orang biasa saja, masih lebih baik, daripada sok-sokan meditator (duduk merem bersila), tapi ngelamun. 

 

Hening Bukan Bentuk Pelarian

Saya melihat kecenderungan (tidak semua), terutama Anak Baru Gede (ABG) yang masih anak-anak, menjadikan laku spiritual ini sebagai pelarian, yakni lepas hidup sebagai manusia pada umumnya, lepas kewajiban dari beres-beres, lepas kehidupan dari mencari duit. Ini jadi konyol. Di Omah Gemah Ripah (OGR), kita buat aturan untuk tidak terlalu banyak duduk meditasi. Memang, meditasi formal itu perlu ada dalam sehari, dengan durasi 30-60 menit. Tapi, sisanya harus gerak dan kerja untuk membuat kehidupan ini selaras, supaya orang lain dapat manfaat dari keberadaan kita, bukan diam seharian.

Inilah yang namanya membumikan ajaran langit. Saya belajar spiritual dengan serius di usia yang relatif sudah matang. Sebelum saya belajar spiritual pun, sebagai manusia, saya sudah jatuh bangun dengan segala kisah kehidupan, seperti kegagalan, keberhasilan, pernah membangun ini-itu, pernah bekerja di mana-mana. Jadi, secara manusia, saya sudah ada track record. Sebelum saya tercerahkan dalam belajar spiritual, saya sudah banyak mempunyai karya, kemudian saya anteng. Nah, ini ada orang baru yang masih piyik (ABG), mengikuti saya dengan tidak melakukan  apa pun. Hanya diam. Ini tidak bisa, karena beda konteksnya. Saya sibuk dengan spiritualitas, saya menemukan keadaan tercerahkan dan output-nya tetap berkarya, punya bisnis. Tidak diam saja.

Ini menjadi hal penting yang harus kita bahas, karena ada teman-teman yang berspiritual di usia 20 tahunan, masih piyik-piyik (ABG). Kalau tidak kita bimbing dengan benar, mereka jadi salah jalan. Mereka menjadikan spiritualitas sebagai pelarian dari ketidakberanian menghadapi kenyataan hidup. Ini kacau. Kita harus tegas.

Wedaran oleh Setyo Hajar Dewantoro
Kajian Tangerang, 3 Oktober 2021

Share:
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda