Skip to main content
Persaudaraan MatahariSpiritualWedaran

Peradaban yang Agung

29 May 2021 Setyo Hajar Dewantoro No Comments

Akan selalu ada siklus yang natural menjadi bagian dari kehidupan di jagat raya ini, yakni kebangkitan dan kejatuhan. Itu merupakan bagian dari dualitas yang tidak bisa kita hindari. Ketika ada orang-orang yang mempunyai kesadaran luhur dan bisa mengajak orang lain ada dalam kesadaran luhur juga sehingga kesadaran luhur menjadi dominan pada sebuah era, maka secara otomatis hal itu akan menjadi pondasi untuk memunculkan peradaban agung. Peradaban yang tidak hanya maju secara teknologi, mereka pun bahagia. Tetapi, orang-orang tercerahkan tidak hidup selamanya, tetap ada jangka waktunya. Jika mereka tidak meninggal dunia, mereka mengalami ascending (kenaikan dimensi). Tetaplah, ada ujung pada kehidupan di bumi ini. Tidak ada yang namanya stagnasi. Jika pada generasi berikutnya, segala kesadaran luhurnya tidak dijalankan kembali oleh orang yang ada pada era tersebut, maka pilar-pilar peradaban agungnya lama-lama akan roboh. Pada titik itulah adanya degradasi peradaban, peradaban yang semula tinggi menjadi jatuh.

Di luar itu, ada faktor eksternal. Setiap ada peradaban yang tinggi pasti memancing keirihatian pada pihak luar. Jika di bagian dalam mengalami degradasi, serangan dari luar pasti menembus sehingga jatuhlah peradaban tersebut. Itu terjadi di Nusantara, Mesir, dan di mana saja. Tetapi, dalam sudut pandang yang utuh, kita harus bersyukur pada fenomena tersebut. Jika kita lahir di bumi, tandanya ada pekerjaan. Kita bangun lagi. Jika kita lahir di bumi dan semua sudah beres, ‘kan nggak asyik?

Justru bersuka citalah siapa pun yang menemukan tantangan. Dengan tantangan kita menjadi hidup. Ada sesuatu yang membuat kita untuk mendapatkan api untuk bergerak dan berjuang sehingga hidup ini mengasyikkan. Seperti nilai yang saya hayati, dengan segala tantangan yang ada di bumi ini, saya bukan malah berkecil hati atau frustasi, tapi malah tertantang dan bersemangat karena ada sesuatu yang bisa dikerjakan.

Peradaban yang luhur bukan tentang peradaban yang maju secara materiil. Tidak akan ada gunanya jika tidak diimbangi dengan keberadaan jiwa-jiwa yang murni dan berkesadaran luhur.

Jika ada ketimpangan antara teknologi dan spiritualitas, justru manusia menjadi korban dari adanya teknologi. Teknologi akan dipergunakan oleh segelintir orang yang mempunyai akses paling kuat terhadap teknologi tersebut sehingga manusia lain bisa diperbudak. Pada saat yang sama, jika berkelanjutan, bumi memiliki mekanisme penyeimbangan. Jika tidak diselaraskan, maka teknologi yang maju akan menghancurkan manusia itu sendiri. Jika kita tarik mundur ke belakang, kita pernah ada di era Atlantis. Yakni, cerita tentang bumi yang mengalami bencana katastropik. Ini bukan karena Tuhan iseng atau marah tidak jelas. Tetapi, manusia memetik buahnya sendiri karena membangun teknologi sedemikian rupa, tetapi merusak bumi. Akhirnya, bumi melakukan penyeimbangan.

Saat ini kita ada di titik persimpangan. Antara teknologi dan spiritualitas tidak berjalan seimbang-selaras. Teknologi berkembang sedemikian cepat sehingga banyak manusia merasa terasingkan oleh kesadaran murninya. Pada saat yang sama, bumi ini semakin tereksploitasi atau banyak yang dirusak. Jika hal ini tidak segera dibereskan, pada satu titik nanti kita akan mengalami bencana katastropik. Semua yang kita banggakan bisa sirna begitu saja.

Kita yang lahir di era ini punya tanggung jawab, bersama-sama kita memastikan agar bumi tidak semakin terdegradasi. Arah sejarahnya kita belokkan. Kita masuk ke dalam era antara teknologi dan spiritualitas menjadi sebuah kesatuan-keselarasan. Itulah yang menjadi misi bersama. Inilah yang melandasi Persaudaraan Matahari didirikan. Kita mengganti nama kita yang awalnya Mahadaya Institute menjadi Persaudaraan Matahari. Energinya jauh berbeda. Kita mengakses kebijaksanaan, pengetahuan dan energi kuna yang dulu pernah menjadi peradaban yang agung. Dan, kini akan kita rekonstruksi pada era sekarang. Basisnya adalah adanya orang-orang yang tercerahkan, yakni manusia yang berjiwa murni didukung oleh tubuh (baik kasar maupun halus) yang murni juga sehingga dia bisa menjalani hidup surgawi dan bisa melahirkan mahakarya.

Bagaimana bumi akan menjadi tempat surgawi jika kita tidak berbuat apa-apa?

Contohnya tanah yang dijadikan sebagai lahan persawahan. Pada zaman dulu, petani menciptakan teknologinya lewat kebijaksanaan. Benih diciptakan sendiri lewat pemulihan alam. Lalu, pupuk dibuat sendiri dengan memanfaatkan apa pun yang ada, seperti dedaunan dan kotoran hewan. Namun, pikiran serakah manusia muncul. Semua yang dilakukan dianggap tidak memadahi dan tidak akan mendukung upaya pemenuhan kebutuhan pagan di bumi. Asumsinya populasi bertumbuh cepat sekali sehingga tidak sesuai dengan kapasitas penyediaan tanah. Melalui teori Maltus, lahirlah Revolusi Hijau. Benih-benih tradisional, pupuk-pupuk alami, dan pestisida yang alami disingkirkan. Dibuatlah benih hasil rekayasa genetika, pupuk dan pestisida dari pabrik. Pada jangka pendek seolah memuaskan. Tapi, kemudian tanahnya hancur dan topsoil-nya habis, lalu tanah tidak bisa ditanami sesuatu. Bayangkan jika jutaan hektare sawah kita tanpa topsoil, lalu kita mau makan apa. Kita tidak bisa menanam padi, hanya bisa dibuat batu bata. Orang serakah tidak akan memikirkan hal tersebut, mereka hanya memikirkan untung.

Yang bertanggung jawab memikirkan hal ini adalah orang-orang yang masih punya hati atau kasih. Kita lakukan apa yang kita bisa. Setelah kita memurnikan jiwa. Selanjutnya, menemukan lahan untuk berkarya. Jika Anda terpanggil untuk memulihkan tanah atau memuliakan Ibu Bumi yang sudah kadung pernah diperkosa oleh keserakahan manusia, silakan lakukan. Inilah cara Anda untuk berguna bagi kehidupan ini dan mencapai kesempurnaan jiwa.

Catatannya, karya ini tidak akan pernah jadi sempurna jika Anda tidak tuntas memurnikan diri. Mulailah dari memurnikan diri secara paripurna. Ini semua akan menguatkan semua karya kita. Bermula dari kita menjadi tahu mengenai talenta kita.

Kajian Persaudaraan Matahari
“Menyalakan Matahari di Relung Hati”
Wedaran oleh Setyo Hajar Dewantoro
Bandung, 24 Mei 2021

Share:
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda