Skip to main content
Refleksi

MEDITASI/HENING FORMAL BERAPA KALI DALAM SEHARI?

4 January 2025 Ay Pieta No Comments

“Meditasi/hening formal berapa kali dalam sehari?”

Pertanyaan ini selalu muncul selama saya bertugas menjadi Pamomong di Persaudaraan Matahari sejak tahun 2021, dan jawaban saya selalu sama yaitu, “Lakukan sebanyak-banyaknya yang bisa dilakukan dalam satu hari kamu melek”. Kemudian dari jawaban ini akan dimengerti dalam beragam rupa, tergantung seberapa besar pemahaman akan teori dasar Ajaran Spiritual Murni Setyo Hajar Dewantoro (SMSHD).

Jawaban saya selalu konsisten sesuai dengan teori dasar Ajaran SMSHD bab Teknik hening yang telah saya jalankan dan buktikan sendiri, yaitu apabila mau menjadi ahli bermeditasi metode SMSHD, maka “harus berlatih meditasi dengan tekun dan kosisten”.

Tekun artinya dilakukan sebanyak mungkin dalam satu hari.
Konsisten artinya ketekunan dalam satu hari tersebut dilakukan setiap hari dan terus menerus ditingkatkan.

Kata ‘tekun’ kemudian diartikan dengan padanan kata ‘sering’, kemudian berkembang dalam beragam asumsi tolok ukur bagi situasi yang dianggap ‘sering’ yang berbeda-beda bagi setiap orang. Ada yang beranggapan bahwa meditasi 1-2 kali sehari sudah terbilang sering, karena selama ini memang hanya bermeditasi satu minggu sekali atau sekali-sekali ketika sedang membutuhkan saja. Ada juga yang berasumsi bahwa 3-5 kali sehari sudah masuk dalam kategori ‘sering’. Ada juga yang 7-10 kali sehari, maka inilah yang disebut dengan sering, walaupun kualitasnya tidak diperhatikan. Begitulah bermacam ragam pengertian dari kata ‘tekun’ diterjemahkan ke dalam pola meditasi/heningnya masing-masing dalam sehari.

Pengertian dari kata ‘tekun’ menjadi kata ‘sering’ ini akhirnya selalu berpatokan pada jumlah/frekuensi. Angka sebagai bilangan yang menggambarkan banyaknya objek. Budaya pendidikan akademik dan berbagai pendidikan lainnya, selalu ada besaran angka yang harus dikejar seperti “Layangan Putus”. Budaya ajaran di luar PM, yaitu selama jumlah angka tersebut dipenuhi, maka dianggap tugas sudah selesai dan kewajiban sudah digugurkan. Dianggap sudah sah dan sudah cukup dengan memenuhi jumlah angka yang banyak saja tanpa memperhatikan kualitasnya.

Padahal dalam Ajaran SMSHD dijelaskan bahwa banyaknya jumlah meditasi bukan patokan tekniknya sudah benar sehingga berkualitas baik. Banyak variabel “Teknik Meditasi/Hening SMSHD” yang harus dipenuhi selama berlatih menerapkan step metode yang tepat, seperti ketulusan akan niat melakukan meditasi, kesungguhan dalam melakukan meditasi, penghayatan akan nafas natural selama meditasi, kerendahan hati untuk tidak mencocoklogi dengan metode ajaran lain, dan seterusnya. 

Jadi, apabila meditasi/hening dilakukan sebanyak mungkin tanpa memperdulikan kualitasnya, maka hasil akhirnya pun setara dengan proses yang ngaco mode robotik tersebut, alias zonk.

Dalam teori dasar Ajaran SMSHD pun dijelaskan prinsip yang sangat sederhana dan mendasar, bahwa meditasi/hening SMSHD bisa dilakukan selama nafasnya ada (tidak tahan nafas dan tidak mati), bisa dilakukan sepanjang hari ketika melek (tidak tidur, tidak pingsan, dan tidak mati). 

Maka, manusia tidak bisa bermeditasi/hening metode SMSHD apabila sedang tidak sadar (tidur, pingsan, mati) atau ketika melek, malah tahan nafas. Selain dari itu dianggap bisa bermeditasi/hening. Jadi, jawaban yang saya berikan bagi pertanyaan kuantitatif tersebut sudah paling tepat dalam mengakomodir teori dasar Ajaran SMSHD ini, yaitu lakukanlah sebanyak yang bisa dilakukan dalam satu hari. 

Melihat kembali sejarah saya sebagai pemula (newbie), oneng yang buta spiritualisme belajar meditasi/hening metode SMSHD di tahun 2019. Saat itu situasi belajar dengan sangat minim arahan, sangat minim penjelasan detail, sangat minim kajian, minim boosting, dan minim evaluasi. 

Saat itu belum ada parameter berupa angka kualitas hening, yang mendasari mengapa para penghuni orde lama banyak yang terjangkiti “PMS” akut karena merasa sudah bisa meditasi/hening metode SMSHD. Padahal yang dilakukan adalah lebih banyak berkelana dengan mata ketiga dan hanyut dalam metafisika galore. Budaya meditasi umum yang bukan ajaran SMSHD sehingga tidak pernah mau mempelajari teknik yang tepat, selama bisa keluyuran pakai mata ketiga menerawang dunia metafisika maka merasa sudah bisa meditasi/hening.

Saya sering kesulitan menjawab dalam angka apabila ada yang bertanya, “Berapa kali dalam sehari bermeditasi/hening formal?” Pertanyaan yang sulit dijawab dengan sebuah angka karena ternyata ketekunan yang saya lakukan di masa lalu terlalu absurd untuk nyaris semua anggota komunitas. Dan, jawaban yang paling tepat hanyalah, “Saya melakukan sebanyak-banyaknya yang saya mampu dalam satu hari.” Dan, tentu jawaban ini tidak pernah memuaskan para pemburu angka yang membutuhkan jawaban pasti untuk dipasang sebagai target latihan.

Sejujurly selama belajar saya memang tidak pernah diberi arahan mengenai jumlah meditasi/hening yang harus saya lakukan. Saya hanya diminta untuk tekun, titik. 

Saya pun tidak pernah memasang target berupa bilangan. Saya benar-benar hanya melakukan sebanyak-banyaknya dalam sehari, yaitu sejak mulai berangkat ke tempat bekerja sampai saatnya pulang kembali sampai di rumah. Enam bulan pertama berlatih, saya jarang sekali bermeditasi/hening di pagi hari setelah bangun maupun malam sebelum tidur, karena selalu ketiduran. Buat saya yang namanya meditasi/hening, mosok iya tidur, kalau mau tidur tidak perlulah bersusah-susah dalam posisi meditasi/hening.

Jadi, memang saya tidak pernah tahu berapa persisnya jumlah meditasi/hening formal yang saya lakukan dalam satu hari. Pokoknya dikala sedang minim interaksi dengan orang lain, maka saya punya kesempatan lebih banyak meditasi/hening ketimbang apabila sedang banyak berinteraksi. Misalnya, ketika banyak pertemuan atau sedang mengajar yoga.

Secara natural setiap bermeditasi/hening formal, bisa mendadak berubah menjadi “Meditasi/Hening Informal” kapan pun apabila saya harus melek dan nyambi melakukan sesuatu. Seringkali meditasi/hening formal maupun yang telah berubah jadi informal mendadak saya hentikan karena harus berinteraksi dengan orang lain. Dari situ, saya lanjutkan kembali meditasi/heningnya segera setelah interaksi telah selesai. Audio panduan saya nyalakan kembali dan lanjut latihan menyadari nafas natural. 

Jadi, menurutmu kalau seperti itu berapa kali dong dalam sehari?

Ciyus, saya memang tidak pernah hitung dalam jumlah angka, hanya kemudian saya coba  estimasikan dalam durasi waktu saja. Apabila digabungkan selama satu hari, maka bisa mencapai 8-10 jam selama saya melek. Sepanjang saya tidak perlu berinteraksi dengan manusia lain, mulut tidak perlu berbicara dan bisa memasang earphone di mana pun, kapan pun, lagi ngapain pun, maka di situlah saya latihan meditasi/hening.

Sebagai terjemahan teori dasar Ajaran SMSHD, bahwa meditasi/hening SMSHD bisa dilakukan selama nafasnya ada (tidak tahan nafas dan tidak mati), bisa dilakukan sepanjang hari ketika melek (tidak tidur, tidak pingsan, dan tidak mati), maka rutinitas harian latihan meditasi/hening sebanyak yang saya mampu saya gambarkan sebagai berikut: 

Mulai dari duduk manis di halte, duduk manis di dalam shuttle bus atau kereta menuju ke tempat kerja. Lanjut meditasi/hening di sela-sela pekerjaan, sambil bekerja depan komputer pasti saya sisipkan sebagai momen jeda sebelum kembali melototin dokumen pekerjaan kembali. Bahkan, saya suka nakal colongan pasang earphone supaya tidak mengantuk di tengah rapat yang membosankan. 

Saya pun meditasi/hening di jam istirahat, sambil menunggu makanan datang, sambil mendengarkan celotehan teman yang curhat, di toilet kantor, di balkon sambil merokok – dulu saya masih merokok. 

Lanjut terus meditasi/hening di halte, shuttle bus, kereta, atau kendaraan umum lainnya selepas kerja, menunggu kelas sebelum mengajar yoga, menunggu hujan reda di stasiun atau halte, menunggu teman di cafe, dan tentu selama perjalanan pulang ke rumah. 

Begitu terus setiap hari senin-jumat, apalagi apabila melakukan perjalanan dinas yang banyakan gabutnya karena perjalanan yang cukup panjang, maka meditasi dengan modal rekaman audio offline adalah hiburan satu-satunya. Rutinitas meditasi di hari libur tentu menjadi lebih banyak meditasi formal yang khusuk tanpa distraksi dalam durasi yang jauh lebih panjang ketimbang hari kerja. 

Dan, yang terpenting dari banyaknya upaya berlatih ini adalah bahwa saya melakukan dengan ketulusan, kesungguhan dan kerendahan hati, sebagai variabel penting yang mutlak harus dipenuhi agar kualitasnya menjadi baik.

Jadi, saya cukup takjub apabila ada yang mengaku tidak sempat meditasi karena (katanya) super sibuk, tapi sebenarnya masih sempat menjelajah social media, nonton netflix, nongkrong sambil merokok dan ngopi atau ghibah sama teman. 

Ini jelas pertanda bahwa sebenarnya masih banyak waktu yang bisa dimanfaatkan untuk bermeditasi/hening formal, tapi memilih kegiatan lain yang dianggap lebih penting dan lebih menyenangkan. Pertanda bahwa meditasi/hening belum menjadi prioritas dalam hidup dan jelas belum paham teori dasar Ajaran SMSHD. Sikap ini jelas tidak memenuhi variabel ketulusan, kesungguhan dan kerendahan hati dalam berlatih, dan berimbas langsung kepada kualitas meditasi/hening.

Saya pernah meminta teman-teman untuk membiasakan diri merasakan nafasnya sejak masih separuh bangun/separuh ngantuk di pagi hari, lalu rasakan betapa beruntungnya masih bisa bangun dan melanjutkan kehidupan menjadi manusia. Di awal “Program Kepamomongan”  berjalan pun saya memberikan tip berlatih meditasi/hening formal seminimalnya dua kali sehari, yaitu pagi dan malam. Memakai analogi sikat gigi, agar memulai hari dengan lebih meditatif dan menutup hari dengan membersihkan ‘dosa’ yang kita perbuat selama melek dan tidak meditasi/hening. 

Zaman dahulu kala, metode ini masih dianggap cukup untuk memenuhi standar minimum banyaknya meditasi/hening dalam satu hari dengan harapan di antara kedua jadwal itu tetap diupayakan berlatih sebanyak-banyaknya seperti yang saya lakukan. Saya berprasangka sangat baik bahwa semua anggota komunitas akan punya semangat dan kesungguhan yang sama besarnya dengan yang saya miliki sehingga tanpa harus didikte digeret dan dipaksa, kemauan untuk konsisten dan disiplin hadir dengan sendirinya.

Tapi ternyata tidak semudah itu, Fergusso. Yang saya lakukan 8-10 jam sehari itu ternyata bentuk konkret dari skor kesungguhan 40% atau 4/10. 

Sebagai anak baru di komunitas yang belum kenal apa itu boosting atau pemberkatan dan belum mengerti apa itu bakat spiritual, saya telah mengawali belajar meditasi dengan kesungguhan skor 4/10. 

Walaupun saya tidak bisa menjawab jumlah meditasi/hening formal dalam satu hari, tetapi ternyata saya telah memberikan kontribusi teladan yang baik selaras dengan kompas yang tepat sejak saya masih noob, oneng, dan dipandang sebelah mata.

Saat ini, di level kesadaran saya saat ini, tentu saya sudah mampu bermeditasi/hening sepanjang hari dengan kualitas yang baik, sehingga semakin tidak bisa lagi dihitung dalam jumlah berapa banyak meditasi/hening formal karena saya bermeditasi/hening formal maupun informal silih berganti tiada henti setiap saat sepanjang hari saya melek. 

Jalannya meditasi/hening bagi saya di level kesadaran sekian digit ini bisa saya gambarkan sudah berupa otomatisasi seluruh muscle memory pada tubuh yang mutlak harus saya jaga dan saya tingkatkan performanya tanpa henti.

Bagi yang mau, silakan mencoba berlatih seperti yang saya lakukan zaman dahulu kala, tidak ada kata terlambat apabila masih bernafas, masih hidup dan mau berendah hati.

 

Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
4 Januari 2025 

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda