Integrity is not something you show others, it is how you behave behind them.
Integritas bukan tentang bagaimana sikap yang ditunjukan kepada orang lain, tapi bagaimana sikapmu yang sebenarnya di belakang orang lain.
Tadinya, saya berpikir bahwa yang namanya integritas relasinya hanya dengan keteguhan dalam berkomitmen dan disiplin, tapi ternyata berhubungan juga dengan kepedulian, kejujuran, tanggung jawab, dan kerja keras sehingga menciptakan selarasnya antara pikiran, ucapan, dan perbuatan.
Ada kisah lucu seputar integritas di lingkungan pembelajaran spiritual murni. Secara teori, pikiran, ucapan, dan perbuatan selalu sinkron, yakni apa yang diucapkan sebaiknya menggambarkan apa isi hati dan pikiran yang sebenarnya. Kisah yang cukup menggelikan karena lagi-lagi terjadi di dunia yang konon mempelajari pengetahuan langit dan kesempurnaan jiwa, namun ternyata karakter dengan kualitas integritas yang baik justru paling sulit ditemukan.
Dulu saya sempat mengalami culture shock karena lahir dalam nuansa Keraton Jogja yang penuh unggah-ungguh berlebihan dan cenderung bablas menjadi topeng-topeng cantik dengan bahasa kiasan yang mutar-muter tidak karuan. Kemudian menikah dengan keturunan daratan Cina yang berbudaya sangat bebas dan apa adanya, namun dianggap sebagai minim sopan santun karena sangat ekspresif, tanpa filter unggah-ungguh, dan selalu bicara apa adanya langsung kepada sasaran, tidak mutar-muter ke sana kemari. Setelah culture shock reda, sisi adaptif saya ternyata lebih menikmati menjadi manusia apa adanya, mengalahkan unggah-ungguh berlebihan hasil didikan nuansa Keraton Jawa campur Angkatan Udara. Ada rasa merdeka yang ringan dan menyenangkan ketika saya tidak perlu mencitrakan diri menjadi sesuatu yang menjadi tuntutan dan pengharapan orang lain. What you see is what you get.
Salah satu variabel integritas lagi-lagi ditemukan menjadi isu yang cukup pelik di komunitas Persaudaraan Matahari, yaitu kejujuran. Apa yang diucapkan dan ditampilkan bisa merupakan antitesa dari isi pikiran dan isi hati yang sebenarnya. Di mulut menyatakan percaya, tapi kemudian sikap dan perilaku bertentangan. Di depan pihak yang perlu diuntungkan, tentu semua orang akan berusaha menampilkan citra yang diproyeksikan akan memberikan manfaat bagi agenda pribadinya masing-masing. Unggah-ungguh dan topeng kepalsuan bukannya lenyap, malah tendensinya semakin kuat dan berkembang menjadi banyak ragam.
Kontradiktif dengan situasi di luar arena pembelajaran spiritual, di mana budaya unggah-ungguh penuh kepalsuan ini sengaja dipelihara dan dilestarikan. Dijadikan budaya kenormalan karena dianggap mampu berdampak kepada sebuah manfaat yang sifatnya subjektif.
Dalam pembelajaran spiritual murni di PM, pelestarian hal yang sama ternyata mengakibatkan dampak yang cukup fatal terhadap proses belajar karena latar belakang sikap yang harusnya bertujuan baik, malah termanipulasi menjadi sebuah topeng kepalsuan yang masuk kategori sisi gelap. Perilaku seperti tidak percaya tapi menyatakan percaya, di depan menyatakan “baik”, “sendiko”, “ampun”, dihiasi lambang namaste atau emoticon penuh cinta, tapi pikiran dan hati sebaliknya.
Antara empan papan dan melestarikan budaya kepalsuan memang harus diberi benang merah yang jelas agar logika tidak tercampur aduk dan terbolak-balik dalam praktik. Yang harusnya dijaga malah tidak dilakukan, giliran harusnya dihindari malah dilakukan. Penempatan sikap yang tidak tepat sehingga malah melenceng dari tujuan belajar Spiritual Murni Setyo Hajar Dewantoro (SMSHD) yaitu pemurnian jiwa. Berdampak sih, tapi bukan berdampak ke arah yang baik malah kepada penurunan kesadaran karena sisi gelap (sigel)-nya menebal.
Dulu ketika saya masih belum punya jabatan penting di komunitas, saya lebih mudah melihat teman seperjalanan tanpa topeng, apa adanya. Sebagai murid yang tidak populer, tentu saya sangat leluasa menyaksikan alam sekitar yang sering lengah, lupa memasang topengnya. Saya banyak menyaksikan para aktor yang bisa berubah seketika dari semanis madu menjadi monster. Tapi, saat ini menjadi lebih sulit karena peran penting yang menjadi tanggung jawab saya di komunitas membuat banyak teman bersiaga satu, memasang topeng cantiknya karena ingin memberikan citra yang baik, sopan, manis, lugu, baik, dan lain-lain.
Dunia spiritualitas memang memiliki dua mata pisau yang ekstrem. Apabila berhasil memurnikan jiwa, maka hadirlah manusia yang otentik, jujur, apa adanya, tanpa topeng dalam sebuah kebijaksanaan. Tapi, bagi yang belum dan masih berjuang, tentu sering tidak terasa apabila topeng ini semakin tebal. Apalagi dengan dilandasi ketakutan kehilangan boosting, ketakutan kena sapu dari WhatsApp Group (WAG), ketakutan kehilangan manfaat, yang kemudian disikapi bukannya dengan meditasi/hening tapi lebih memilih untuk menebalkan topeng. Bukannya disirnakan dengan meditasi/hening, malah dipertebal dan semakin brutal.
Integritas dalam pembelajaran spiritual, saya maknai sebagai sebuah sikap keteguhan untuk berani jujur, sebagai bagian dari proses pemurnian jiwa, sehingga mampu bekerja keras dan bertanggung jawab menjaga keselarasan akan gerak pikir, ucapan, dan perbuatan agar tujuan belajar tercapai.
Ketika manusia sudah memiliki kepercayaan yang baik terhadap sebuah ajaran, maka dipastikan akan mudah untuk berkomitmen, berdisiplin, dan bertanggung jawab atas pikiran, ucapan, dan perbuatan agar selalu selaras dengan ajaran yang dipelajarinya.
Yang jadi masalah, apabila kepercayaan terhadap ajaran masih dipilah-pilih sebagian dan dicocoklogi yang dianggap menyenangkan. Maka proses belajar akan selalu berada di ambiguitas, meraba-raba, dan hanya cari pembenaran ke sana kemari. Akhirnya berimbas pada komitmen dan disiplin menjadi ambigu juga, apalagi yang penuh agenda egositik. Ucapan dan isi hati bisa bertentangan dengan ekstrem. Bagaimana mau memiliki kepedulian dan rasa bertanggung jawab kalau yang dikejar hanya manfaat atas kepentingan egoistiknya saja?
Contohnya, ketika bergabung di PM mengaku mau memurnikan jiwa raga, yaitu mau bertransformasi menjadi lebih baik. Tapi, ketika diberikan caranya, namun tidak disukai, maka drama protes anti perubahan pun dimulai, tapi terus mengejar manfaat yang dipercaya bisa didapatkan cuma-cuma tanpa berproses dengan cara yang diberikan. Di mana integritasnya? Di mana kejujuran dan rasa tanggung jawabnya? Mengaku tidak suka dengan model sulap ala dukun, tapi malah mencari cara untuk mendapatkan simsalabim hasil instan. Di mana integritas dan tanggung jawabnya? Bicara tentang krisis kepemimpinan, tapi tidak mau mentransformasi memperbaiki diri. Di mana integritasnya? Hobi memberi nasehat kepada orang lain, ternyata diri sendiri tidak melakukan. Di mana integritasnya? Diberi pertanyaan agar menjawab dengan jujur, malah kabur dan banyak alasan. Di mana integritasnya?
Krisis apa pun yang terjadi di lingkungan SMSHD, termasuk krisis integritas ini, tentu bisa diatasi, karena penyebabnya adalah lagi-lagi sisi gelap yang kita ciptakan dan pelihara. Maka, memurnikan jiwa melalui jalan spiritualitas murni SHD adalah jawabannya, tidak akan ada di tempat lain. Dalam SMSHD, kebenaran sejatinya hanya satu arah dan sifatnya universal, tidak terkotak-kotak oleh ilusi ciptaan manusia dan tidak terbatasi oleh kepentingan manusia.
Saya belum menyurvei apakah “Manfaat belajar spiritualitas adalah menjadi manusia berintegritas” akan cukup menarik minat warga komunitas PM dan memberikan daya dorong bagi kesungguhan belajar SMSHD?
Tapi seharusnya tidak perlulah, ya. Mosok sampai harus survei anonymous hanya untuk mendapatkan data ini. Bagi saya, survei anonymous itu hanya cerminan minimnya integritas, saking sulitnya untuk jujur dan malas bertanggung jawab atas pendapatnya sendiri.
Bagaimana menurutmu?
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
30 September 2024