Ketika kita menyakiti seseorang pasti ada dampak ke diri kita. Kita harus punya kejelasan, “Apa arti menyakiti itu?”
Menyakiti berarti melakukan tindakan-tindakan keangkaramurkaan sehingga korban keangkaramurkaan itu merasa sakit.
Jadi, silakan digarisbawahi landasan atau dasar tindakan menyakiti adalah keangkaramurkaan–keakuan yang destruktif.
Misalnya, kita memanipulasi orang, menfitnah orang, menjegal orang, melempari orang dengan dengan rasa benci, maka orang yang dilempari pasti merasakan sakit fisik dan mental.
Kalau itu dilakukan, dampaknya sudah jelas. Kita semua terikat dengan hukum karma, hukum timbal balik, dan hukum tabur tuai.
Secara energi , setiap tindakan yang itu mencerminkan keangkaramurkaan. Tidak adanya kasih murni akan membuat tubuh karma–bagian dari tubuh halus yang melekat dengan tubuh eterik–menjadi gelap atau keruh.
Ketika tubuh karma dibereskan, maka akan menarik peristiwa-peristiwa yang biasa kita sebut sebagai musibah.
Sebaliknya, kalau kita melakukan tindakan penuh kasih, hanya mengikuti tuntunan Roh Kudus atau Diri Sejati, maka orang lain sakit hati bukanlah masalah kita.
Hal ini bisa diterapkan dalam relasi berpasangan.
Secara real-nya, masing-masing pasangan pasti menginginkan suami atau istri melakukan sesuatu seperti keinginan terbaik menurut versinya. Tapi, saat tidak dilakukan pasangan tersebut merasa nyeri hati atau sakit hati.
Inilah sebetulnya manifestasi dari kekurangsadaran, yakni menciptakan drama dan penderitaan sendiri.
Sakit hati itu sebetulnya itu juga pilihan.
Ada kasus di mana orang lain betul-betul menyakiti kita, tetapi kita tidak sakit hati. Dia dapat berbuat apa pun kepada kita, kita tetap santai dan “happy” karena kita sudah punya surga sendiri.
Hati kita telah menjadi taman surgawi.
Jika Anda ingin bahagia yang sesungguhnya, “Jangan biarkan hati Anda disakiti oleh orang lain karena itu pilihan Anda” .
Misalnya, pasangan/relasi mengungkapkan sesuatu atau pun melakukan tindakan yang menurut asumsi kita itu bohong.
Pasti kita sakit hati karena sudah semestinya pasangan adalah orang yang paling bisa dipercayai.
Sebetulnya, kalau kita di dalam kesadaran yang murni.
Baca Juga: Memutus Akar Penderitaan, Meraih Kebahagiaan Sejati
Apa pun tindakan orang lain–mau benar atau salah, mau bohong atau jujur–itu semua tidak ada pengaruhnya buat kita. Itu adalah masalah dia.
Yang kita lakukan adalah kita membuat jarak yang aman untuk kita. Secara psikologis, jangan biarkan ada orang lain termasuk pasangan yang menyentuh kebahagiaan kita. Bahagia kita, kita sendiri yang 100% menentukan.
Kalau pasangan/relasi kita berbuat sesuatu dan kita tertuntun untuk menyikapinya itu bukan untuk kepentingan egoistik kita.
Misalnya, dia berbohong.
Kita mengajak dia untuk berintrospeksi, bukan karena kita sakit hati. Tapi karena kita mengasihinya agar dia menemukan kebenaran.
Kalau dengan berbohongnya itu sebetulnya dia menderita, maka kita bisa membantunya supaya dia menemukan jalan kebahagiaan.
Tapi, pada case lain, bisa jadi pasangan berbohong itu mengikuti tuntunan dari Guru Sejati karena kita termasuk kategori orang yang tidak suka kebenaran–senengnya dibohongi. Dia tidak salah kalau konteksnya untuk hal itu.
Baca Juga: Ingin Bahagia? Temuilah Sang Guru Sejati!
Kalau mau bahagia, sudahlah tidak usah menggantungkan pada pilihan-pilihan dari orang lain. Kita nggak bisa mengontrol orang lain.
Kalau pun orang lain nurut kepada kita. Sepertinya saja nurut di depan kita, mungkin dia sedang bermanuver.
Ketika pasangan tidak ada di hadapan kita, tidak ada yang tahu tindakan pasangan kita.
Jadi, tidak usah meletakkan nasib dan kebahagiaan kita pada tindakan orang lain. RUGI !
Sudahlah, terserah orang lain mau berbuat apa. Kita cukup memberkatinya.
Jika dengan tindakan itu dia bahagia, ya sudah. So What?
Kalau dengan tindakan itu dia celaka, ya sudah, kita ajak rembugan, kita beri wawasan supaya dia belajar dari kesalahan.
Apakah mungkin manusia begitu?
Setyo Hajar Dewantoro
Wedaran Kajian Bandung, 5 April 2021
Reaksi Anda: