Skip to main content
Refleksi

MENTAL BLOCK

23 January 2025 Ay Pieta No Comments

“Mempertahankan persepsi yang tidak tepat sehingga akhirnya membentuk realitas diri.” – SHD

Terpantik dari beragam diskusi pembelajaran bersama peserta pendampingan, akhir-akhir ini saya dihadapkan pada dinamika pembelajaran seputar mental block dengan berbagai varian perilaku turunannya. Dari mulai yang pakai topeng lugu dan polos, ada yang lihai berkelit ke sana kemari, ada juga yang memakai topeng rendah diri dan keterbatasan diri, dan masih banyak lagi varian perilaku yang sebenarnya semua itu hanyalah metode gerilya dan pelarian dari sebuah situasi yang tidak diinginkan, tidak sesuai standar kenyamanan ego, kemalasan, dan minta dimaklumi agar diberi keringanan dari kewajiban.

Berlindung di balik alasan rendah diri dan merasa tidak mampu, padahal dibalik itu sebenarnya malas, tidak peduli, ingin instan, merasa cukup dengan menunggu jatah boosting dan tidak mau berendah hati untuk sekadar mengikuti arahan yang diberikan. Kemudian berasumsi bahwa tanpa mempraktikkan ajaran dengan kesungguhan, cukup dengan merajut kontribusi fisik sebanyak-banyaknya dan menyatakan setia madep-mantep, maka akan tetap mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan, karena dianggap setimpal dengan kontribusi fisik yang diberikan. 

Padahal sudah dijelaskan berulang kali  bahwa agenda egoistik merupakan objek nomor satu yang perlu dilenyapkan apalagi karena “Teknik Meditasi/Hening SMSHD” mensyaratkan variable ketulusan.

Banyak yang mempertahankan sebuah persepsi negatif untuk mengakomodir sisi gelapnya sendiri sehingga pada akhirnya membentuk realitas diri atau bahasa singkatnya kualat alias jadi kenyataan. Mengucap berulang kali bahwa diri tidak mampu, dengan hasrat egoistik yang kuat dan memanipulasi situasi, akan lebih cepat menjadi kenyataan yaitu beneran tidak mampu, alisa karma instan. Mirip dengan merapal harapan baik namun dengan hasrat egoistik yang kuat, maka jatuh tempo (jatem) panen karma yang instan biasanya hadir dalam bentuk yang tidak terduga.

Gejala yang muncul amatlah beragam, ada yang pura-pura bodoh, pura-pura oon, pura-pura tidak mengerti, pura-pura polos lugu, pura-pura cuek, hanya untuk menutupi penyangkalan dan menutupi kekeraskepalaan diri dan tidak mau berendah hati. Ada juga yang memoles kekeraskepalaan dengan merendah-rendahkan diri. Ada juga yang berkelit sat set cari aman, berlindung di balik pekerjaan atau pembelaan teman lain bahkan kejatuhan teman. Ada juga yang bermanuver dan berkelit dalam kesantunan dan berusaha terlihat rendah diri agar tidak tampak punya kesombongan, karena menganggap bahwa kesombongan lebih nista ketimbang rendah diri. Menggunakan topeng rendah diri akan lebih mudah menarik simpati dan citra diri tetap terjaga. 

Gejala lainnya seperti pura-pura tidak mengerti padahal sebenarnya mengerti dan gejala kemalasan namun perlu banget pencitraan agar dimaklumi dan diberikan dispensasi keringanan atas komitmennya sendiri. Ada juga yang mengabaikan arahan dalam bentuk ngalus alias ngumpet-ngumpet karena arahan tidak sesuai keinginan egoistik dan tidak menyenangkan. Beragam aksi pemberontakan yang dibungkus oleh citra rendah diri supaya terkesan penuh penderitaan sehingga patut dikasihani dan perlu ditolong. 

Jurus pura-pura polos dan lugu ini dipakai untuk menutupi kenyataan bahwa sebenarnya mengerti, tapi lebih memilih spot aman agar tidak tampak mengabaikan. Sebagai aksi kengeyelan halus karena sebenarnya lebih memilih yang dianggap menyenangkan dan nyaman bagi diri sendiri. 

Kecerdasan otak dan kemampuan kreatif yang dipakai dengan sembrono akan menyebabkan dampak destruktif bagi kesehatan syaraf otak itu sendiri akibat terlalu rajin memanipulasi situasi agar tidak perlu bertanggung jawab dan aman dari teguran. 

Kebiasaan seperti ini membentuk yang disebut dengan mental model, dan akan terus berulang teraplikasi di setiap menemukan situasi yang dianggap tidak nyaman, tidak menyenangkan, dan tidak diinginkan.

Dalam kacamata Spiritual Murni Setyo Hajar Dewantoro (SMSHD), mental model yang menjadi block atau penghalang ini tidak lain adalah aksi menutupi sisi gelap dengan sisi gelap lainnya. Jadi dampaknya tentu double kill, bahkan bisa triple kill, bagi kesehatan mental dan kesadaran. Jadi terasa lucu, ini pada belajar SMSHD dan konon mengakui mau memurnikan jiwa raga, kok malah lebih tekun dan konsisten menambah koleksi sisi gelap? Bukannya meningkatkan kualitas meditasi/hening, tetapi malah meningkatkan kualitas sisi gelap; ngeyel, manipulatif, sombong, ambisi, obsesi, dan seterusnya.

“Hidup adalah rangkaian waktu dimana engkau diberi kesempatan untuk menuai karma yang ditabur di masa lalu.”
~ SHD Webinar Karma & Hukum Semesta 10 Nov 2024

Kalau belum juga menyadari bahwa bisa hidup di Bumi adalah anugerah, memang sulit untuk mempelajari Ajaran SMSHD. Tapi, selama masih hidup, tandanya masih diberi kesempatan untuk belajar. Jangan sia-siakan kesempatan belajarmu dan banyak berkaca atau berefleksi diri. 

Bagi yang menyadari masih punya indikasi gejala klinis yang saya ceritakan tadi, mendingan segera stop hobi yang tidak konstruktif itu. “Bangunlah Habit” yang sehat, positif dan konstruktif. Jangan biarkan sisi gelap mendegradasi kecerdasanmu alias instant karma jadi oon beneran. Selami ada apa dibalik segala upaya mem-blocking mental/ pikiranmu sendiri itu. Pasti ada intensi yang tidak selaras apabila aksimu untuk memberontak sekuat itu dan sangat kreatif membangun  beragam manuver aksi pembelaan diri.

Segera benahi apabila memang serius berniat untuk memurnikan jiwa raga. Bagi yang masih senang coba-coba dan merasa belum tertangkap oleh evaluasi kolektif, harap bersabar karena waktu jatem adalah bukti nyata bekerjanya “Hukum Semesta”, dimana timing Semesta adalah yang terbaik.

 

Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
23 Januari 2025

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda