TANYA:
Dua hari yang lalu, saya disuruh untuk pergi ke dugem. Pesan detailnya adalah bahwa saya datang ke sana hanya untuk memancarkan kasih. Dan, saya bertemu dengan teman yang ada di sana.
Pertanyaannya adalah,
- Bagaimana caranya agar kita tidak terjebak pada pengertian “mengasihi” dan “kasihan”?
- Bagaimana PSK menurut pandangan spiritual?
JAWAB:
Hakikat Guru Sejati
Bagi yang belum terbiasa dengan pengalaman spiritual yang otentik, pasti akan bertanya-tanya dengan agak geli, “Apa benar Guru Sejati atau Sang Roh Kudus itu menyuruh orang dugem atau pergi ke tempat dugem? Itu Guru Sejati atau iblis?”
Pertanyaan itu pasti muncul di sebagian orang. Jadi, saya mau menegaskan, ‘Jangan pernah membayangkan Guru Sejati itu seperti Ustaz atau Biksu!’
Guru Sejati bisa sangat tak terduga. Dia bukan sosok yang itu punya norma, harus begini-begitu yang sesuai bayangan. Jadi, sangat niscaya Guru Sejati itu bisa menyuruh kita ke mana saja. Ya ke tempat dugem atau ke mana pun. Itu suka-suka dia. Yang perlu dipastikan saat kita mendengarkan pesan itu adalah apakah kita sedang melamun atau hening. Kalau kita lagi melamun, pikiran ruwet dan segala macamnya, maka harus disangsikan pesannya. Kita harus hening lagi untuk memurnikan diri sehingga muncul pesan yang sesungguhnya. Jika pesan itu muncul sembari kita merasa sangat damai, tenang, jernih, ces, lalu itu muncul, ya sudah itu adalah pesannya. Jangan disangkal dengan pikiran, jangan diragukan, “Kok Guru Sejati iseng amat!”
Memangnya Guru Sejati nggak boleh nyuruh ke tempat dugem? Ya, boleh-boleh, aja!
Jadi, spiritualitas akan membuat Anda tertantang untuk melampaui semua konsepsi, bahkan semua norma. Akan ada banyak hal yang tak terduga. Semula kita anggap salah bisa jadi betul, (sehingga) bisa bolak-balik jadinya. Perlu belajar jernih sekaligus setia. Ketika kita sudah menjalani itu, kesetiaannya jangan terputus di tengah jalan. Nanti begitu sampai di tempat itu, nanti pasti ada perintah lagi. Misalnya, di tempat dugem pasti ditawarin minuman, kan? Nah, tanyakan lagi (ke dalam diri), ‘Boleh atau tidak kita minum itu?’
Jangan-jangan kita ke tempat dugem hanya disuruh minum teh manis, bukan alkhohol. Harus setia, ya!
Saya punya pengalaman lucu dengan teman saya, nih! Dia mau menunjukkan kalau dia “anak dugem”. Saya lalu diajak (ke dugem) olehnya. Dia minum, saya minum, sama-sama minum. Bedanya adalah, pada pagi harinya saya sangat segar, sedangkan dia tumbang. Lalu dia berkata, “This is not fair!”
Jadi, kenapa bisa begitu? Sederhana! Dalam kasus teman saya, semua minuman ditenggaknya. Tidak ada kontrol dari dalam dirinya. Kalau saya, jika disuruh minum ya saya minum, jika disuruh berhenti, ya berhenti, sehingga hasilnya pasti berbeda. Teknisnya adalah begitu. Jadi harus setia total. Nah, hanya orang yang setia di mana pun mereka berada, dialah yang selamat.
Hakikat “Kasih” dan “Kasihan”
Berikutnya, kita akan bertemu dengan banyak orang dengan segala dinamikanya, dengan segala jatuh-bangunnya, dengan segala karakternya. Maka sikap kita dipilih berdasarkan tuntunan dari dalam diri, bukan dari persepsi. “Kasih” itu munculnya dari sini (menunjuk ke pusat dada), sedangkan “kasihan” itu munculnya dari sini (menunjuk ke kepala).
Misalnya, ada orang yang mengajak minum, minta ditemani, dan kita mau, “Ah, sudahlah! Sudah datang dari jauh-jauh, masa tidak dilayanin?” Nah, itu yang namanya “kasihan”. Sedangkan kalau itu adalah “kasih”, maka di sini akan bilang, “Tidak! Biarkan dia, kita sendiri di sini!”
Jadi, kasih itu menyelamatkan. Kasih itu menempatkan orang sesuai dengan alurnya, sesuai dengan rancangan agungnya, bukan sesuai dengan prasangkanya. Kasih itu bisa kejam. Misalnya, ada orang yang minta bantuan kita untuk meminjam duit. Kita tanyakan dulu di sini (menunjuk pusat dada), “Dia layak dipinjami atau tidak?” Jika dibilang, “Jangan dibantu, biarkan dia berjuang sampai titik darah penghabisan,” ya tidak usah dibantu.
Kelihatannya hal itu memang kejam, tapi itu adalah kasih. Kadang ada juga cerita begini: ada orang yang tidak minta bantuan, tapi di sini (menunjuk ke pusat dada) bilang, “Bantu!” maka ya, bantu saja.
Jadi, “kasih” itu muncul dari sini (pusat dada), sedangkan “kasihan” muncul dari sini (kepala) karena asumsi.
Bergantung Motif
Tindakan apa pun, pekerjaan apa pun, dampaknya ada pada tubuh karma kita. Dan itu sangat bergantung pada latar dan motif yang melandasinya. Kalau menggunakan rumus ini, kita tidak akan heran jika bertemu dengan PSK yang tubuh karmanya jauh lebih murni atau jernih ketimbang tokoh politisi atau agamawan secara faktual. Tapi pada praktiknya, banyak PSK yang memang menjalani profesinya sebagai perjalanan hidupnya. Itu rangkaian dari karmapala-nya, sebuah rancangan dari masa lalunya dan seterusnya.
Dilihat secara global, PSK itu ada dua kategori. Kategori pertama, dia menjalankan pekerjaan itu demi sesuap nasi untuk dia dan keluarganya. Kategori kedua, dia yang menjalankan pekerjaannya demi keserakahannya, untuk mencari duit secara gampang. Pada kategori yang pertama, dia harus berhubungan dengan orang yang sebetulnya tidak disukai, dia harus memakai badannya sendiri yang sebenarnya tidak ada perasaan sreg di hatinya. Dan dia bisa melakukan semalam bisa sampai lima kali, bahkan sepuluh kali. Untuk apa? Apa enak? Tidak mungkin!
Tapi dia harus melakukannya, karena dengan cara itu dia bisa bertahan hidup, keluarganya bisa dikasih makan. Yang seperti begini bukan orang jahat. Dia sedang melakoni hidup dengan cara yang paling mungkin dia lakukan. Seperti ini, karmanya tidak ada, tidak seburuk yang kita bayangkan. Dia sedang betul-betul melampaui egonya. Dia mengorbankan hidupnya demi banyak orang.
Karma buruk tidak terkait dengan profesi apa pun. Tapi terkait dengan power cara menjalani profesi itu. Maka di dalam sudut spiritual, tidak ada yang hina dengan menjadi PSK, kecuali Anda menjalani itu dengan keserakahan, kelicikan, dan manipulasi. Ini bukan soal profesinya, karena secara faktual tidak semua orang bisa jadi pengusaha, sekretaris, atau apa pun. Ada orang yang bisanya cuma begitu. Ya sudah, terus apa masalahnya? Kan PSK tidak pernah memerkosa. Laki-laki juga tidak ada yang dipaksa. Mereka datang-datang sendiri. Salahnya apa? Kan badan ya badannya dia.
Soal karmapala itu bergantung dari motifnya nanti. Tiap orang beda-beda. Maka, menghadapi yang seperti itu jangan punya judgment yang tidak realistis. Setiap orang perlu diselami lika-likunya, latarnya, dan segala macamnya. Kita tidak bisa membuat penilaian yang sembarangan.
* Dunia Gemerlap dan Pekerja Seks Komersial
Disarikan dari Workshop Total Human Transformation
Setyo Hajar Dewantoro
Gedung BISS, Jakarta, 19 Juli 2020
Reaksi Anda: