Dialog ini terjadi dalam keheningan. Saat Sang Jiwa membuka diri untuk menerima pesan dan sabda dari Sang Sukma Sejati/Atman.
“Gusti, aku hendak mempertanyakan banyak hal. Apakah Engkau berkenan atas segenap pertanyaanku? Bisa dipastikan bahwa aku bertanya tanpa tedeng aling-aling.”
“Tentu saja. Aku adalah Sang Maha Bijaksana yang siap meladeni semua pertanyaanmu, seaneh apapun itu.”
“Baiklah. Aku akan mulai dengan pertanyaan, mengapa Engkau menyebut diriMu sendiri sebagai Sang Maha Bijaksana?”
“Aku menjuluki diriKu sesuai konteks perbincangan kita. Sejatinya, pada mulanya, Aku adalah realitas tanpa nama. Aku adalah permulaan segala yang ada, yang meliputi segala yang ada. Tanpa batas. Tak akan terjangkau oleh pikiranmu. Namun kini Aku sedang menjadi Pribadi yang bisa engkau jangkau, yang bisa engkau ajak dialog. Namun tentunya Aku tak kehilangan watak tanpa batasku yang Aku simbolkan dengan kata Maha. Dalam hal ini, Aku punya kebijaksanaan yang tanpa batas yang membuatKu bisa menjawab semua pertanyaanmu. Selanjutnya Aku bisa engkau juluki sesukamu. Semua julukan darimu padaKu aku benarkan karena Aku memaklumi semua kemungkinan persepsimu.”
“Oh Gusti. Ternyata engkau mengasyikkan untuk diajak ngobrol.”
“Tentu saja. Sayang sekali manusia sering lupa bahwa mereka bisa mengobrol asyik denganKu.”
“Aku beruntung aku telah sadar.”
“Kata yang tepat sebenarnya bukanlah beruntung. Tapi engkau telah mencapai buah dari upayamu sendiri. Itu hanyalah manifestasi dari hukum semesta yang berkeadilan. Aku tak pernah pilih kasih. Anugerah ku termasuk Kesadaran, Aku siapkan untuk semua manusia yang memang siap menerimanya. ”
“Baiklah, apapun itu aku berterima kasih atas anugerah yang aku terima. Merupakan anugerah tertinggi saat aku menyadari bahwa hidup adalah lautan anugerah. Bahwa dalam setiap tarikan dan hembusan nafasku, KasihMu tercurah selalu bagiku. Engkau selalu meliputi kehidupanku dengan anugrah tanpa batas.”
“Itulah yang namanya Sadar. Dan itulah fondasi bagi kesukacitaan sejati.”
Kembali memasuki hening, kembali memasuki momen ngobrol asyik dengan Gusti.
“Gusti yang agung, aku sungguh-sungguh sering mempertanyakan tentang apa arti kehidupan. Termasuk arti menjadi manusia. Mengapa manusia mesti ada. Sementara pada kenyataannya sebagian besar manusia itu hidup menderita. Buat apa dihidupkan jika hanya untuk menderita?”
“Benarkah penglihatanmu itu? Jangan-jangan itu hanya prasangka mu?”
“Hmm…. Ya aku simpulkan begitu….karena aku lihat banyak orang menderita . ”
“Kamu mesti meneliti lebih detail. Mulai dari dirimu sendiri. Dalam 24 jam, berapa jam yang engkau habiskan dalam penderitaan?”
“Wah, aku sih jarang banget menderita. Sekarang begitu Tapi kan gak semua orang seperti aku. Lihat saja yang sedang patah hati, terlilit hutang, tergolek tak berdaya karena sakit.”
“Kembali mulai dari dirimu, apakah kamu pernah hidup menderita?”
“Tentu pernah!”
“Apakah saat itu, 24 jam x 7 hari engkau seterusnya menderita? Tidak pernah bisa tersenyum sama sekali?”
“Wah..ya nggak juga. Bahkan dalam masa masa hidup yang penuh kesulitan, aku masih punya lebih banyak waktu dimana aku merasa senang ketimbang merasa susah. Aku ingat ….di saat-saat sulitpun aku masih lebih sering tertawa ketimbang menahan tangis ”
“Pertanyaanku selanjutnya, jika engkau jujur, sebenarnya siapa yang paling bertanggung jawab atas penderitaannya? Aku karena aku tak memberimu anugrah yang cukup? Atau engkau sendiri karena engkau tak sadar akan anugerah yang Aku berikan bahkan kadang engkau sendiri yang menghancurkan anugrah itu?”
“He, he, he, ya kalau harus jujur, aku mengaku bahwa aku sendiri sih yang membuat hidupku menderita. Aku memilih merasa menderita padahal matahari sedang memancarkan sinar terang yang indah dan angin sedang menerpaku dengan lembut. Aku menderita karena pikiranku sendiri …aku berpikir tentang masalah dan melupakan anugrah yang nyata saat itu.”
“Baguslah jika engkau bisa jujur begitu. Selanjutnya, jika engkau renungkan semua kesulitan yang pernah engkau alami, semua derita yang pernah engkau rasakan, apakah itu sepenuhnya sia-sia?”
“Hmmm…itu dia. Gusti yang agung, saat ini kok aku malah berterima kasih pernah mengalami masa-masa sulit itu. Penderitaan yang aku alami, sesungguhnya telah menguatkan dan mematangkan jiwaku. Jiwaku dilembutkan setelah melalui proses hidup yang membuatku bisa meneteskan air mata.”
“Nah, jadi, engkau masih mau protes karena diberi kehidupan?”
“He he he ….maafkan aku yang nalarnya kurang panjang Gusti.”
“Begini. Tentang hidup, pertama-tama, engkau perlu mengubah asumsimu bahwa Aku mencipta sesuatu yang terpisah denganKu. Aku adalah yang meliputi semua keberadaan. Segala yang ada benihnya tersembunyi dalam kekosongan absolut yang merupakan realitasKu yang sebenarnya. Segala benih keberadaan itu tumbuh berkembang pada waktunya, lewat proses evolusi yang kompleks. Manusia adalah bagian dari proses ini: Aku mengejawantahkan diriKu menjadi manusia – dan manusia memiliki satu karakter dasarKu yaitu kehendak bebas. Setiap manusia, sekalipun realitasnya selalu menyatu denganKu, masing-masing menjadi pribadi yang unik, yang menentukan nasibnya sendiri sesuai tindakan yang dipilih.
Tetapi Aku selalu memberikan kasihKu pada mereka, tanpa syarat. Dari ketiadaan, manusia mengada. Jiwa manusia terus berevolusi dan hidup di bumi adalah kesempatan bagi setiap jiwa untuk bertumbuh dan mencapai kemurnian agar kembali menjadi seperti Aku: kembali menjadi esensi spirit yang tak terbatasi ruang dan waktu. Pada kondisi itulah tiada lagi suka duka yang dimengerti nalar manusia. Artinya aku memberi kesempatan pada setiap manusia untuk tidak terjebak derita berkepanjangan. Dan selama proses sang jiwa itu belajar, Aku terus menuntun dan memberi anugrah kehidupan. Nah, manusia sendiri yang memilih untuk merasakan sukacita dengan semua anugerah itu atau malah mengabaikannya dan tenggelam dalam dukacita yang dibuat sendiri.”
“Aku mengerti Gusti. Tapi, sebentar, mengapa Engkau mengejawantah menjadi manusia? Apakah Engkau kesepian tidak ada siapa siapa?”
“Ha, ha, Engkau selalu membayangkan Aku seperti dirimu. Bukan begitu. Sadarilah Aku sebagai Kekuatan Kreatif yang tanpa batas. Aku selalu melahirkan sesuatu yang baru. MahadayaKu selalu bergerak bekerja menumbuhkan suatu keberadaan. Bukan karena kebutuhanKu, tapi karena demikianlah karakterKu.”
“Duh Gusti, aku rasanya perlu ngopi dulu supaya bisa mengerti realitasMu yang di luar prasangka nalarMu.”
“Nah, bahkan kopi itu juga adalah pengejawantahanKu. Aku ada dalam kopi, dan Aku juga meliputi kopi itu.”
“Hmmmm…….baiklah. Aku akan tanya lagi setelah kureguk kopiku.”
Saat hari memasuki senja, kembali aku tergerak menyelami hening, lalu menyapa Tuhan yang nyata di dalam diri.
“Gusti, aku dengan jujur menyatakan, bahwa aku benar-benar ingin mengerti tentang kenyataanMu Tapi saat yang sama aku ragu apakah aku bisa mencapai itu, karena aku sering mendengar dari orang-orang yang dianggap bijaksana, bahwa Engkau tak mungkin terjangkau oleh pikiran. Benarkah Engkau tak akan pernah bisa aku mengerti?”
“Ha, ha, ha, ha. Hasratmu untuk mengerti tentang Aku sangatlah Kuhargai. Sesungguhnya itu hasrat mendasar setiap orang. Tapi tidak semua orang memberi perhatian penuh terhadap hasrat itu, karena ia bersemayam di kedalaman jiwa. Hanya mereka yang mau berhenti sejenak dari kesibukan pikiran dan obsesi-obsesi diri yang bisa menyadari ada kerinduan di dalam dirinya terhadap misteri yang paling agung. Nah, agar engkau bisa menjawab misteri ini, engkau perlu mengembangkan cara bernalar yang benar supaya engkau bisa mengerti tentang Aku.”
”Hmmmm…..cara bernalar yang benar. Apa maksudnya Gusti?”
“Begini, engkau tak akan pernah bisa mengerti tentang Aku selama memproyeksikan keberadaanmu kepadaKu. Engkau akan terjebak dalam pencarian tak berujung jika engkau memulainya dengan berasumsi bahwa Aku adalah sosok seperti dirimu. Untuk mengerti tentang Aku, engkau perlu lepaskan dulu segala anggapan dan prasangka.”
“Jadi, apa yang harus kulakukan?”
“Rasakan keberadaanKu dengan memperhatikan hidup dan kehidupan di dalam dirimu. Hidup dan kehidupan itu tak terlihat oleh mata inderawimu tapi ia nyata ada pada dirimu, meliputimu.”
“Hmm, dengan merasakan itu maka aku kemudian menangkap realitasMu sebagai Hidup dan Kehidupan itu sendiri?”
“Akulah yang menghidupinya. Aku sumber hidupmu. Benar bahwa secara nyata hidupmu terpelihara berkat udara yang engkau hirup, air yang engkau minum, sinar matahari yang menerpa tubuhmu, juga saripati makanan yang masuk ke dalam tubuh. Tapi, rasakan realitas yang ada di balik semua itu. Bahwa semua unsur yang menghidupimu ada sumbernya, yang tak terlihat dan meliputi segalanya. Itulah Aku.
Aku pula yang menjadi penggerak dari semua sistem organ di dalam tubuhmu. Bukankah engkau tak pernah repot repot berpikir atau meniatkan bernafas? Engkau juga tak perlu repot-repot mengatur sistem pencernaan di dalam tubuhmu: semua organ itu bekerja tanpa engkau sendiri mengerti dan sadar penuh bagaimana ia bekerja.
Jadi, sosokKu tak terlihat oleh mata inderawimu, tapi Aku nyata ada bersamamu. Aku selalu ada dibalik hidup dan kehidupan yang mengalir dan tergelar di dalam tubuhmu. Akulah kemahacerdasan yang mengatur pertumbuhan rambutmu, tulangmu, semua sel yang ada di dalam dirimu. Tentu ada peran darimu, tetapi Aku adalah sistem mahacerdas yang membingkai peranmu itu.”
“Apa maksud aku ikut berperan dalam hidup dan kehidupanku?”
“Begini, kessdaranmu, apa yang engkau pikirkan, juga tindakan yang engkau pilih, berada dalam bingkai sebab akibat yang mempengaruhi seperti apa hidup dan kehidupan yang engkau alami, termasuk yang menjadi nyata di dalam tubuhmu. Sesungguhnya engkau ikut menjadi pencipta bagi hidup dan kehidupanmu. Aku yang melimpahkan kuasa itu kepadamu sehingga sampai batas tertentu, engkau punya kebebasan untuk mengatur hidup dan kehidupanmu sendiri. Jadi, dalam hal ini Aku adalah kemahakuasaan tanpa batas yang menjadi sumber kuasa bagimu.”
“Ternyata pikiranku tetap bekerja untuk bisa mengerti tentang keberadaanMu. Tanpa pikiran aku tak akan mengerti tentang Engkau.”
“Nah, itu maksudnya. Engkau hanya perlu bernalar secara tepat dan benar, bermula dari melepas segala asumsi, lalu masuk ke wilayah rasa, engkau merasakan dengan penuh apa yang sedang terjadi padamu, apa yang engkau alami. Perhatikan itu dengan cermat tanpa interupsi konsep apapun. Setelah semua utuh, barulah engkau bisa menganalisa dan membuat kesimpulan. Inilah yang disebut laku menyadari: Engkau bergerak dari ketidaktahuan menuju berkesadaran.”
“Aku mengerti Gusti. Jadi, semua mesti bermula dari mengamati. Semua instrumen dalam diri dipergunakan. Pikiran dibawa untuk hening, dalam arti tenggelam penuh terhadap apa yang sedang diamati, dirasakan dan dialami.”
” Nah, demikianlah cara engkau bisa mengerti tentang Aku.”
“Terima kasih Gusti. Aku bahagia menemukan jalan untuk menyingkap misteri agung ini.”
Berada di dalam pesawat terbangpun, jiwa tetap bisa mencapai keheningan. Demikianlah, dalam perjalanan dari Jakarta menuju Tenggarong, terjadilah dialog yang membawa sang Jiwa menuju pencerahan.
“Gusti yang agung, sesungguhnya mengapa aku ada? Dan untuk apa aku terlahir menjadi manusia?”
“Mengapa kamu bertanya begitu? Dan untuk apa?”
“Hmmm….kenapa malah Engkau balik bertanya?”
“Lo, memang tidak boleh aku bertanya?”
“He, he, ya tentu saja boleh. Apalagi engkau kan Tuhan bebas melakukan apa saja.”
“Ha, ha. Aku bertanya kepadamu justru akar engkau terbantu untuk mendapatkan jawaban dari apa yang engkau tanyakan.”
“Baiklah. Sejujurnya, aku bertanya secara spontan. Aku menanyakan apa yang aku belum mengerti. Dan aku bisa bertanya karena aku memang punya nalar yang fungsinya memang mengurai segala hal untuk mendapatkan pengertian yang semakin utuh. Nalar yang ada padaku memang watak dasarnya selalu ingin menyingkap tabir misteri. Dan saat mendapatkan jawaban, ada kepuasan yang muncul.”
“Nah, itu dia. Jawabanmu bisa menjadi acuan untuk mengerti apa yang tadi engkau tanyakan. Aku adalah Keberadaan yang absolut. Aku adalah sumber segala yang ada. Memang menjadi watak dasarKu untuk mengadakan atau membuat ada segala sesuatu.
Realitas dasarKu sebagai Kekosongan Absolut mengandung segala benih keberadaan. Selalu ada benih itu yang bertransformasi menjadi sesuatu yang dinyatakan ada. Dari kekosongan memancar energi, energi berubah menjadi materi. Dan itu terus terjadi. KreativitasKu berjalan terus menerus. Dan keberadaanmu adalah dampak dari KreativitssKu yang tiada pernah ada pungkasannya ini.”
“Hmmm..jadi aku ada karena satu gerak spontan juga? Bukan karena motif tertentu semisal karena Engkau kesepian dan butuh teman?”
“Ha, ha, ha. Engkau tak bisa sepenuhnya memproyeksikan sifat-sifatmu padaku. Aku adalah Sang Maha Ada yang tiada kekurangan apapun, tidak membutuhkan apapun yang terkait dengan emosi tertentu seperti yang engkau rasakan. Engkau punya otak yang menghasilkan hormon, dan hormon itu menciptakan suasana emosi tertentu. Dengan pikiranmu engkau bisa merasa sedih dan kesepian. Tapi Aku tidak punya otak, dan Aku tidak berpikir dengan caramu yang membuatku bisa merasa sedih ataupun kesepian.”
“Hmm. Jadi aku ada bukan karena Engkau butuh aku? Lalu buat apa aku ada? Dan gara-gara aku ada aku sering merasakan duka atau penderitaan.”
“Ha, ha, ha. Engkau sudah dapat jawaban bahwa Engkau adalah hasil dari KreativitasKu yang terus menerus. Engkau bisa mengerti aku sebagai Energi tanpa batas yang terus bekerja. Jagad raya ini terus berkembang, terus menerus diperbaharui. Yang perlu engkau catat, tidak semua yang ada, tidak semua yang menjadi manifestasiKu, seperti engkau yang bisa bertanya dan berdialog denganKu. Tidak semua bisa merasakan suka dan duka seperti yang engkau rasakan.”
“Bukankah lebih beruntung mereka yang tidak bisa merasakan duka?”
“Jadi maksudmu, engkau tidak beruntung karena menjadi manusia dan bukannya menjadi batu?”
“Hmm. Sejujurnya, dengan pikiran yang jernih, aku mestinya tidak mengatakan begitu. Menjadi manusia berarti menjadi keberadaan yang sangat kompleks. Dan itu lebih layak disebut sebagai anugerah ketimbang kutukan. Lagi pula aku juga bisa merasakan kesukacitaan, rasa tercerahkan, yang aku percaya itu tidak dirasakan dan dialami seonggok batu.”
“Ha, ha, ha, cara bernalarmu sudah mulai tepat. Begini, satu hal yang perlu engkau ketahui adalah bahwa Aku selalu menyatu dengan segala yang ada. Aku adalah Kesadaran Murni, dan segala yang ada merupakan manifestasiKu atau pengejawantahanKu. Dalam segala yang ada, ada kesadaranKu. Tetapi ada hierarki keberadaaan dimana segala yang ada itu punya tingkat kesadaran yang berbeda-beda. Menjadi manusia memungkinkan dirimu untuk merealisasikan tingkat kesadaran tertinggi yang mungkin diraih oleh satu keberadaan. Dengan menjadi manusia engkau berkesempatan untuk berada pada hierarki tertinggi, dimana pada titik itu engkau bisa menjadi seperti aku yang tak terbatasi ruang dan waktu, sekaligus tak lagi tersentuh duka yang tadi engkau keluhkan.”
“Aku resapi kata-kataMu Gusti. Dan aku mengerti. Aku menjadi manusia memang merupakan konsekuensi dari Kesadaran Murni yang terus mengejawantah dan energi semesta yang terus bekerja dan berekspansi. Ini tentang sistem kesemestaan yang teramat canggih yang aku harus pelajari lebih lanjut. Tetapi satu hal yang pasti, aku menjadi tenang karena semakin mengerti bahwa menjadi manusia adalah sebuah anugerah besar. Bahwa dengan menjadi manusia aku sedang berada dalam alur menuju ketidakterbatasan. Bahwa segala duka yang aku rasakan hanyalah proses menuju ketidakterbatasan ini.”
“Nah. Itulah pencerahan. Engkau menyadari bahwa Aku ada di dalam dirimu. Aku adalah esensimu. Dan engkau sebenarnya sedang belajar dan proses memurnikan jiwamu sehingga engkau menjadi sebagaimana Aku yang Maha Tahu dan tak terbatasi ruang maupun waktu ”
“Terima kasih Gusti. Aku merasakan kedamaian seiring dengan munculnya pengertian ini.”
Sumber: KMS Kampus Mahadaya Suwung
Reaksi Anda: