
Kata Pak Stephen Hawking, Intelligence is the ability to adapt to change – yang disebut sebagai kecerdasan adalah kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan.
Wah, benar juga, ya.
Berefleksi kepada diri sendiri dan membandingkan situasi diri ketika belum kenal Spiritual Murni SHD. Sebelum bisa bermeditasi/hening pemurnian jiwa, saya men-checklist intelegensi diri yang terdegradasi cukup signifikan. Tampaknya berbanding lurus dengan semakin tebalnya mental-blocking demi melindungi diri dalam zona nyaman.
Semakin menghindar dan takut dengan gerak perubahan yang tidak disukai, semakin tebal mental-block, dan rasanya memang sepadan dengan semakin terdegradasinya kecerdasan. Karena semakin keras kepala mempertahankan apa yang dianggap sebagai kenyamanan, semakin membatasi diri, semakin tidak fleksibel terhadap wawasan baru dan semakin sempit cakrawala pandang terhadap dinamika gerak kehidupan yang selalu berubah (change is inevitable).
Perubahan yang baik, sehat dan konstruktif merupakan situasi dimana manusia harus keluar dari zona aman yang dianggap paling menyamankan. Zona aman yang menyamankan ini biasanya tidak terlalu mempedulikan dampak secara holistik, tidak memperdulikan dampak jangka panjang apakah menyehatkan bagi mental jiwa raga atau tidak.
Secara natural manusia akan memusatkan perhatian pada rasa tidak nyaman yang dianggap tidak menyenangkan, ketimbang memusatkan perhatian pada tujuan (goals/purpose) dan proses perubahan itu sendiri. Lebih memperhatikan gelas 1/2 kosong ketimbang 1/2 isi.
Karena titik perhatian yang keliru, maka selalu salfok kepada upaya cara menghilangkan ketidaknyamanan dengan cara secepat dan seinstan mungkin. Fokus dan daya upaya dicurahkan untuk melenyapkan rasa tidak nyaman sehingga lupa dengan tujuan Agung (great purpose) dibalik proses yang tidak nyaman tersebut.
Ketika terasa sakit di satu titik lokasi tubuh, maka kita akan terus memperhatikan rasa sakit tersebut dan mencurahkan seluruh daya upaya melenyapkan rasa sakit tersebut sehingga yang terjadi malah melipatgandakan sensasi rasa tidak nyaman atau spektrum rasa sakit. Saya pernah diajarkan untuk menarik nafas ketika akan ditusuk oleh jarum suntik dan membuktikan bahwa saat saya sibuk menarik nafas, maka spektrum rasa sakit akibat ditusuk jarum suntik menjadi nyaris tidak terasa. Berbeda ketika menyikapi jarum suntik dengan berfokus pada munculnya rekaman rasa sakit yang pernah dirasakan (trauma), maka sensasi sakit menjadi lebih terasa.
Ingin mengubah nasib menjadi lebih baik, tapi malas melalui proses perubahan yang tidak nyaman, bahkan dianggap memedihkan. Ingin meningkatkan kualitas hidup, tetapi alergi dengan kerja keras. Ingin ‘Membangun Habit’ yang sehat dan konstruktif, tetapi malas berlatih, ingin memperbaiki diri, tapi tidak mau mengubah pola pikir dan sikap. Ingin terlepas dari luka batin, tetapi tidak mau menjalankan prosesnya yang dianggap tidak nyaman. Mau meninggalkan situasi yang tidak nyaman dan menyakitkan, tetapi kok malah harus mengalami situasi yang tidak nyaman dan menyakitkan.
Terlalu banyak kontradiksi karena tujuan yang mulia selalu terbentur oleh pola pikir dan perilaku berbasis ‘Sisi Gelap (Shadows)’. Melupakan tahap belajar dan perubahan yang bernama proses, adaptasi atau asosiasi. Keinginan yang kuat untuk menghilangkan rasa tidak nyaman secepat dan seinstan mungkin yang ‘Memblok Mental dan Menyabotase Diri’, serta mempertahankan ilusi bahwa perubahan nasib bisa dicapai tanpa perlu menjalankan proses yang tidak disukai, mengalahkan tujuan dengan nilai tertinggi (great purpose) yang seharusnya menjadi kompas dan pedoman.
Melalui pembelajaran Spiritual Murni SHD, saya merasa selalu diajarkan untuk mentransformasi kesadaran dan kualitas hidup melalui proses perubahan yang konstruktif bernama transformasi dan evolusi. Diajarkan untuk mengelola perubahan melalui proses belajar (learning process) yang ternyata berjangka panjang, tidak terbatas seperti pendidikan akademik. Dimulai dengan proses penyerapan pengetahuan melalui kemampuan kognitif. Dilanjutkan dengan proses beradaptasi terhadap pengetahuan baru (associative process), proses ‘Mengosongkan Gelas’ dan aplikasi ajaran yang sama sekali baru. ‘Membangun Habit’ baru yang kemudian menciptakan autonomous berupa skill atau keahlian baru.
Saat manusia memiliki kesadaran yang tidak murni, yaitu masih penuh dengan sisi gelap (shadows); masih memendam ketakutan, marah, sedih, kecewa, dan lain-lain, maka ekosistem tubuh termasuk kinerja otak pasti terganggu dan memberikan sinyal.
Beragam spektrum emosi yang destruktif, seperti ketakutan, marah, kecewa, dan lainnya, menyebabkan pasokan oksigen dan peredaran darah ke seluruh tubuh menjadi tidak lancar, metabolisme terganggu, imunitas dan kesehatan syaraf dan kecerdasan terdegradasi. Cara menjalankan kehidupan, cara berpikir dan bertindak adalah yang menentukan corak energi. Corak energilah yang akan termaterialisasi menjadi nasib.
Dengan mempelajari Spiritual Murni SHD, saya mentransformasi kesadaran, corak energi dan kualitas hidup menjadi lebih bersih dan jernih, melalui:
- Meningkatkan ’Mindfulness’, ‘Kewaspadaan Diri (self-awareness)’, ‘Manajemen Diri (self-management)’ yang berdampak kepada kesehatan dan kejernihan mental jiwa raga yang permanen.
- Memahami makna hidup yang serba tidak sempurna sebagai sebuah kesempurnaan.
- Membangun habit yang menyehatkan bagi mental jiwa raga, seperti melatih habit ‘Bersyukur yang Tulus’ dan sukacita, melatih habit menikmati anugerah dan mensyukuri apa yang dimiliki saat ini, dan seterusnya.
- Menjalankan hidup dengan kesadaran penuh, bergerak maju sesuai tujuan paling Agung (great purpose), memilih sikap dengan penuh kesadaran (deliberate choice, mindful choice) yang merefleksikan nilai (value) tertinggi bagi kehidupan.
- Membangun ketangguhan yaitu resiliensi dalam menjalankan kehidupan yang selalu berubah, mengalir, dan menari seirama dengan ‘Gerak Semesta’.
Jadi, kecerdasan bukan semata-mata tentang kepandaian dalam memecahkan teori roket atau kemampuan merekam sebanyak-banyaknya teori dan kalimat bijak, tetapi mencakup kemampuan untuk selalu bergerak maju membangun karakter yang selaras.
Menurutmu gimana? Share, ya.
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
15 April 2025
Reaksi Anda: