Saya mulai tergerak untuk mempelajari apa yang saya anggap sebagai spiritualitas sekitar tahun 2004. Itu terjadi saat saya sadar bahwa hidup hanya dengan kecerdasan rasional membawa pada kekeringan jiwa. Terasa ada sesuatu yang tak penuh. Ada kerinduan terhadap hidup yang lebih bermakna. Proses pembelajaran spiritual ini saya mulai dengan membaca buku-buku tentang sufisme dan new age. Termasuk mulai belajar tentang meditasi. Saya ingat beberapa nama penulis yang buku-buku mereka lumayan mengobati kekeringan jiwa saat itu: Ayatullah Khomeini, Achmad Chojim, Anand Krisna, Anthony de Melo, James Redfield, Robin Sharma.
Lalu, saya dipertemukan dengan seorang Mursyid Tarikat Syatariyah di Cirebon, guru spiritual di Tulung Agung, danberapa orang lain yang memperkenalkan spiritualitas secara lebih praktis. Dan mulai 2008 saya digerakkan untuk berkelana dan tapa Brata di banyak tempat yang saya anggap sakral. Namun, apa yang saya mengerti sebagai kejernihan jiwa, pencerahan dan kebahagiaan sejati baru benar-benar saya rasakan di 2018. Tentu saja setelah jatuh bangun yang “luar biasa”.
Sekarang, April 2019, tentunya saya sudah mengalami transformasi lanjutan ketimbang di 2018. Kalau dianalogikan dengan perjalanan menembus langit, lapisan langit yang ditembus semakin tinggi . Dan tentu saja, dalam segala paremeter diri saya menjadi jauh berbeda ketimbang saat saya mulai tergerak mendalami spiritualitas pada 2004. Saya punya kebenaran subyektif terkait apa yang saya mengerti sebagai pencerahan, moksa, Bali marang Sangkan Paraning Dumadi, bukan lagi secara teoritis tapi secara praktis berdasarkan pengalaman otentik diri sendiri.
Maka, berangkat dari kesadaran akan kebenaran subyektif yang saya temukan ini saya berbagi kepada siapapun yang mau belajar. Dalam hal ini, saya menyampaikan metodologi untuk mencapai apa yang telah saya capai. Sederhananya, saya mengajarkan cara cepat dan realistis untuk mencapai pencerahan tanpa mesti berkelok-kelok dan memakan waktu lama seperti yang saya alami. Perlu dicatat, sejauh saya membaca pada saat ini, orang-orang yang pernah saya jadikan guru memang belum mencapai tataran yang saya capai saat ini. Bahkan sebagian mereka terjebak dalam kegelapan, dijerat kuasa gelap. Saya justru melesat kesadarannya saat bersumpah untuk tidak lagi menjadi murid dari seorang manusia. Sumpah ini mengantarkan saya pada realisasi kesadaran yang pernah saya capai di kehidupan lampau dan terus bergerak melampaui itu – membuat sejarah baru. Dan perlu dicatat juga, tidak semua orang bisa seperti ini jika bekal dari kehidupan lampaunya tidak mencukupi.
Nah, saat saya mulai mengajarkan metode mencapai pencerahan, dengan label ajaran Suwung, Sastrajendra atau Sangkan Paraning Dumadi, saya mulai mengerti berbagai karakter pembelajar dan korelasinya dengan tingkat keberhasilan. Ada pembelajar yang menempatkan ilmu spiritual seperti mode: jadi senang sekali berganti-ganti mode mengikuti arus, gampang terpikat dengan label baru. Jadi pembelajar yang seperti ini tidak tekun dengan satu laku, tapi suka sekali mencicipi hal-hal yang dianggap baru. Sudah pasti yang kategori ini tidak pernah kemana-mana dalam konteks transformasi jiwa. Hanya bertambah isi memori di kepala. Ada juga pembelajar yang ingin instant, dan menganggap belajar spiritual sama dengan belajar kemampuan supranatural, tenaga dalam dan semacam itu. Tentu saja, hasilnya juga bukanlah transformasi jiwa menuju pencerahan. Dua kategori ini biasanya mental – tidak lagi ada dalam koridor bimbingan yang saya berikan.
Selanjutnya ada tipe pembelajar yang konsisten. Sejak mulai kenal saya terus belajar dan menjalankan laku sehingga nyata mengalami transformasi jiwa. Mereka juga terus terhubung dengan saya karena mengerti bahwa saya pribadi terus bertumbuh dalam peningkatan kesadaran yang tanpa batas, dan jejak itu mereka ini mereka ikuti untuk mencapai tataran kesadaran tertinggi yang mungkin mereka capai. Sejauh saya mengevaluasi, mereka yang seperti ini yang benar-benar mengalami transformasi berkelanjutan. Mereka benar-benar mengalami pencerahan, tapi tidak pernah berhenti untuk terus tercerahkan.
Oh ya, ada satu lagi kategori pembelajar, yaitu mereka yang menganggap saya sesat atau salah jalan. Baik karena mendapat bisik-bisik tetangga maupun mikir sendiri. Padahal dulu sempat mengalami transformasi jiwa yang nyata saat saya bimbing. Tentu saja yang seperti juga tidak lagi berada dalam koridor bimbingan saya. Saya menerima mereka untuk lepas karena memang saya tidak punya intensi mengikat siapapun hanya membimbing yang mau dibimbing dan punya trust pada saya.
Dimanakah posisi Anda? Dimanapun juga, saya mengasihi Anda. Saya menghargai sepenuhnya free will Anda. Soal resiko, tentu saja semua ditanggung masing2.
Rahayu.
Reaksi Anda: