Tercapainya tataran kesempurnaan bagi setiap jiwa itu memang bermula dari pengenalan yang utuh dan akurat terhadap diri kita sendiri. Dan, memang lakunya atau caranya tidak lain dan tidak bukan adalah keheningan. Hening berarti mendayagunakan seluruh instrumen yang ada pada diri kita sehingga kita bisa mengetahui semuanya sebagaimana adanya tanpa bias persepsi.
Lewat keheningan, kita akan mengerti bahwa realitas diri ini bukan hanya tubuh fisik. Jadi, kita bukan semata-mata kumpulan atom, semata-mata satu diri yang tersusun dari triliunan sel yang bermula dari sel tunggal yang dalam bentuk zigot. Bentuk fisik seindah apa pun dia, sekompleks apa pun dia, dia hanyalah bungkus/wadah.
Lewat keheningan, kita akan tahu apa yang menjadi isi dari wadah kendaraan ini. Si Isi itulah yang kita kenali sebagai jiwa. Dalam keheningan, kita akan menyadari bahwa di relung hati ada bentuk kesadaran yang berbeda dengan kesadaran ragawi. Ada yang menyadari di relung hati dan dia juga menyadari bahwa dirinya sudah ada sebelum tubuh ini ada. Dia yang menyadari dengan kesadaran yang murni itulah yang disebut sebagai jiwa.
Lewat keheningan, kita akan tahu bahwa Dia ada di relung hati diikat dengan tubuh fisik ini, oleh apa yang kita sebut sebagai energi hidup. Energi hidup itu disebut juga sebagai chi/prana dan bisa dibahasakan juga sebagai nyawa. Dan, pangkal dari keberadaan nyawa ini adalah nafas kita.
Dalam keheningan, Anda semua diajak untuk menyadari nafas yang natural, nafas yang alami yang itu merupakan anugerah berupa energi Semesta dalam diri Anda, yang Anda tidak ikut campur sebetulnya. Tetapi, nafas yang natural itulah yang menghidupi semua sel di diri Anda, menggerakkan semua sistem di dalam tubuh Anda, mulai dari sistem pernapasan hingga sistem pencernaan, dan lainnya.
Lewat nafas itulah Anda dibawa untuk menyadari bahwa di dalam diri ini ada Sang Jiwa, dan di balik Sang Jiwa itu ada yang disebut sebagai Diri Sejati yang keberadaannya dikenali dengan kita niteni atau memperhatikan setiap tarikan nafas. Di ujung tarikan nafas itu, kita bisa merasakan vibrasi kasih/bahagia. Itulah yang menjadi takhta dari Diri Sejati yang tidak lain dan tidak bukan adalah Gusti yang bersemayam di dalam diri.
Saat kita betul-betul terus masuk ke dalam keheningan, kita juga akan tahu apa yang menjadi asal muasal dari semuanya. Di ujung keberadaan ini ada yang kita juluki sebagai Sang Sumber yang pada realitasnya Dia adalah kekosongan yang absolut. Kekosongan yang meliputi segala yang ada. Inilah yang menjadi pangkal dari segala energi dan segala tingkatan vibrasinya, tingkatan frekuensinya. Dia pula yang kemudian menjadi asal dari segala bentuk materi dalam segala tatarannya.
Ego
Laku keheningan membuat kita menyadari diri ini secara utuh, termasuk kemudian kita mengerti apa yang disebut sebagai ego. Nah, kita sama-sama perjelas. Ada jiwa, ada tubuh, ada nyawa atau energi hidup yang mengalir ke semua bagian diri, ada Sang Sumber yang meliputi segalanya sekaligus Dia menjadi asal muasal segalanya yang Dia mengejawantah di sanubari sebagai Diri Sejati, bertakhta dan bersemayam di relung hati kita di ujung tarikan nafas. Lalu, dalam tubuh fisik ini ada seperangkat atau organ yang namanya otak. Otak ini punya fungsi linear. Dengan otak, manusia bisa mengerti tentang dirinya, bisa mengerti tentang Jagat Raya ini.
Tapi, dengan otak itu juga manusia menciptakan identitas dirinya sendiri, identitas diri yang diciptakan oleh otak itu yang disebut ego. Ego itulah yang kemudian bisa mensabotase kesadaran kita. Ketika dia maju kedepan, jiwanya dianggap tidak ada. Saat Anda marah, saat keinginan Anda tidak tercapai, apa yang bermain? Ego. Saat Anda sakit hati ketika diomelin orang yang punya maksud baik kepada Anda, apa yang bermain di sana? Ego. Ketika Anda tidak mau kalah dengan orang lain, apa yang bermain di sana? Ego.
Nah ajaran spiritual mana pun yang sejati itu mengajak kita supaya,
- Mengakui ego, bahwa memang ego nyata ada sebagaimana kita mengakui adanya jiwa dan Diri Sejati.
- Kita bisa menghadapi dinamika ego kita sendiri dan kita bisa mengatasi elemen-elemen destruktif dari ego kita sampai pada suatu titik nanti kita bisa melampaui ego kita. Melampaui ego itu berarti egonya telah sirna, luruh di dalam kesatuan dengan Diri Sejati dengan Sang Sumber Kehidupan.
Pembelajaran spiritual itu mengarahkan kita ke titik sampai kita bisa melampaui ego kita.
Wedaran oleh Setyo Hajar Dewantoro
Kajian Bandung, 24 Oktober 2021