Skip to main content
Refleksi

SUKACITA

5 February 2025 Ay Pieta No Comments

Deskripsi paling tepat bagi pengertian sukacita (joy) ternyata bukan kesenangan dan kegembiraan yang didapatkan ketika keinginan terpenuhi, atau kegembiraan yang meletup meluap dan euphoric ketika berhasil mencapai sebuah tujuan yang sangat dinantikan. Bukan juga seperti rasa puas atau mendapatkan kenikmatan ketika mencapai situasi yang sangat dimimpikan. Bukan pula spektrum emosi yang dihasilkan oleh serbuan pasukan hormon bahagia.

Yang saya temukan ketika menjadi ahli dalam bermeditasi/hening pemurnian jiwa Spiritual Murni Setyo Hajar Dewantoro (SMSHD), sukacita lebih tepat digambarkan sebagai situasi diri yang konten (contentedness). 

Bukan situasi penuh rasa puas (satisfaction) akibat terpenuhi segala sesuatu yang diinginkan, tapi merasa cukup dengan semua yang dibutuhkan. Merasa penuh utuh mental jiwa raga menyatu dalam sebuah kesadaran yang tersinkronisasi, tidak bergerak terpisah sendiri-sendiri. 

Sukacita saya gambarkan sebagai kekuatan atau energi yang menyatukan elemen hidup dan menghidupi kehidupan (lifeline).

Sukacita hadir dari sebuah ‘Kesadaran (mindfulness)’, sebagai kebebasan diri karena terlepas dari hasrat/keinginan yang berlebihan dan tidak realistis (excessive desires), terlepas dari perbudakan pendapat orang lain yang tidak konstruktif dan tidak memberikan dampak pemurnian jiwa raga, sehingga mampu berpatokan kepada kebenaran sejati.

 

Sukacita bukanlah kenikmatan sesaat yang dihasilkan oleh kerja hormon (pleasure), tetapi lebih tepat disebut sebagai energi positif yang mentransformasi, menata ulang pola nalar, menata pola berperilaku, menata pola respons, membangun kreativitas dan ketangguhan, baik mental maupun emosi, jiwa dan raga.

Sukacita bukan situasi yang mewah dan eksklusif, tetapi justru berbentuk kebersahajaan dan sederhana yang diliputi ketegasan dan ketangguhan. Sukacita merupakan pilihan yang revolusioner dan transformatif bagi derasnya pusaran budaya degradasi kesehatan mental jiwa raga. Maka sukacita pun merupakan energi penyembuhan yang bekerja bagi seluruh sel sampai ruang terkecil yang ada pada tubuh manusia. Sekaligus merupakan energi survival yang tercipta melalui sebuah ketegasan dalam memilih sikap yang tepat, yaitu pilihan yang dibuat dengan penuh kesadaran sehingga mengerti konsekuensi dari pilihan tersebut (deliberate choice). Sukacita menjadi sebuah pondasi yang mutlak dibutuhkan dalam menjalankan kehidupan dan berevolusi, tidak bisa lagi menjadi opsi atau pilihan.  

Sukacita bukan tujuan akhir, tetapi justru bahan bakar, karena tindakan yang dilakukan dengan sukacita membuat diri menjadi penuh motivasi, semangat, kreatif, dan produktif yang berdampak kepada keberhasilan. Menjadi ahli bersukacita sudah tentu merupakan hasil dari berlatih mengelola pikiran yang sehat melalui meditasi/hening SMSHD yang dimulai dari membangun rutinitas bersyukur (gratitude routines). Sukacita yang konsisten dan stabil akan mengubah perspektif, mengubah pola pikir dan mental model, menumbuhkan optimisme dan menata ulang (rewire) alur kerja syaraf dan neuroplastisitas. 

Sukacita adalah menikmati proses dan pasrah akan hasilnya, sehingga menjadi positif terhadap tantangan, kesulitan dan pengalaman kegagalan.

Yang saya alami, sukacita muncul dari ketulusan, muncul ketika melakukan sesuatu tanpa syarat, tanpa pencitraan dan tanpa kalkulasi imbal-balik. Sukacita bukan antitesis dari kerja keras. Sebaliknya, menjadi energi positif yang menyertai setiap langkah dalam kehidupan, dalam berkegiatan, dalam bekerja, dalam berkarya, dalam melayani dan berkontribusi. Dengan sukacita, maka akan menciptakan kreativitas, mengembalikan semangat, terhindar dari berbagai gejala penyakit mental emosi dan fisik karena selalu terkoneksi dengan diri.

Melalui meditasi/hening pemurnian jiwa SMSHD, diajarkan untuk menjadi ahli bermeditatif dan menjadi ahli bersukacita sepanjang hari. Menjadi meditatif dan bersukacita adalah tentang menjaga kesetimbangan dan harmoni. Tidak hanyut pada spektrum emosi yang mana pun, baik yang destruktif maupun yang euphoric. Karena sukacita bukan rasa senang yang berlebihan, sukacita bukan letupan kegembiraan yang euphoric, tetapi sebuah kondisi emosi yang sederhana, ringan, dan penuh rasa syukur. 

Menjadi ahli bersukacita adalah keahlian yang bisa dilatih oleh siapa saja dimulai dengan ‘Membangun Habit bermeditasi/hening SMSHD sebagai personal practice yang dilakukan dengan tekun dan konsisten. Apapun karakter pribadi (personal traits) yang dimiliki tidak akan menjadi penghambat untuk bersukacita, dan sebaliknya habit bersukacita yang konsisten secara otomatis akan mengubah pola pikir, mengubah mental model, dan mengubah karakter menjadi lebih selaras dan bermanfaat bagi pertumbuhan jiwa raga.

Ada yang punya pengalaman lain? Share, ya.

 

Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
4 Februari 2025 

Testimoni
Vernanda

Joy vs Happiness

Baca kedua kalinya tulisan SUKACITA dari Mbak Ay ini, saya jadi ingat film animasinya Pixar yang saya suka, “Inside Out”. Film ini menceritakan tentang emosi-emosi yang ada dalam diri manusia anak-anak bernama Riley. Sesuai dengan emosi-emosi yang ada dalam diri Riley, nama karakter-karakternya itu ada: Joy, Sadness, Anger, Fear, dan Disgust. Mereka ini sehari-hari tinggal bersama dalam dirinya Riley, spesifiknya di tempat bernama Headquarters semacam kokpit pengendali perilakunya Riley setiap hari dalam setiap fase dan usia kehidupan Riley, termasuk mereka punya kendali atas mimpi apa yang akan dimunculkan dalam tidurnya Riley dengan mengambil bola-bola memori yang ada di Headquarters, lalu menaruhnya di proyektor. Ada adegan Joy sendiri yang memilih bola memori yang akan ditampilkan dalam mimpi Riley, hasilnya jadi mimpi indah.

Lalu saya baca lagi diskusi tentang tulisan ini di grup Sagrada Center, grup penggemblengan para leader. Saya setuju kalau Joy itu di atas Happiness secara hierarki emosi yang lebih konstruktif/memotivasi/menghidupi/menyembuhkan. Joy itu seperti Happiness plus plus. Plus plus nya itu plus ketenangan (serenity), plus kehati-hatian, plus kebijaksanaan, plus harmoni.

Jadi ingat lagi dengan pembawaan karakter Joy di film “Inside Out”, dia memang jadi leader sekaligus penyeimbang di antara semua karakter yang ada di Headquarters ini. Ada adegan perilaku kesenduan dan demotivasi yang dimunculkan oleh karakter Sadness saat dia menyentuh tombol kendali akan diseimbangkan lagi oleh Joy dengan mengambil alih tombol kendali. Saat Joy ambil alih, Riley jadi selamat lagi.

Joy = penyetimbang/penyelamat.

Hasil akhir dari kendali Joy atas perilaku si anak ini adalah harmoni, seperti:
Harmoni sosial: harmoni Riley dengan orangtuanya, harmoni Riley dengan teman-temannya.
Harmoni mental: Riley jadi anak baik, jadi anak yang semangat, gak galauan.

Kalau saya ngecek diri sendiri pernah sih punya pengalaman Joy ini, gembira yang ada tenangnya, terus ada hati-hatinya juga dalam pilihan-pilihan, yang langka itu mengalami bijaksana.
Pernah juga mengalami yang Happiness yang euphoria. Haha hihi, tapi sembrono. Haha hihi, tapi merusak tubuh dan mental.

Enjoy VS Embrace

Enjoy ini kalau pengalaman saya itu menikmati yang memang nyata nikmat atau minimal nyaman di fisik dan mental, apa pun itu hasil tangkapan indra.

Embrace ini ketika menghadapi sesuatu (fisik ataupun mental) yang susah/nggak nyaman/beban, tapi kalau dihadapi dengan merasakan napas, dengan menerima konsekuensi pilihan (hasil nalar yang waras dulu) itu jadinya yang awalnya susah/beban jadi kayak biasa aja. Atau kayak belakangan, sadar – kok drama banget sih tadi mau menghadapi gini aja, yang nyatanya bisa dilewati dengan biasa aja.

Arif Fajar Nugroho

Joy dan happiness,

Hihi, agak susah saya mengungkapkan pendapat saya tentang perbedaan dua kata ini. Beberapa kali nengok di google, dan membaca beberapa pendapat tentang joy dan happiness. Tapi, tetap saja saya merasakan masih ada bias pengartian dalam artikel yang saya baca.

Happiness menurut yang saya baca tetap saja muncul karena terpengaruh oleh faktor dari luar. Ini berbeda dengan kebahagiaan sejati yang saya rasakan dan tervalidasi waktu itu. Yang saya rasakan waktu itu justru lebih smooth, bahkan malah tidak ada luapan apa-apa.

Jadi, jika melihat dari pengalaman tersebut, dan coba meminimalkan bias pendapat dari artikel yang saya baca, pendapat saya adalah joy ini justru lebih mendalam dari happiness.

Robertus Suprobojati

Jadi inget lagu Joy to The World, kebahagiaan untuk dunia.. hehe. Bagi saya kata “joy” lebih pada pengalaman kebahagiaan yang tak terkatakan karena dia tidak mensyaratkan apa pun dari luar, berupa pengalaman yang pada saat itu muncul, seperti tidak bisa diidentifikasikan dalam bentuk kata-kata karena tidak ada padanannya secara materiel. Bisa mengalir begitu saja dalam bentuk rasa syukur meski dalam situasi sulit. Pengalaman otentik tiba-tiba menangis haru saat sedang naik motor dalam kondisi jalan sangat macet, berdebu, dan emosi pengendara lain, meski waktu itu sempat bingung mengalami fenomena ini, tapi saya nikmati saja, beda dengan happiness yang merujuk pada situasi, syarat, atau sebab untuk terjadinya.

Rochkus Suradi

Dulu saya sering mendengar ajakan Romo atau pastor saat ibadah. Umat diminta untuk bersukacitalah dan berbahagialah senantiasa, tapi saya nggak tahu dan bedanya apa. Waktu itu saya tahunya rasa senang itu — ya bahagia. Sukacita itu kalau habis ikut misa karna bertemu atau berjumpa dengan “Tuhan Yesus”.

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda