
Membagikan pengalaman otentik dalam tulisan dan menuangkan proven ideology yang aplikatif memang tidak semudah menuliskan dongeng spiritual langitan yang menghibur ego dan bisa dikhayalkan sesuka hati. Pengalaman otentik yang sering saya bagikan sebagai hasil pembelajaran mendalam (deep learning), ternyata tidak mudah dimengerti apabila tidak disertai dengan ruang kesadaran yang sepadan.
Apa yang saya ‘lihat’ dalam perspektif yang lebih luas, hanya akan direkam sepotong dan secuil melalui kacamata sempit dari para pendengar dan pembaca.
Bahkan, banyak yang tidak peduli dengan esensi pembelajarannya dan malah sibuk menilai tata bahasa dengan EYD atau SPOK yang tertukar. Isi kepala lebih senang menilai dengan tidak utuh, menganalisis dengan caranya sendiri yang tidak relevan atau malah sibuk berkreasi dengan imajinasi, ketimbang berusaha menghayati dan meresapi esensi sebuah cerita. Bukti nyata bahwa sudut pandang atau perspektif memang menjadi sempit dan terbatas, apabila dikuasai oleh dominasi pola pikir penuh sisi gelap.
Ruang kesadaran yang belum jernih dari ‘Sisi Gelap (shadows)’, menyebabkan ruang menjadi penuh sesak dengan ‘Jejak Luka Batin’, ‘Trauma’, ‘Angkara’, dan ‘Ilusi’, sehingga kesulitan menangkap esensi paling jernih dari sebuah penjelasan.
Belajar dengan ‘Kesadaran’, seperti yang saya lakukan selama belajar ‘Spiritual Murni SHD’ adalah sama persis dengan deep learning di dunia akademik. Habit mode belajar surface learning yang ditanamkan sejak usia sekolah ternyata lumayan memberi pengaruh pada minimnya kemampuan deep learning. Surface learning selama ini dianggap sebagai solusi yang lebih instan bagi kemampuan akademik. Tetapi ternyata kebiasaan menelan mentah-mentah seabrek hafalan yang belum tentu benar dan kebiasaan memaksakan input data yang belum tentu tepat ke dalam memori, memberi dampak jangka panjang berupa hilangnya kemampuan observasi netral dan berpikir kritis. Contohnya seperti menghafal lima sila selama puluhan tahun tanpa mengerti apa makna dan bagaimana praktik nyata di keseharian, tanpa dampak bagi karakter dan pola berpikir.
Basis deep learning adalah ‘Growth Mindset’ atau pola pikir bertumbuh, dengan titik berat pada proses belajar dan perbaikan yang berkelanjutan (continuous improvement). Deep learning adalah proses belajar yang menggunakan modal ‘ruang kesadaran’, tidak hanya sekadar tahu atau mengerti saja, tetapi ‘Mengerti dengan Mendalam’ karena mengalami, menyaksikan, dan membuktikan. Pembelajaran mendalam sudah pasti mendayaguna ruang kesadaran (mindful learning) dan otomatis memberikan makna yang relevan (meaningful) bagi pengembangan manusia (human development).
Dalam kamus Spiritual Murni SHD, belajar ‘Meditasi/Hening Pemurnian Jiwa’ adalah sama dengan membangun growth mindset atau pola pikir bertumbuh.
Membangun habit yang sehat untuk berendah hati belajar dengan kesadaran. Melalui habit bersyukur dengan tulus, berdisiplin terhadap komitmen dan konsistensi, maka proses belajar berjalan paralel dengan meningkatnya kejernihan lapisan kesadaran. Belajar berintegritas dimulai dari hal sereceh bersyukur dengan tulus, bukan hanya sebagai syarat diucap di mulut berulang kali saja. Belajar dengan penuh penghayatan dan ketulusan, tidak kebanyakan agenda egoistik sehingga prosesnya berjalan dengan ‘Kesukacitaan (Joy)’, bukan dengan obsesi, atau keterpaksaan, maupun ketakutan.
Ketekunan bermeditasi/hening pemurnian jiwa yang dipraktikkan dengan tepat, secara otomatis membentuk keahlian deep learning yang bisa diaplikasikan pada semua informasi dan cabang ilmu pengetahuan. Mempelajari sebuah pengetahuan dengan kesadaran yang jernih sudah pasti akan berdampak lebih konstruktif, menciptakan harmoni, dan keseimbangan, sehingga menyehatkan mental, jiwa dan raga dengan lebih permanen. Jadi, sebenarnya belajar spiritual murni punya tujuan yang sejalan dengan ribuan metode pengembangan manusia (human development), hanya saja dengan dampak yang holistik.
Jelas sekali bahwa Spiritual Murni SHD bertujuan untuk membangun manusia dan mengevolusi jiwa.
Hanya saja label spiritualitas selalu dikaitkan dengan dunia supranatural yang penuh dengan metafisika galore dan solusi instan bagi hasrat egoistik, sehingga rekaman bawah sadar yang terlalu kuat menancap dalam kesadaran menjadi drama ‘Kekusutan Kognitif’ tersendiri yang sulit dikalibrasi. Dan, sangat disayangkan bahwa ternyata banyak yang lebih memilih merusak diri demi kesenangan dan kepuasan ego sesaat ketimbang mengembangkan diri dan bertransformasi dengan sehat.
“Life is 10% what happens to us and 90% of how our consciousness responds to it” ~ Pure Spirituality.
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
13 Juni 2025
Reaksi Anda: