Skip to main content
Spiritual

Bagaimana Cara Menentukan Seseorang Itu Tercerahkan Atau Tidak?

4 December 2020 Setyo Hajar Dewantoro No Comments

Ini memang bukan perkara yang gampang. Ini miriplah tingkat kerumitannya dengan menyingkap kebenaran apakah beneran satu virus dengan nama tertentu itu ada, dan apakah satu penyakit benar-benar disebabkan oleh virus itu. Tak banyak orang yang punya akses dan kesempatan untuk menguji secara langsung kebenarannya. Sebagian besar orang senyatamya hanya percaya pada gossip yang beredar, percaya pada cerita turun temurun, atau mengembangkan prasangkanya sendiri. Pada obyek yang bisa dijangkau panca indra saja orang bisa berbeda pandangan, apalagi tentang keberadaan super kecil dan realitas non empirik.
Begini, menilai seseorang tercerahkan atau tidak, memang tak mungkin bisa dilakukan jika kita hanya menggunakan pendekatan empirik. Obyek ini tak bisa dimengerti dan dinilai dengan berdasarkan informasi yang dilihat mata dan telinga lahiriah. Tidak ada juga mikroskop, teleskop, atau mesin x-ray yang bisa membuat realitas pencerahan bisa disaksikan dengan gamblang.

Yang bikin rumit adalah tidak ada fenomena lahiriah yang memastikan kebenaran penyimpulan seseorang itu tercerahkan atau tidak. Apakah orang selalu berbuat baik seperti sering menolong orang, setia dan tidak mau melukai hati pasangannya, atau jika berkata selalu lembut, adalah orang tercerahkan? Atau jika seseorang terlihat rajin meditasi dengan busana putih putih sebagai simbol kesucian pasti tercerahkan? Jawabannya adalah tidak!

Manusia punya 3 perangkat kecerdasan :
Otak dengan perangkat input data panca indera
Pineal gland yang dikenal juga sebagai Sixht Sense
Rasa Sejati yang sepadan dengah Divine Sense

Nah, banyak orang menggunakan kemampuan rasional yang biasa berfungsi saat memahami teori matematika dan ekonomi untuk memahami fenomena pencerahan – ya tidak mungkin berhasil. Mengapa? Karena obyeknya berada pada lapisan realitas yang berbeda. Penggunaan rasionalitas dalam hal menilai pencerahan, paling banter hanya memunculkan praduga, asumsi, hipotesa, bukan kebenaran obyektif.

Jika menggunakan otak saja orang tak mungkin bisa tahu pasti soal pencerahan, mana bisa pula orang yang otaknya gak pernah dipakai atau hanya berisi gossip bisa menyingkap pencerahan. Itu hal yang mustahil!

Menggunakan pineal gland atau sixht sense lebih memungkinkan karena bisa menyangkut realitas metafisika. Dengan alat ini bisa disaksikan pendaran cahaya dari tubuh seseorang, bisa dijangkau bagaimana realitas lapisan tubuh karma, tubuh pengetahuan dan semacamnya. Jika terlihat seseorang itu tubuhnya memendarkan cahaya gemilang dan lapisan-lapisan tubuh halusnya jernih, itu indikasi bahwa dia tercerahkan. Apalagi jika bisa disaksikan realitas tubuh eteriknya di dimehsi lain, semisal seseorang itu terlihat sedang bersamadi di atas bunga teratai di langit yang indah. Tapi inipun tak menjamin karena pineal gland bisa terdistorsi. Jika seseorang belum jernih jiwanya, maka fenomena yang tersaksikan oleh pineal glandnya tak bisa dipegang sebagai kebenaran mutlak.

Akurasi soal penilaian tentang pencerahan ini muncul jika seseorang menggunakan Rasa Sejati atau Divine Sense-nya. Tapi untuk bisa dayagunakan ini seseorang butuh latihan keheningan yamg intensif hingga mencapai kejernihan jiwa. Setidaknya dia jernih persepsinya saat coba membaca satu realitas dengan rasa sejatinya – kejernihan ini hanya muncul dalam keheningan absolut. Jika tidak bisa saja “perasaan atau prasangka pikiran tapi disebut sebagai temuan rasa sejati – padahal ini dua hal yang sangat berbeda”. Secara faktual memang hanya orang tercerahkan yang bisa membaca sesuatu menggunakan Rasa Sejati dengan akurasi maksimal. Dari sinilah muncul kredo ” Hanya orang tercerahkan yang mengenali orang tercerahkan lainnya. ”

Saya saat membaca dan menilai sesuatu, pasti masuk ke dalam keheningan dulu. Saat sudah merasa mantap
baru saya bekerja dengan rasa sejati. Apa yang ditangkap rasa sejati ini dikomfirmasi oleh sel-sel otot saya lalu dimengerti dan dibahasakan oleh otak saya. Berdasarkan teknik ini saya bisa tahu seseorang tercerahkan apa tidak, kesadaran jiwanya menjangkau dimensi berapa – ini tentang tingkat kemurnian dan kesatuan dengan Sang Sumber. Berdasarkan teknik ini saya bisa menyebut bahwa Bunda Teresa adalah orang baik, banyak tindakannya yang layak jadi inspirasi dan diteladani, tapi beliau belum tercerahkan. Beliau banyak mengumpulkan karma baik dan akan hidup kembali di bumi ini dengan banyak keberlimpahan duniawi.

Lalu apakah saya tercerahkan? Saya hanya bercerita tentang tahapan-tahapan pencerahan dan semua saya ketahui berdasarkan pengalaman otentik. Para jiwa-jiwa tercerahkan niscaya mengenali jiwa saya dan kami bersahabat baik di alam jiwa. Tetapi wajar jika ada orang yang belum tercerahkan atau disangka tercerahkan menilai saya hina dina. Itu hal lumrah jadi ya tidak usah dipermasalahkan. Jika ada yang tergerak untuk belajar bersama saya ya mari. Jika ada yang menilai saya gila ya boleh juga karena saya memang gila. Saya ini orang gila yang sangat berbahagia. Jika ada yang memfitnah saya begini begitu, kadang saya biarkan kadang saya tanggapi, tergantung titah mamak saya, eh… tergantung titah Diri Sejati saya.

Saya mengasihi semuanya dengan murni, dan menghargai setiap pilihan jiwa. Hanya kepada yang belajar kepada saya, saya emang galak. Saya suka ingatkan kalo nyasar atau terjebak ilusi. Kadang saya “siksa” dengan memicu sisi gelapnya, saya jitak egonya.

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda