Belajar di Spiritual Murni Setyo Hajar Dewantoro (SMSHD) memang makin hari makin tidak mudah.
Tanpa pegangan erat dengan praktik Ajaran SMSHD, maka ketulusan makin sulit dicapai. Godaan materiel yang semakin banyak membuat proses belajar SMSHD menjadi berkali-kali lipat lebih kompleks ketimbang menjadi pertapa di gunung. Belajar Ajaran SMSHD memang bukan soal kemampuan menghafal teori sebanyak-banyaknya atau cukup hanya terlihat duduk sila memejamkan mata seperti jadwal minum obat, tapi berikut dengan paketan aksi nyata yang melibatkan aplikasi teori pada pola pikir, sikap, dan perilaku yang nyata di kehidupan sehari-hari secara konsisten.
Tantangan materiel semakin besar karena gurunya makin keren, makin sakti mandraguna, makin banyak proyek, makin banyak potensi manfaat materiel, dan lainnya, sehingga membuat hasrat egoistik makin meronta-ronta tidak karuan akan angan-angan materialistik.
Bukannya jadi reda oleh laku meditasi/hening yang diajarkan, malah makin membara penuh khayalan dapat proyek, dapat cuan, dapat posisi strategis, jadi anak emas, dapat privilege spesial, dapat cipratan kemewahan, dapat jatah materi, dapat kasih sayang, dapat berkat, dapat boosting lebih banyak, dapat jaminan masuk surga, dagangan cepat laku, dan seterusnya.
Banyak anggota komunitas yang proses belajarnya mengalami stagnasi karena bertahan dengan hanya mau memuja Guru SHD sebagai sosok idealnya saja. Kemapanan dan kesaktian telah menjadi alasan terkuat relasi guru dan murid, bukan ajarannya. Ajarannya memang dianggap keren, tapi kemudian dianggap tidak terlalu penting untuk diamalkan selama bisa menjaga relasi yang baik dengan Sang Guru.
Sang Guru menjadi sosok ideal untuk memenuhi angan-angan indah yang menyenangkan hati akan mimpi yang tidak kunjung hadir di kehidupan nyata, sebagai objek khayalan kesepian dan sosok solusi bagi perubahan nasib. Tidak pernah memahami bahwa Guru SHD merupakan satu kesatuan dengan ajarannya, menyatu dengan Hukum Kosmik yang menyertai ajaran, termasuk Hukum Tabur Tuai.
Banyak yang memilih untuk mengabaikan praktik nyata ajarannya, merasa cukup menghafal teorinya saja karena keengganan memurnikan jiwa. Merasa tidak membutuhkan membereskan sisi gelap, selama dagangan laku maka roda samsara dianggap tidak nyata. Selama tidak sakit, tidak merasa sial, dan hidup berkecukupan secara materi, maka roda samsara dianggap tidak pernah terjadi dalam hidupnya, sehingga merasa tidaklah penting mencipta ketulusan dan integritas apalagi pemurnian jiwa.
Mengidolakan gurunya saja, tapi mengabaikan praktik ajarannya, tidak akan membawa kepada pemurnian jiwa.
Efek samping dari pemujaan yang tidak utuh ini berdampak nyata pada stagnasi proses belajar. Level kesadaran seperti tanaman bonsai yang enggan meninggi, sehingga hidup pun tidak kunjung bertransformasi secara nyata, tapi bersikeras merasa baik-baik saja. Selama dagangan laku, pasangan tidak rewel, serta kebutuhan hidup terpenuhi, dan tidak kena sapu eliminasi dari WhatsApps Group (WAG) komunitas, maka cukuplah menjaga relasi yang baik dengan Sang Guru dan meditasi sekali-sekali apabila dibutuhkan.
Efek samping lebih nyata lagi terlihat ketika sudah menapak di Bumi, mematerialkan ajaran melalui berbagai peran, baik sebagai pekerja, kontributor, maupun clientele dalam organisasi. Menjalankan sistem operasi, mematuhi standar operasi dan hierarki struktur organisasi. Menjadi semakin nyata terlihat sejauh apa aplikasi ajaran, berikut efek samping berupa bertambah panjangnya daftar agenda egoistik. Padahal jelas bahwa ketulusan adalah kunci keberhasilan dalam belajar Ajaran SMSHD. Tetapi, ketika diberikan ruang untuk berlatih ketulusan, yang terjadi sebaliknya semakin melakukan praktik ketidaktulusan.
“Ketulusan membuat semua jadi sederhana”
Ketulusan diibaratkan seperti kryptonite dalam film “Superman”, yang menjadi sumber kekuatan bagi semua kesaktian mandraguna Sang Superhero. Ketulusan paripurna hanya dapat diciptakan melalui keheningan/meditasi dan pemurnian jiwa. Dalam Ajaran SMSHD, ketulusan adalah parameter baku mutu tertinggi dari sebuah perilaku.
Tapi, siapalah yang mampu bertindak dengan tulus tanpa melatih diri dibarengi dengan bermeditasi dengan teknik yang tepat? Mana mungkin menjadi tulus apalagi tulus paripurna, apabila jiwa raga masih diliputi sisi gelap (shadows)? Sudahkah makan dan minum dengan tulus? Sudahkah bersyukur dengan tulus? Sudahkah menikmati nafas dengan tulus? Sudahkah bermeditasi dengan tulus? Sudahkah menjurnal dengan tulus? Semua tindakan akan dikorelasikan dengan ketulusan, sebagai modal merajut lingkaran malaikat.
Di mana pun Lembaga SHD, baik sebagai pekerja maupun clientele, semua pihak sedang dilatih ketulusan melalui apa pun kegiatan yang ada dalam ruang lingkup lembaga. Dengan harapan bahwa, ketulusan akan terus terjaga di keseharian walaupun beraktivitas di luar Lembaga SHD. Ruang berlatihnya disediakan untuk praktik hening dan beraksi.
Maka, bagi yang telah diberi peran dan diberi ruang untuk berkontribusi, manfaatkan sebaik-baiknya dengan kesungguhan untuk bertumbuh dan berevolusi dalam ketulusan. Jangan malah sibuk menambah daftar agenda egoistik menjadi semakin panjang.
Meditasi dengan teknik yang diajarkan, latih ketulusan dalam ruang praktik yang disediakan, ciptakan lingkaran malaikatmu, jangan malah memilih lingkaran menuju server kiri.
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
22 November 2024
Belajar spiritual murni ini adalah pembelajaran paling berat yang pernah saya pelajari dan lakukan seumur hidup.
Kata kunci ketulusan, tanpa hasrat egoistik, adalah hal yang sering saya dengar, tetapi pelaksanaannya ternyata masih asing bagi saya. Sudah hidup terbiasa dengan kalkulasi untung rugi, membuat otak saya perlu dikalibrasi total untuk menjadi tulus. Apalagi, saya punya kebiasaan untuk merepresi sigel dan perasaan tidak tulus, jadi sering merasa sudah tulus, padahal belum.
Sepaket dengan ketidaktulusan itu adalah ambisi, ego, dan kesombongan. Pengen kaya, ingin dianggap hebat, dan merasa lebih pintar dari yang lain. Seperti yang kata Mbak Ay, solusinya adalah hening. Hening saya juga masih pas-pasan, jadi saya terus berlatih untuk meningkatkan kualitasnya. Secara kognitif, saya juga berusaha semakin sadar untuk melakukan semua kegiatan dalam keseharian dengan lebih tulus dan tanpa pamrih.
Dari judulnya saja sangat relate dengan apa yang dialami oleh saya (rasanya teman-teman kebanyakan juga) karena standarnya memang standar langit, ya. Semua nilai-nilai yang dipersyaratkan adalah selesai dengan diri sendiri, yang artinya kita berhadapan dengan ego sendiri alias sisi gelap yang ada dalam diri kita, yang asalnya dari berbagai lapisan kesadaran, dan juga dari kehidupan yang lalu-lalu. Namun, hal ini juga sebanding dengan keberadaan Sang Juru Selamat yang sudah menunjukkan jalannya. Karena, nyatanya memang sudah ada yang telah mencapai keberhasilan, mencapai pencerahan.
Mengenai kunci utama dalam hal belajar SMSHD, yatu KETULUSAN, ini juga berkaitan erat bagaimana cara kita belajar teknik meditasi yang tepat sesuai dengan metode ajaran SMSHD itu sendiri. Sementara itu, ajaran ini sangat menyeluruh/menyatu dalam kehidupan di keseharian kita, istilahnya “way of life”. Nah lo, semua yang terlibat di sini, tidak bisa memisahkan ajaran ini dengan kehidupan keseharian, harus menyatu, holistik. Bersyukur ya, jadi disingkapkan ajaran Semesta, semakin jelas hukum Kosmik yang meliputi, sehingga tidak heran akan adanya slogan “high gain, high risk” itu.
Saya sebagai pembelajar yang termasuk lama karena pertama mengetahui Mas Guru SHD lewat Buku Suwung terbitan Javanica di tahun 2018 pun, bolak-balik masih ada dalam tahapan memperbaiki pola belajar teknik meditasi yang benar. Tapi, tentu saya bersyukur, banyak hal yang saya pelajari atas pengalaman-pengalaman diri. Istilah Mbak Ay adalah “Pengalaman Ketuhanan.” Jadi makin mantap, jelas, dan gamblang bahwa inilah jalan KESELAMATAN, tidak ada jalan yang lain.
Teringat pesan Mbak Ay di buku Sabda Suci. “Ketulusan adalah Kunci Emas.” Ketulusan ini menjadi PR saya setiap harinya. Bekerja di lembaga Mas Guru tanpa ketulusan memang rasanya tidak mungkin. sudah melihat sendiri orang-orang yang akhirnya mental karena yang dikejar hanya keinginan egoistik. Saya pun kemudian beberapa hari ini juga jadi berkaca ke diri sendiri. sudahkah saya tulus ketika bekerja? Tulus yang bagaimana? Akhirnya saya menemukan diri saya yang masih sering ngeluh-ngeluh tipis ketika mengerjakan sesuatu. Mau tipis atau tebal tetep aja ngeluh = tidak tulus.
Bekerja di lembaga Mas Guru = sepaket dengan ajaran SMSHD, tidak bisa tidak. ini pun juga melihat sendiri bagaimana orang-orang yang hanya terbuai oleh pesona ataupun kesaktian Mas Guru akhirnya juga mental. Bagaimana dengan saya? Jujur, saya pribadi ketika Mas Guru selalu mengatakan “anugerah” ada rasa dag dig dug, karena berarti tanggung jawab dan risiko juga makin besar. Artinya kalau hening tidak dikencengin, pastinya akan berantakan, nggak akan nyambung satu dengan yang lainnya. Jujur, saya masih auto mempertanyakan ke diri sendiri, apa bisa ya mengerjakan tanggung jawab ini? Bagaimana caranya biar bisa mengerjakannya? Ya hening. Lagi-lagi tidak ada jawaban lain selain hening. Gampang diucapkan tapi melakoninya pakai jungkir balik. Tidak mudah, apalagi kalau ego sudah disentil. Otak rasanya seperti dibolak balik, hati diaduk-aduk. Awalnya saya stres karena tidak sesuai ego. Bagi saya tidak mudah untuk memahami ajaran Mas Guru yang rasanya semua terbalik dari dunia saya yang sebelumnya. Bolak balik terpeleset. Butuh perjuangan untuk bisa setidaknya mengerti dulu. Hampir setiap hari sudah diwedarkan oleh Mas Guru dan Mbak Ay, tapi nggak paham-paham juga. Ego masih bermain-main. Setelah beberapa tahun, sedikit demi sedikit saya mulai memahami bahwa untuk belajar dengan rendah hati, proses itu harus dilalui. Ini benar-benar menguji bagaimana daya tahan, ketekunan, dan ketangguhan saya. Iya, kalau tidak seperti ini, bagaimana saya bisa berkembang jika hanya terbuai dengan kesaktian Mas Guru? Tidak ada ketulusan sama sekali, karena semua itu hanya didorong oleh hasrat egoistik, ingin ini itu dari Mas Guru. Hihi, jujur dulu niat awal saya belajar memang ingin hidup tenang dan damai (yang seolah bisa langsung disulap oleh Mas Guru dalam sekejap), ampun Gusti. Ternyata, oh ternyata, prosesnya bukan begitu, Fergusooo… Hihi, jungkir balik, ndlosor. Tapi inilah jalan keselamatan itu. Dan inilah yang membuat saya menjadi Puteri yang sekarang, yang lebih bahagia dari sebelumnya 😁.
Iya, sulit, tapi bukan berarti tidak bisa. Yuk, mari terus semangat belajar dan berlatih, Puteri 💪. Terima kasih Mas Guru, Mbak Ay, atas bimbingan dan penggemblengan ini ❤️.
1. Meditasi dapat dilakukan di mana saja dengan posisi senyamannya, tidak memerlukan orientasi tertentu.
2. Tuhan bukan untuk disembah
3. Dosa dapat dihapuskan saat hidup di dunia
Ketiga kalimat ini yang menarik perhatian saya kemudian bergabung dengan Persaudaraan Matahari (PM) Maret 2023. Mendekati dua tahun bergabung dalam PM asuhan Mas Guru SHD, ajarannya pokoknya cukup lakukan keheningan dengan bernafas secara natural tidak diatur, rileks, pasrah, tulus, arahkan pikiran hanya pada nafas, artinya kendalikan pikiran bukan kendali nafas Anda. Begitu Mas Guru mengarahkan kepada setiap muridnya, baik dalam wedaran maupun yang selalu diucapkan dalam berbagai audio dan itu diulang-ulang, bahkan selalu ditekankan, HENING, HENING, HENING. Setiap muncul sigel Anda lakukan keheningan.
Begitu mudah? Diucapkan, praktiknya nanti dulu. Saya sudah hampir dua tahun belajar dengan metode Mas Guru dan Mbak Ay, belum juga paham atau menemukan yang disebut dengan keheningan, walau Mbak Ay sudah memberikan validasi bahwa tingkat keheningan saya berada di range antara 0,5% – 7.0 % , dengan persentasi rata-rata 5%.
Rileks
Yang seperti apa wujudnya? Apakah dengan duduk diam, tidak merasa kemrungsung, tidak menghitung, dan melihat durasi audio, pikiran tidak kemana-mana? Apakah ini sudah dikatakan sebagai rileks?
Natural
Bernafas dengan natural, sudah lakukan sewajarnya seperti biasa kita bernafas sehari-hari, begitu arahan Mas Guru, tetapi ketika dipraktikkan, nafas seperti diatur-atur, kemudian jantung terdengar berdetak cepat, sehingga yang terjadi malah seperti habis lari maraton, ngos-ngosan. Coba disadari dengan melek supaya terasa alami, bisa dilakukan, tetapi ketika pejam mata mulai lagi.
Pasrah
Saya merasa sudah pasrah, pasrah total, menurut pemahaman saya, pasrah mengikuti ajaran Mas Guru dengan meninggalkan semua ajaran lama, benar-benar mengosongkan gelas dan mulai hidup baru. Ternyata bukan itu maknanya, lepaskan semua ego, percayakan semua Rancangan Agung hanya pada Gusti yang Maha Agung, terjadilah kehendaknya, sesuai kasih dan keadilanNya. Ini pun tidak mudah dilakukan. Ketika saya mengalami sakit darah tinggi yang belum pernah saya alami, hingga mencapai 209 pada saat tugas baru-baru ini, baik di Ternate maupun di Lampung, saya WA Mbak Ay tengah malam terkait kondisi saya, jawaban Mbak Ay, lakukan keheningan, rileks, jangan mikir apa-apa. Saya saat itu hanya merasa nyaman sudah WA Mbak Ay. Kalimat itu sudah cukup untuk memotivasi saya untuk pasrah. Walau tetap saja saya minta diantar ke IGD, dan minum obat.
Ternyata ujian hidup untuk pemurnian jiwa raga tidak semudah itu, perlu perjuangan untuk menghapus dosa yg berjibun.
Tulus
Kata yang singkat ini pun tidak mudah dijalankan, saya merasa-rasa versi saya bahwa saya sdh tulus, ternyata saya masih mikir ego saya, supaya penyakit saya hilang dari tubuh saya, supaya saya cepat bisa merasakan kedamaian, bahagia. Lihat orang cantik dan seksi saja masih ngeres pikirannya, ampun Gusti. Masih suka mengkhayal, kata-kata seandainya saya jadi orang kaya — saya mau ini saya mau itu, masih muncul dalam pikiran. Masih juga menciptakan ilusi yg menambah dosa, lupa kembali untuk sadar nafas dalam kondisi apa pun juga. Ketika saya sempat bertanya kepada Mas Guru, tentang makna tulus, langsung kena jitak, begitu saja ditanyakan.
“Tulus itu artinya kita hanya fokus kepada pemurnian jiwa dan raga,” begitu mbak Ay menjawab dalam grup PM3. hehehe.
Terima kasih mas Guru dan Mbak Ay serta para leader, sekadar curhat subuh, sehabis saya medfor pagi pukul 04.05, 2 Desember 2024. Salam selaras.
Menjawab PR Mbak Ay ini sekaligus refleksi sidak LOC pagi ini yang perosotan ke 150, membuka tabir ilusi saya selapis lagi yang ternyata selama ini tidak saya sadari. Berawal dari evaluasi-evaluasi Mbak Ay terkait pekerjaan saya di Avalon dan Pusaka Indonesia, terbongkarlah kotak pandora saya yang selama ini tersembunyi dan tak terdeteksi.
Tadinya saya hanya mengira ini sebatas kebiasaan buruk saya yang kurang teliti, tidak cek dan ricek pekerjaan sebelum disetorkan, ingin serba cepat supaya bisa move on ke pekerjaan lain, dan kaitannya dengan kemampuan TIR yang masih empot-empotan di kisaran kualitas hening 3%.
Kemudian kebongkar lagi kalau ternyata saya belum mampu berpikir sistematis dan holistik dalam melihat pekerjaan. Masih sangat parsial, hanya fokus pada yang ada di depan mata dan luput melihat gambaran besar serta keterkaitan antara masing-masing bagian.
Loophole saya banyak banget, ternyata dari pekerjaan-pekerjaan saya yang tidak beres di kedua lembaga ini. Saya yang dulu sangat menyombongkan pengalaman kerja profesional saya, ternyata kualitas pekerjaan saya begitu rendah.
Mulai oleng-oleng dan merasa tidak enak, ternyata makin banyak pekerjaan saya yang tidak beres selama ini.
Kejernihan 40%, merenung sejenak, sidak LoC 150 muncul. Saya jeda, niteni diri. Ada baper kah? Ada penolakan? Ada perlawanan? Rasanya tidak, semua saya terima dengan apa adanya. Ternyata beginilah fakta kondisi diri saya.
Medfor lagi dan merenung, saya sampaikan refleksi japri saya pada Mbak Ay dan ternyata, oh ternyata, terbukalah apa yang melandasi perilaku sembrono saya dalam bekerja tersebut.
Saya ternyata belum move on dari stage pemuja sosok SHD. Fokus saya pada Mas Guru sebagai pribadi, bukan pada ajarannya yang kemudian menjadi way of life, seperti yang Mbak Ay jelaskan di tulisan ini. Itulah fakta sesungguhnya tentang diri saya yang tidak tampak di permukaan.
Pantas saja totalitas dan integritas masih menjadi PR saya. Ternyata akarnya ada di sini.
Pengalaman saya bekerja di birokrasi, menangani bos-bos VIP, memang berkontribusi pada mindset ini, yang membuat saya fokus melayani sosok VIP ini. Kebutuhannya terpenuhi, perintahnya dilaksanakan, yang lain saya taruh di prioritas berikutnya yang saya layani secukupnya. Ternyata mindset itu terbawa hingga ke sini. Ples, terbongkar dari penjelasan Mbak Ay juga bahwa saya memilih sosok VIP yang saya nilai akan menguntungkan untuk saya. Hakjleb… The ugliest truth about me. Malu banget rasanya ternyata saya masih seperti itu. Pantas saja kunci emas ketulusan itu masih sulit saya pegang. Hasrat-hasrat egoistik masih bertebaran di sana-sini dengan pamrih.
Painful truth, asli pahit menghadapi kenyataan bahwa diri saya masih sebobrok itu kualitasnya, dan masih jauh dari menginternalisasi SMSHD sebagai way of life. Jatah peran yang dipercayakan pada saya sebagai CEO, Kabid, mentor, dan leader, sungguh sangat tidak layak untuk saya yang masih jauh dari tulus, totalitas, dan berintegritas. Sesungguhnya ini sangat memalukan 🙈.
Namun satu hal yang saya syukuri, akhirnya moment of truth ini terbuka juga. Gedebuknya pedih, tapi inilah saatnya saya untuk sungguh-sungguh memperbaiki diri. Bersyukur juga saya mampu merasakan kasih Mbak Ay yang sesungguhnya, di balik umpan balik yang tepat sasaran dan jujur, meskipun terasa ngilu.
Saya bersyukur berkesempatan dibimbing untuk memperbaiki diri. Bersyukur tidak ada keinginan untuk kabur atau ngeyel. Sebaliknya, saya benar-benar ingin waras dan memperbaiki diri yang masih mencong-mencong ini.
Maturnuwun Gusti, Mbak Ay, Mas Guru.
Bekerja di lingkungan Mas Guru dan Mbak Ay memang tidak mudah. Sikap manut dan menerima tugas-tugas baru terasa seperti bakti, namun ternyata memendam kebutuhan akan pengakuan atas hasil bakti tersebut. Saya merasa perlu untuk “ngegas” teman-teman setelah menerima tugas yang juga “digeber” ke diri saya, tetapi saat teman-teman jalan di tempat, kekhawatiran muncul atas ketidaksempurnaan diri dalam menjalankan tugas-tugas yang diserahkan kepada saya.
Pencitraan menjadi kata kunci dari sikap saya yang terbalut pada kata “bakti” kepada Guru dan Mbak Ay. Kegalauan muncul saat terjadi miskomunikasi dengan teman-teman dan sikap menyalahkan kemandekan orang lain saat ada tugas yang tidak terlaksana dengan sempurna. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, saya menyadari bahwa kesalahan utama ada pada diri saya yang kurang memastikan sebuah tugas secara keseluruhan. Helicopter view saya terlalu rendah sehingga hanya melihat bagian per bagian.
Merasa puas menjalankan tugas yang hanya sebagian saja, bisa jadi inilah yang terbawa saat saya membereskan sisi gelap diri. Saya merasa puas setelah menyelesaikan satu sisi gelap, merasakan euforia, lalu lanjut lagi tanpa keberlanjutan yang jelas. Akibatnya, semuanya menjadi mandek.
Matur nuwun atas kesempatan untuk merenung dan belajar dari pengalaman ini.
Membaca tulisan PR ini, membuat saya sudah nggak nyaman, kena banget, karena dikuliti. Jujur mau ngerjain, saya baca lagi beberapa kali dan masih ragu. Akhirnya saya tulis aja apa yang muncul. Karena ini saya banget. Merefleksi belajar 6 tahun, tapi masih bonsai nggak maju – maju. Saya belajar SMSHD karena bucin, bukan ke Mas Guru secara fisiknya tetapi ke cari perhatiannya. Ingin dipuja – puji jika sudah melakukan pekerjaan. Makin besar jempol, akan makin bahagialah saya sehingga lupa untuk menjalani ajarannya. Tujuannya saya sudah nggak tulus. Ada pamrih, mikir imbalan apa yang akan saya dapat. Saya malu banget, kok begini amat ya. Jadi ketika melakukan tugas yang diberikan, saya mengharapkan sesuatu. Tentunya berimbas ketidakpercayaan saya ke selain Mas Guru. Wong ke Mas Guru aja belum full trust apalagi selain Mas Guru. Ampun Gusti, Mas Guru, Mbak Ay.
Saat pertama kali membaca tulisan ini, saya hanya sekadar membaca tanpa memahami isi sebenarnya, bahkan pekerjaan saya pun terlewat. Hari ini, saya mencoba membaca lagi, namun kepala langsung pusing. Saya memutuskan untuk medfor sejenak agar bisa netral. Setelah medfor, saya membaca lagi kalimat demi kalimat dan tiba-tiba saya menemukan titik terang: “obatnya cuma meditasi yang banyak dengan teknik yang tepat,” bukan sekadar omong kosong dalam jurnal robotik yang hanya menggugurkan kewajiban.
Refleksi saya menyadarkan bahwa selama ini jurnal saya hanya sekadar untuk memenuhi kewajiban. Saya sudah journaling setiap hari, namun usaha perbaikan dari temuan-temuan sigel belum saya lakukan sepenuhnya. Saya masih merasa nyaman dalam zona yang itu-itu saja. LoC saya juga stagnan, tidak ada peningkatan, karena saya belum maksimal dalam menjalankan laku hening yang benar. Saya masih berharap pada dorongan eksternal. Sampai kapan saya akan terus seperti ini?
Sekali lagi, ketulusan menjadi dasar dari semua laku hening. Jika laku hening dilakukan tanpa ketulusan, maka saya hanya akan tumbuh seperti bonsai, tidak berkembang. Mohon ampun, Mas Guru dan Mbak Ay, saya belum maksimal dalam belajar, padahal sudah diberikan kesempatan untuk masuk di SC ini. 🙏
Ajaran spiritual yang paling mendasar adalah bersyukur dan bahagia secara konsisten. Namun, justru hal ini yang paling sulit dilakukan karena masih sering on-off. Ketika dihadapkan pada situasi yang tidak sesuai dengan ego, saya langsung merasa puyeng dan sulit untuk bersyukur atas anugerah hidup yang ada.
Salah satu PR saya adalah kebiasaan menunda. Saat lagi hectic dan panik, saya sering menunda untuk medfor. Walaupun terkadang saya bisa melakukan medfor ketika situasi hectic, tapi sebagian besar waktu saya masih belum melakukannya. Ini menunjukkan bahwa latihan hening masih belum menjadi prioritas utama saya.
Di sisi lain, latihan hening membantu saya menjadi lebih peka terhadap emosi yang muncul. Ketika saya merasa kesal, takut, atau khawatir, saya bisa lebih cepat menyadari dan tidak membiarkannya berlarut-larut. Meditasi membantu untuk menetralisir emosi tersebut. Namun demikian, emosi dan memori yang tidak nyaman masih sering muncul, tetapi saya bisa mengelolanya dengan latihan hening. Saya sudah berniat untuk tidak membiarkan ada luka batin lagi.
Satu hal yang saya rasakan cukup sulit adalah belajar spiritual jarak jauh. Berdasarkan pengalaman tiga tahun saya di Kanada, LOC saya stagnan di sekitar angka 140-an. Namun, ketika saya kembali ke Jakarta dan lebih sering bertemu dengan keluarga PM, LOC saya mulai naik dan kini sudah menyentuh angka 400.
Belajar spiritual di SMSHD bagi saya pribadi sangat seru (makanya pernah Mas Guru berkata, “jangan belajar sama Mas Eko, karena pengalamannya ekstrem” 😁). Tapi memang pembelajaran ekstrem seperti itulah yang diperlukan untuk jiwa saya. Apalagi, menjadi salah satu murid yang cukup dekat dengan Mas Guru dan Mbak Ay.
Dengan latar belakang kehidupan yang sebelumnya serba “mulus” (jabatan, uang, keluarga, dan lain-lain), saya memerlukan gemblengan yang luar biasa agar jiwa saya bisa terasah dengan keras untuk masuk ke fase-fase kesadaran spiritual berikutnya. Saya pernah mengalami “jatuh kesadaran spiritual” selama 1 tahun 3 bulan, sebelum akhirnya menemukan lingkaran malaikat dan bisa kembali lagi.
Saya juga menyaksikan teman-teman seperjalanan yang akhirnya tumbang karena tidak kuat dengan tantangan yang dihadapi dalam upaya untuk tetap setia dan konsisten berjiwa murni sesuai dengan ajaran SMSHD.
Di level kesadaran saya saat ini, tantangan saya adalah latihan fisik. Setelah mengalami vertigo dan muntah-muntah, tantangan fisik saya sekarang adalah asam lambung yang menekan jantung dan paru-paru. Akibatnya, baju-baju pun jadi tidak muat karena perut membesar. Ditambah dengan kaki yang bengkak, saat ini saya bahkan sudah tidak bisa memakai sepatu karena ukuran kaki bertambah 2-3 nomor 😁. Hal ini membuat saya kesulitan hanya untuk naik ke kamar di lantai atas (ngos-ngosan) dan tidur yang tidak nyenyak (setiap 2 jam terbangun). Aktivitas mandi saja sudah menjadi aktivitas fisik yang menguras tenaga. Namun, saya sadar semua ini harus saya hadapi dengan berserah diri, karena pesan Mbak Ay adalah untuk tidak mengonsumsi obat kimia. Anak saya yang berprofesi sebagai dokter sempat protes, tetapi akhirnya dia sadar sendiri, karena memang Bapak dan Ibunya sudah “gila” 😂.
Kadang muncul ambisi ingin segera sembuh agar bisa produktif bekerja, tetapi ambisi tersebut bertentangan dengan ajaran SMSHD. Jadi, saya terima saja latihan fisiknya, berserah diri, dan menambah medfor sebisanya.
Memang benar, belajar di SMSHD jelas tidak mudah, saudara dan saudari.
Sungguh judul yang sangat tepat dan akurat, sangat sesuai dengan kenyataan, bahwa belajar SMSHD tidaklah mudah.
Dalam konteks objek, benda seperti emas saja untuk menghasilkan emas murni bukanlah perkara gampang. Prosesnya panjang dan bertahap, mulai dari ekstraksi bijih emas, dihancurkan, dilebur agar terpisah dari kotoran, hingga dimasukkan dalam larutan sel elektrolit untuk menghasilkan logam dengan kadar 99,99%.
Apalagi untuk memurnikan jiwa raga seorang manusia yang telah diperlengkapi dengan otak (baca: ego), kehendak bebas, serta deposit karma dari beberapa kelahiran atau bahkan saat ini, menjadi hal yang jauh lebih kompleks dalam proses pemurniannya dibandingkan dengan emas.
Saat pertama mengenal SMSHD dan melakoninya, saya merasa ini adalah satu-satunya ajaran spiritual yang benar-benar murni, tanpa omong kosong, tanpa ritual yang berlebihan, tanpa mengejar target kesaktian tertentu. Kelihatannya poros lakunya sederhana, hanya laku hening: formal dan informal, tetapi dalam praktiknya sungguh tidak semudah itu 🎶🎵.
Mata kuliah dasar “rileks” saja terkadang cukup susah dan bisa membuat frustasi bagi pembelajar baru. Yang sudah bisa rileks, harus menambah lagi PR-nya untuk meningkatkan kualitas hening agar proses purifikasi bisa terjadi secara efektif. Ketika mulai tahap purifikasi, prosesnya pun tidak menyenangkan karena harus meluruhkan segala sisi gelap dalam tiga lapisan kesadaran (sadar, bawah-sadar, dan tak-sadar).
Ketika sudah mulai konsisten menapaki proses purifikasi, masih ada level kesadaran (LoC) yang harus ditapaki dengan waspada dan eling agar tidak terperosok turun dan harus mulai lagi dari awal. Bahkan setelah mencapai pencerahan perdana hingga shalala, masih terbuka luas tahap pencerahan yang tanpa batas. Jadi, benar-benar belajar SMSHD adalah life-long learning, pembelajaran sepanjang hidup.
Hal lain yang menjadi keistimewaan belajar SMSHD adalah membumikan, mengaktualisasikan kesadaran spiritual dalam kehidupan sehari-hari, dalam berkegiatan, dan berkarya nyata. Jadi, tidak cukup hanya berhenti pada kenaikan level kesadaran atau merasakan kebahagiaan sejati, tetapi harus disertai dengan tanggung jawab untuk berkontribusi nyata melalui karya, menciptakan karma baik, menciptakan lingkaran malaikat yang, seperti bola salju, akan mengakselerasi dan mengamplifikasi pertumbuhan kesadaran, terus berputar progresif.
Berkaca pada pengalaman otentik saya yang pernah melorot level kesadaran karena belum berhasil berkarya nyata untuk menciptakan lingkaran malaikat, ini menjadi PR saya ke depan agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Saya harus sungguh-sungguh memperbaiki diri, mulai berkarya dengan penuh tanggung jawab, dilandasi ketulusan. Saya teringat pesan Mas Guru: “Untuk membuktikan dengan perbaikan karya.” Tentu ini tidak akan mudah, tapi saya siap untuk terus belajar, berjuang, berproses, dan bertumbuh.
Menilik perjalanan belajar saya di PM yang lamban bagai siput, saya melihatnya belum apa-apa, tantangan yang saya hadapi tidaklah seberapa, dalam arti, jika dibandingkan dengan cerita teman-teman yang lain. Saya tidak pernah sampai mengalami drama-drama ekstrem Oh Mama Oh Papa, atau bahkan sampai hidupnya di-reset. Saya malah melihat banyak hal yang bisa saya syukuri. Hidup saya sebelum PM kayaknya lebih “susah” dan lebih nggak jelas.
Sekarang, saya tidak bisa lagi “menengok” era prasejarah membaca lagi keculunan saya awal-awal masuk PM, karena hape saya pernah mengalami reset. Hilang semua data.
Betul, ada masanya, saya down melihat skor ketekunan, kesungguhan, trust, ketulusan, yang minim. Down dengan skor yang pernah bantet lama. Down melihat teman-teman belajar satu per satu masuk sirkuit jalur cepat dengan LoC membumbung, sementara saya stuck. Ada rasa FOMO dan kompetitif, “kok saya nggak diajak.” Saya menghadapinya dengan mengikuti arahan Mbak Ay, selalu persiapkan diri dengan medfor sebelum membaca skor evaluasi, dan kalau muncul baper, medfor lagi setelah membaca hasil rapor.
Berefleksi lagi ke belakang, tantangan yang buat saya susah ada di bagian mengelola pikiran. Sebagai pemegang skor tinggi pikiran rumit dan predikat ratu spaneng, saya juga sering kewalahan menghadapi pikiran liar, khayalan, pikiran cabul, prasangka, dan sebagainya. Medan peperangan terbesar saya ada di kepala, yang membuat saya susah sekali hening.
PR lainnya yang saya rasakan susah adalah PR ketulusan. Tentu saja, pikiran yang tidak selaras, akan membuat saya mudah sekali kepleset pada motif-motif egoistik. Pikiran = ego. Yang tadinya mungkin niatnya sudah bener, pikiran liar lewat, jadi belok tergiur sama iming-iming, “Ngarep boostingan”, “Berkelimpahan”, merasa spesyel, eh, ngayal bucin juga 🙈. Ini ya kayaknya yang membuat kualitas hening saya mentok, susah naik.
Tapi saya tidak mau menyerah, meski jalannya harus alon-alon. Endurance dan siapin lari marathon, itu pesan Mbak Ay yang selalu saya ingat, karena pembelajaran ini adalah pembelajaran seumur hidup. Peperangan di kepala saya akan terus ada selama nafas saya ada.
Benar, begitu susah belajar spiritual murni ini, dengan kemandekan LoC saya di posisi bawah. Masih banyak sigel yang belum bisa dibereskan, karena egoistik yang belum bisa dikikis. Yang ada cuma merasa bisa, padahal belum bisa belajar spiritual murni. Berusaha memperbaiki diri, tapi tetap saja masih mandek.
Kalaupun sudah tahu secara kognitif bahwa ketulusan adalah kunci dalam menjalankan SMSHD, tapi susah banget melakukannya. Selalu muncul keegoisan “Merasa bisa”. Susah amat sih menghilangkan ini. Ampun Gusti.
Gimana nggak susah coba, untuk bisa rileks saja butuh bertahun-tahun, karena saking baalnya diri ini dari kecil, kebanyakan ngayal.
Dulu, harapannya dipuk-puk hasil cocoklogi saya atas kalimat-kalimat filosofis spiritual yang kadung nempel di kepala. Eh, taunya disuruh dibongkar karena memang nggak berguna kalau itu semua tidak merubah realitas jiwa menjadi semakin murni… jlebb.
Dulu, setelah merasa paham teori spiritualnya, gairah dakwah saya meronta-ronta ingin turut serta mewartakan berita langit ini. Eh, taunya disuruh benerin diri dulu, ubah realitas jiwa sendiri agar semakin murni, belajar berintegritas… jlebb.
Dulu, merasa orang paling tulus dan ikhlas sedunia akhirat, karena kalau ngajak orang ngaji dengan mandiri dan gotong royong. Sekarang, semakin terbuka borok-borok lapisan-lapisan ketidaktulusan. Contoh, nggrundel dan ngeluh saja sudah jadi tanda nggak tulus… hemm… jlebb.
Dulu, sering menjadi bahan bercandaan saya dengan Pak Eko kalau ada yang mengatakan belajar spiritual murni ala Mas SHD ini “gampang-gampang susah,” itu hanyalah kata-kata mutiara belaka karena pada praktiknya memang tidak mudah sama sekali. Meleng sedikit, turun kesadaran. Meleng lagi dan meleng lagi, jadi ambrol kesadaran. Begitu sulitnya perjalanan ini sampai harus betul-betul mau untuk selalu berhati-hati dalam melangkah, dan mau selalu eling lan waspodo.
Kasus ambrolnya kesadaran saya yang belum pulih seperti sebelumnya, membuktikan semua ketidakmudahan dalam belajar spiritual murni ini, baru naik kesadaran sedikit, turun lagi, naik lagi, turun lagi.
Banyak sekali faktor-faktor yang masih harus dibereskan, terutama soal ketulusan dan bersyukur ini yang memang masih menjadi PR bagi saya, yang ada kalanya bisa los dol, ada kalanya juga masih nyangkut di pikiran.
Terus belajar dan belajar lagi. 🙏🏻🙏🏻
Makin hari belajar SMSHD memang makin terasa sulit. Tentu saja yang awalnya masih di permukaan dan merasa baik-baik saja. Merasa sudah menjadi orang baik, merasa diri ini suci, pada kenyataanya ketika mulai semakin rutin latihan hening terbukalah banyak kotak pandora. Tenyata diri ini penuh akan luka batin, bukan hanya luka batin saja, penuh watak angkara dan hasrat egoistik juga.
Untuk ajek kualitas hening medfor yang baik saja masih belum bisa, apa lagi TIR (Topo Ing Rame). Jadi ketika sigel muncul, kapal mudah oleng, Kapten!
Belum lagi hasrat sok taunya juga sering meronta-ronta, merasa lebih baik dari pada orang lain, di awal belajar kadang suka sok menasehati orang rumah. Padahal diri sendiri saja belum bener 🙈. Sekarang hasrat itu masih ada, kadang sadar buat hening, kadang masih suka bablas sok tau.
Pintar mengarahkan, tapi praktik sendiri masih banyak zonk-nya. Baru di PM terbongkar kalau selama ini saya tidak pernah sinkron antara hati, pikiran, perkataan, dan perbuatan. Contoh, melaksanakan pekerjaan masih ada mengeluh.
Lewat SMSHD ini juga yang awalnya saya mengira sudah tulus, ternyata tidak tulus sama sekali. Melakukan sesuatu atas dasar pakewuh, mau dianggap baik, mau dianggap paling berjasa, dll. Masih banyak PR soal bab ketulusan ini.
Bersyukur sudah ketemu ajaran SMSHD ini, walau tidak mudah tapi yang dirasakan saat ini hidup jadi lebih punya makna. Tidak seperti robot yang hari-hari biasa dilakukan. Diterima semua dinamika dalam diri, tetap terus berjuang dan berlatih apa pun keadaannya.
Benar adanya yang diuraikan Mbak Ay dan ini terjadi pada diri saya. Susahnya minta ampun. Terbukti yang saya alami selama 5-6 tahun berjalan, saya belum juga mampu mencapai kemurnian jiwa dan raga sepenuhnya.
Bila saya me-review diri sendiri secara jujur dan menggunakan akal sehat, mindset saya sebelum “Badai Bulan November” adalah bahwa tugas utama dalam menjalani SMSHD adalah HENING. Semua dilakukan atas panggilan jiwa, kesadaran diri, sangat bebas sesuai free will masing masing, nikmati berproses dan menunggu momentum kesadaran bertumbuh bagi setiap individu.
Ternyata diberi kesempatan Semesta untuk mengemban tugas di lembaga Mas Guru = dealing serta komitmen dengan tugas dan tanggung jawab yang mesti dijalani penuh totalitas dan ketulusan. Kesemuanya adalah sebagai wahana bertumbuh di jalan SMSHD. Sebagai kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Dibukakan jalan menemukan versi terbaik diri sesuai rancangan agung Semesta.
Kasus nyata yang saya alami, mendapat penugasan dalam lembaga Mas Guru (Direktur Operasional PT BNGR). Sungguh terpontal-pontal ujian praktiknya. Meski merasa sudah berusaha dengan sungguh sungguh dan penuh totalitas, ternyata hasilnya zonk dalam 1 tahun lebih ini (mulai bulan Agustus 2023). Mindset saya masih jadul berspiritual. Bekerja menggelinding sesuai penyadaran diri dari masing masing individu yang terlibat sesuai peran yang diemban. Ingat, ini perusahaan, mesti profit oriented, Bro! Ternyata saya belum berhasil dalam mengelola perusahaan (dalam arti belum bisa profit).
Kini saya sadari bahwa adanya perbedaan tingkat kesadaran setiap individu dalam tim adalah kenyataan yang harus dihadapi. Hal ini memerlukan seni tersendiri dalam mengelolanya. Tak dapat disama ratakan dengan pengalaman kerja formal yang serba terstruktur berdasarkan SK.
Alih-alih mau mengharap dapat mematerialisasikan, keinginan dapat menghasilkan profit, malah justru zonk dalam kenyataan, terlalu banyak beban biaya operasional dan gaji karyawan.
Banyak pelajaran yang dapat saya petik usai Badai bulan November. Ke depan, tugas dan tanggung jawab yang saya emban akan saya jalani dengan kesungguhan, totalitas untuk kepentingan bersama memajukan perusahaan. Selalu berendah hati dalam bersikap, terbuka, transparan serta niatkan tulus paripurna.
RAHAYU🙏🏼.
Saya sudah belajar SMSHD kurang lebih sudah 3 tahun 3 bulan , merasakan bagaimana susahnya belajar, melihat teman-teman yang “berguguran” dan melorot kesadarannya
Saya pun mengikuti beberapa kali program kepamomongan supaya bisa belajar lebih intensif, harapannya agar pertumbuhan kesadaran bisa lebih cepat, tapi dalam perjalanannya tidak semudah itu, tidak seperti yang diharapkan. Beberapa kali kepamomongan, kesadaran mengalami penurunan dan stagnan, hasil evaluasi ketekunan masih rendah, kualitas hening masih di bawah 5%, pemahaman dasar ajaran SMSHD juga masih rendah.
Ketulusan saya menjadi salah satu faktor yang menghambat perjalanan ini. Hal ini terjadi karena saya masih sering menuruti ego, belum sepenuhnya tulus dalam menjalani, sehingga praktik hening pun hanya sekadarnya saja, tidak menjadi prioritas utama.
Kesungguhan dan totalitas saya juga masih kurang, yang akhirnya memunculkan sifat malas dan kebiasaan menunda-nunda.
Hal ini bahkan terlihat sejak pertama kali saya diberikan kesempatan untuk masuk ke dalam WAG Sagrada Center. Kesempatan itu saya sia-siakan karena belum mampu bertumbuh dalam kesadaran. Akhirnya, saya tereliminasi.
Namun, saya tidak menyerah. Saya memulai lagi dari nol, mengikuti pembelajaran di Kepamomongan dengan niat untuk memperbaiki diri. Sayangnya, perbaikan itu belum maksimal. Ego dan ketidaktulusan masih sering muncul—saya masih sekadar omdo (omong doang).
Ketika kesempatan datang lagi untuk masuk ke WAG Sagrada, saya menerimanya meskipun hati ini bertanya-tanya, “Mampukah saya?”
Kini, saya bertekad untuk terus belajar, memperbaiki diri, dan menjalani proses ini dengan lebih tulus dan sungguh-sungguh. 🙏
Pesan Guru:
“No Turn Back”
Pesan Mbak Ay:
“Kalau mau, bisa!”
Saya memilih untuk lanjut di jalan SMSHD, meskipun tidak gampang.
🦋🦋🦋
Saya ingat pesan Mbak Ay saat akhir program pamomongan kemarin, kalau saya memang sudah sering berkegiatan aktif di kegiatan-kegiatan di bawah PM, tetapi ya itu ketulusan masih menjadi PR besar buat saya. Dari situ saya berpikir, mangkanya saya bantet saja LoC-nya selama 1 tahun, bolak-balik di range 150-200.
Dari situ, saya mulai niteni hasrat atau niatan egoistik yang timbul yang sebelumnya belum saya proses dengan laku hening -masih sebatas kognitif saja- sehingga menghambat pertumbuhan kesadaraan saya. “Kalau muncul hasrat atau niatan egoistik, ya segera diakui, diterima, lalu diproses dengan medfor, minta ampun. Begitu terus, karena tidak cukup hanya dengan sekali dua kali medfor langsung beres,” begitu pesan Mbak Ay kepada saya saat itu.
Ternyata memang demikianlah yang saya alami sampai saat ini, kalau sadar muncul hasrat atau niatan egoistik, nggak pakai lama, saya langsung TIR dulu sebisanya, diakui, diterima, minta ampun masih punya sigel egoistik dan lanjut medfor jika sudah memungkinkan. Jadi sepertinya kenaikan kesadaran saya saat ini memang tidak lepas dari yang saya lakukan sesuai pesan Mbak Ay. Menjaga kemurnian intensi dan ketulusan sangat berperan dalam pertumbuhan kesadaran.
Dan saat ini, ke depannya, semakin ke atas, semakin halus sigelnya. Nah ini, apakah saya bisa menyadari atau menghadapinya atau tidak? Balik lagi, saya mesti terus menerus meningkatkan kualitas dan durasi hening saya. Kalau tidak, ya siap-siap ambrol. Ini yang kadang masih timbul rasa khawatir di dalam diri saya, apakah saya mampu menjaga kesadaraan saya saat ini? Apakah saya mampu juga dengan risiko peran dan tanggung jawabnya? Jadi, ya, memang sangat-sangat susah belajar spiritual murni ini, karena satu paket: high gain & high risk.
Memanglah susah, hi…hi… hi….
Ini bukan pelajaran akademik yang penting hafal teori lalu bisa menjawab saat ujian dan dapat nilai bagus. Hafal dan memahami teori tentu penting tapi yang utama adalah bagaimana mempraktikkan teori-teori itu dalam laku sehari-hari (selama mata melek). Meleng sedikit oleng.
Mengubah kebiasaan sak geleme dewe yang sudah terbentuk sekian puluh tahun ini bukan perkara mudah. Perlu kemauan, kesungguhan, dan ketekunan. Dan semua ini bisa terbentuk dari niat yang tepat dan pemahaman yang tepat akan tujuan hidup saat ini. Menggempur ilusi-ilusi yang tertanam dari perjalanan dan pendidikan selama puluhan tahun yang membiaskan kebenaran sejati menjadi tantangan tersendiri.
Spiritual murni juga tentang bagaimana kita memproses diri sendiri, ini sungguh tidak mudah. Contohnya, saat menyirnakan luka batin, sudah merasa tersakiti, inginnya ego dibenarkan, dibelain, di sini kita harus memproses diri sendiri, memaafkan, dan menerima semua hal yang membuat kita merasa sakit 😂
Seiring dengan memproses diri sendiri, ada fase di mana kita juga harus keluar diri, menjadi bermanfaat, bertanggung jawab akan tingkat kesadaran, dan berjuang untuk kehidupan secara lebih luas. Ini semakin kompleks, harus semakin besar effort yang harus diupayakan, karena harus keluar dari zona nyaman, tidak lagi yang penting diri sendiri nyaman dan bahagia.
Semakin tinggi tingkat kesadaran semakin halus tantangannya, semakin mudah terpeleset. Harus semakin eling dan waspada.
Jadi memang tidak mudah untuk belajar spiritual murni.
Yaoloh, susah is understatement kayaknya 🤣.
Dikira ikutan workshop atau kajian itu = hening. Dikira rileks, ternyata ngayal. Dikira terhubung sama Gusti, syahdu haru damai, ternyata ketipu demit 🤣, dan masih banyak lagi lainnya.
Udahnya serius ingin belajar pun, ternyata tantangan enggak cuma dari diri sendiri saja, tantangan eksternal pun lengkap, dari orang tua dan pasangan 🤣.
Dari yang nggak peduli kalo dimarahin Mbak Ay, ego kesenggol nggak apa-apa, enggak pernah baper atau pengen ngambek, yang penting ini jiwa raga bisa beres, nggak ada gembolan luka batin dan watak angkara, sampai untuk pertama kalinya pengen ngambek ke Mbak Ay, dan berada di persimpangan jalan (juga untuk pertama kalinya) ketika segerbong sigel muncul pas momen PR Tantra. Momen PR Tantra ini ibarat kalau pendaki itu level advance nya adalah pengen bisa mendaki Mount Everest, ini another milestone ku dalam pendakian dalam belajar SMSHD, dulu yang semangat kalau lihat “Mbak Ay is typing. . . ,“ menjadi sempat yang, “OMG, Sinar Suci dulu 🤣.”
Momen retreat di Solo juga jadi another milestone pemahaman lebih lanjut mengenai hening itu untuk pemurnian jiwa bukan yang lain, dan dari situ bener-bener kayaknya mindset dalam menjalani laku hening SMSHD lebih terarah, lebih in line, meski masih ada butiran sigel bak debu halus dalam keseharian yang masih terus diproses.
Niat untuk perubahan laku <-> yang paralel dengan melakukan laku hening adalah kunci, kalau nggak mudah sekali meluncur, mengingat diri ini produk karbitan, segala cara untuk perbaikan diri harus diupayakan.
Apakah worth it? Buatku sih, iya.
Mengalami jatuh bangun dan mandek ini menjadi bukti betapa susahnya belajar spiritual murni ala SMSHD. For years, saya belajar hanya di kognisi, memahami piece by piece, misalnya akar ketidaktulusan saya saja butuh waktu bertahun-tahun untuk disadari. Itu baru satu aspek, belum lagi aspek lainnya, yang sigelnya bisa muncul, tapi saya nggak ngeh kalau itu muncul. Harus disenggol dulu oleh Mbak Ay baru sadar. Maafkan kebudekan saya, Mbak. 🙏🙏
Mengenali sigel-sigel saya juga baru mulai bisa setelah di SC, dan itu pun setelah diberikan pointers dan tip dari Mbak Ay tentang cara mengatasinya. Walaupun begitu, tetap saja masih tertatih-tatih belajar. Beneran nggak gampang, aselik!
Kalau untuk saya, sebelum bisa mengkalibrasi kembali pemahaman akan banyak hal yang benar menurut SMSHD, saya perlu banyak sekali merenung untuk mengenal diri lebih dalam, piece by piece. Di kehidupan saat ini saja, ada begitu banyak pemahaman hidup yang perlu dikalibrasi, ditambah dengan kehidupan-kehidupan sebelumnya. Hehe, tapi ya nggak apa-apa, this is the life I choose, so, saya pakai kacamata kuda untuk terus belajar hening sampai mati, nggak plirak-plirik tetangga kiri kanan. Maju terus pantang mundur.
Belajar saya sudah lebih dari 5 tahun, dan jujur, ini memang berat. Jatuh bangun, bahkan hampir saja saya meninggalkan ajaran Mas Guru. Untungnya, saya masih bisa menerima apa yang disampaikan oleh Ibu Ay kepada saya—bahwa saya sedang disusupi dark force (DF) hingga ke lapisan tubuh yang paling dalam.
Dari situ, pembelajaran baru benar-benar dimulai. Pelan-pelan, ilusi-ilusi dalam diri saya mulai terbongkar.
Saya mencoba menjalankan keheningan, meski dengan payah. LoC saya hanya berada di angka 160-200-an, dan selama dua tahun terakhir, saya merasa seperti tidak punya “jurus” lagi. Saya sadar, masih banyak sisi gelap dalam diri saya yang harus dibereskan.
Beberapa bulan terakhir ini, saya mulai merasakan semua hal yang tidak enak keluar ke permukaan. Bahkan, itu bisa membuat saya panas dingin, benar-benar terasa secara fisik.
Namun, ini semua adalah anugerah. Kedatangan Mas Guru membuka cakrawala pemahaman saya akan ajaran spiritual murni dan kemuliaan yang menyertainya.
Pas baca judul tulisan, pikiran langsung jalan, ini kira-kira isinya kontradiktif dari judul atau enggak. Sayangnya, bukannya langsung meditasi dulu, saya malah tergoda membaca isinya sekilas.
Kemarin sore, saat mandi, muncul satu kata: roller coaster. Buat saya, belajar SMSHD—terutama setelah masuk SC—bisa diibaratkan seperti naik roller coaster. Segalanya terasa cepat, sekilas kejap. Naiknya, turunnya, ke kanan, ke kiri, serong, bahkan jungkir balik 360 derajat—semuanya terjadi dengan kecepatan yang sekejap mata.
Penumpang wajib memakai seat belt (hening) kalau tidak mau terdepak dari permainan. Kalau seat belt-nya kendor, risikonya adalah “nyawa” alias jiwa bisa melayang. Pilihan bagi penumpang: mau enjoy the ride atau malah berontak, menggerung, menangis, dan ngambek. Bedanya, kalau main roller coaster itu berlangsung beberapa menit saja. Kalau tidak sanggup, tinggal bersabar sampai atraksinya berakhir. Tapi, di SMSHD, perjalanan ini berlangsung seumur hidup—no turning back.
Sambil menulis ini, saya wondering: apa Mbak Ay pernah merasa atau menganalogikan belajar SMSHD seperti roller coaster? Kok, rasanya tidak, ya? Karena Mbak Ay tampaknya menikmati setiap momen perjalanan di SMSHD ini. Mungkin, beliau akan memilih analogi lain. Okei, pertanda betapa saya masih sering kepontal-pontal, hahaha.
Belajar SMSHD itu memang syulit. Perkara belajar dengan niat yang benar saja, butuh bertahun-tahun (dan sampai sekarang masih on going). Untuk percaya penuh pada ajarannya pun, perlu berlapis-lapis kesadaran. Sampai saat ini, saya terus-menerus menemukan bentuk-bentuk kengeyelan dan ketidakpahaman akan ajaran, bahkan ketidakpercayaan yang terselip tipis-tipis.
Konkretnya, baru beberapa hari ini menemukan bentuk kengeyelan saya terhadap ajaran, yaitu tipis-tipis mengabaikan kualitas hening. Karena tidak mengerti perbedaan antara kualitas hening di atas 5%, saya jadi tidak pernah benar-benar serius memperbaiki teknik hening. Alhasil, skor cekuning cuma jadi angka tanpa pemahaman lebih tentang korelasinya dengan teknik yang dilakukan.
Belajar di SC semuanya serba terakselerasi. Awalnya, saya bingung dengan pernyataan ini. Tapi belakangan, saya mulai sedikit paham. Panen karma baik dan buruk jadi lebih cepat—hanya dalam hitungan hari atau minggu. Dengan umpan balik yang cepat, saya punya dua opsi: ngambek, menyerah, dan kabur, atau memanfaatkan umpan balik itu sebagai bekal untuk perbaikan ke depannya. Ooo… gitu. Baru rada mudeng sekarang.
Sigel-sigel yang brojol juga bagian dari laundry semesta, paket khusus begitu masuk SC. Dari yang awalnya sama sekali tidak tahu ada grup seperti ini, fast forward—hampir 1,5 tahun kemudian—wow pertumbuhan luar biasa yang tidak bisa dibandingkan dengan kondisi pra-SD. Ini jadi momen untuk ngaca, dengan privilege semacam ini, kenapa saya masih belum totalitas? Kenapa saya masih menjadi budak ego? Ihik.
Dengan peningkatan kesadaran Mas Guru, belajar SMSHD makin tidak mudah. Tapi, segala sesuatu semakin lengkap, pengamanan juga diberikan lengkap, sepadan dengan tantangannya. Sekarang tinggal kembali ke diri kita: mau apa enggak?
Belajar spiritual murni di PM itu memang susah. Waktu awal belajar, saya terjebak dengan gaya belajar akademis. Mengira kalau sudah mengerti teorinya dan bisa menyelesaikan tugas-tugas di kelas kepamomongan, artinya saya sudah paham ajaran SMSHD. Ternyata… zonk! Mengerti secara kognitif saja tidak cukup.
Melakukan meditasi formal (medfor) juga sama. Saya kira, semakin banyak jumlah medfor yang dilakukan, angka kualitas hening pasti otomatis naik. Begitulah pola pikir saya di awal kepamomongan. Tapi hasilnya? Saat akhir kepamomongan, kualitas hening saya justru turun sampai setengahnya dari sebelum masuk kepamomongan.
Padahal, saya tahu teorinya: hening itu jangan ambisius, tapi harus punya tekad kuat. Namun, praktiknya? Aduh, susah sekali hening tanpa ambisi atau tanpa terpaku pada angka. Dari situ saya sadar, oh ini sigel saya. Ambisi dan sifat kompetitif. Dua sigel ini muncul di awal pembelajaran SMSHD, dan sampai sekarang—1,5 tahun berjalan—saya masih terus berjuang untuk meleburkannya.
Belum lagi sigel-sigel lain yang masih mengantre untuk diproses, termasuk sigel-sigel yang bahkan belum saya kenali karena masih tersimpan rapi “di bawah karpet.” Saya yakin, jumlahnya pasti masih banyak.
Kalau tidak punya mental yang kuat, gampang menyerah, atau cemen, rasanya susah sekali bertahan belajar di sini. Saya pernah rajin medfor hanya selama 3 bulan. Setelah itu, semangat saya kendur. Konsistensi hanya berumur seumur jagung. Dan hasilnya? Semua yang sudah dicapai turun lagi: kesungguhan, ketekunan, bahkan kualitas hening dan LoC ikut merosot.
Ketika akhirnya mau berubah, butuh usaha yang lebih keras, effort berkali lipat, hanya untuk kembali ke posisi semula.
Lalu soal ketulusan, yang ternyata adalah kunci pembelajaran SMSHD. Ini menjadi tamparan keras buat saya ketika pertama kali mendapat skor ketulusan: 1 dari 10. Astaga! Saya pikir selama ini saya sudah menjadi orang baik, mudah membantu orang lain. Tapi ternyata, itu belum tentu tulus. Apalagi tulus paripurna. Wah, istilah ini tidak akan saya ketahui kalau tidak belajar di PM.
Saya baru mulai belajar tentang ketulusan setelah berkarya di Pusaka Indonesia (PI). Beraksi di PI membuat pembelajaran spiritual murni justru semakin menantang. Ini seperti naik ke level yang lebih tinggi, dibandingkan saat jadi murid PM yang hanya perlu “merem” untuk meditasi.
Di PI, saya bertemu lebih banyak sigel diri sendiri, belajar hening di tengah segala dinamika kegiatan. Kalau dihitung, saya sudah mengalami tiga kali LoC turun setelah selesai kerja kepanitiaan PI. Hahaha, ternyata saya masih secemen itu. Masih belum cukup meditatif, masih sering terpengaruh oleh kondisi di luar diri.
Teorinya boleh hafal, tapi praktiknya… berdarah-darah. Jatuh bangun.
Namun, saya percaya semua proses ini diperlukan untuk pertumbuhan jiwa saya, untuk menjadi manusia yang lebih baik. Semoga saya tetap kuat menjalani seluruh proses belajar spiritual murni ini.
Jadi ingat, saya pernah mengalami “amnesia hening” dan mendengar ucapan, “Mulai dari nol ya, Mbakaak 😁.” Iya, karena ngeyel, nggak tekun latihan hening, saya harus belajar dari dasar lagi untuk bisa relaks—dan itu pun susaaaah. Butuh waktu cukup lama dan usaha dua kali lipat untuk bisa relaks seperti sebelumnya. Saat itu menjadi tantangan tersendiri; kalau meleng sedikit saja, pasti langsung nyungsep.
Bagi saya, untuk mengerti ajaran ini secara teori saja saya masih ngah ngoh. Sering tidak mudeng dan masih harus membaca berulang kali untuk bisa mengerti. Baru sebagian kecil saja yang meresap ke kesadaran.
Melatih aplikasi hening di keseharian, belajar meluruhkan ego, belajar rendah hati, belajar ketulusan, dan belajar bersyukur, dimulai dari yang terdekat. Dari interaksi dengan suami, anak-anak, kucing, kambing, hingga aktivitas sehari-hari.
Kalau sudah mengeluh, kesal, atau ngomel, yang harus diperbaiki ya diri sendiri. Yang harus direm ya mulut sendiri. Dan itu… susah sekali! Sampai saat ini, ini masih menjadi “menu penggosok sigel” bagi saya. Hihi.
Tantangannya ada di kemauan. Saya selalu ingat kata-kata Mbak Ay saat itu, “Tinggal kemauan untuk praktik dan aplikasi hening di keseharian.” Dari situlah saya mulai mau melatih hening, baik formal maupun informal, meningkatkan kualitas dan kuantitasnya. Saya mulai mengerti sigel apa saja yang mbrojol, bagaimana cara menyikapinya, dan bagaimana memprosesnya.
Benar-benar baru paham setelah mengalami sendiri. Sungguh, praktik itu tidaklah semudah teori. Kadang saya kepleset, nyungsep, bahkan “terjun payung.”
Namun, semua itu tidak membuat saya menyerah. Saya sudah mengalami sendiri momen ketuhanan. Sudah ada contoh dari orang-orang terdekat, seperti suami dan teman-teman lain, baik yang berhasil maupun yang ambrol. Sudah diberi ajaran, sudah diberi wahana—semua dipermudah.
Sekarang, tinggal bagaimana saya menjaga eling lan waspodo di keseharian. Mau serius di jalan ini, atau mau main-main? Benar kata Mbak Ay, amit-amit jangan sampai main-main di jalan ini. “High risk, high gain.”
Ya, beneran susah. Awal mengenal ajaran Mas Guru dan mulai melakukan meditasi, rasanya seperti candu. Penyakit mulai sembuh, kepala tidak sering pusing lagi. Tapi setelah benar-benar nyebur, barulah terasa betapa sulitnya. Dari beresin tulisan-tulisan asing di bawah genting rumah, merasa seperti tersesat, sampai harus menghadapi dan membereskan sigel-sigel diri.
Awalnya, mana tahu soal pemurnian jiwa? Luka batin saja baru saya sadari dan terbongkar setelah sekian lama masuk PM. Cara belajar yang berbeda, kebiasaan menuruti ego selama puluhan tahun, kebiasaan merepresi sigel, hanyut dalam kata-kata bijak yang ilusif, belajar pada orang yang ternyata tidak tepat—semua itu menjadi faktor yang mempersulit perjalanan belajar saya. Diperparah dengan sigel yang berlapis-lapis harus dibereskan, tantangan-tantangan seru yang muncul, ketidakkonsistenan, dan ketidak tulusan diri.
Proses menemukan kebenaran sejati juga tidak mudah. Aduh, ketinggian lah bicara kebenaran sejati, mau relaks saja susahnya minta ampun. Semakin ingin relaks, malah semakin spaneng.
Beruntung Mas Eko sharing rumus Lingkaran Malaikat, serta metode Hening dan Beraksi dari Mas Guru. Kedua hal itu sangat-sangat membantu saya dalam belajar.
Tak terasa, sudah hampir empat tahun saya meniti jalan ini. Meski berat, saya sungguh bersyukur karena ada kemajuan. Rasanya worth it—di balik pedihnya luka batin, ilusi, dan watak angkara yang terbongkar, saya justru menemukan hidup yang lebih bahagia dan lebih bersyukur dibandingkan sebelumnya.
Terima kasih, Gusti. Terima kasih, Mas Guru, Mbak Ay. 🙏
Cuma menonton dari luar lapangan selama 2017-2021, zona nyaman: meditasi suka-suka, cukup jadi orang baik, ego tak diusik, parameter penilaian (belum ada LoC) bagus-bagus. Mulai masuk program pamomongan batch 1 sebagai juara kelas rapot. Seminggu sebelum program berakhir, ambyar juga sampai dimensi 0 (belum ada parameter LoC). Pukulan telak, njungkel. Disambung batch 2-4, Himalaya nama kelasnya. Rasanya ya persis seperti mendaki gunung, dari kesadaran ambyar mulai dari titik nol. Juara lagi sih, tapi juara spaneng. Mau bisa rileks aja kok ya salah melulu. Sekalinya merasa maknyess, eh aspartam (pemanis buatan) alias palsu. Belum lagi tugas PR dan laporan harian selama program. Tetep aja selaluuu ada yang salah. Hmm dituntut jadi manusia sempurna nih (keluh saya saat itu).
Meski ada PR, tugas, dan laporan, tapi ternyata ini beda banget dengan pelajaran akademis biasa. Menyerah? Oh iya, hampir saja. Saya sudah “tiarap” di tengah pendakian, satu tangan sudah mengibarkan bendera putih. Mulai ngilang dari kelas, nggak buat laporan, lelah banget. Eh, tetap dicari-cari sama pamomong, “Mbak Sari di mana yaa, yuhuuu!”
“Iya, Mbak, saya di sini, njungkel, tiarap dalam jurang,” jawab saya.
Kirain kalau sudah ketemu bakal ditolong, diangkat, digendong gitu. Eh, malah disuruh bangun sendiri, usaha sendiri. “Ayo, mau ikut naik nggak?” Hfft… Ya ampun, gini amat ya. Nggak ada puk-puk, nggak boleh manja, apalagi minta popmi. Mana, katanya mau jadi ksatria!
Triiing! Oiya, ya… Akhirnya, saya sadar. Belajar mendaki bersama teman-teman satu grup itu sangat membantu saya untuk punya semangat bangkit lagi.
Apa iya terus mulus sampai saat ini? Ya tentu saja tidak. Dari situ, ratusan kali salah tetap terjadi. Njungkel, kesandung batu yang sama, kejedug tembok baru, kejeblos jurang. Naik satu langkah, glundung mundur 50 langkah. Baru dapat nilai lumayan, eh kena kalibrasi lagi beberapa kali, mengikuti standar kesadaran Guru yang terus melejit.
Yuk ah, mari seperti biasa. Mulai lagi dari awal, ya, Kakak!
Sigel dan ego dikuliti tiada ampun. Tantangan datang dari segala penjuru mata angin, menguji: Masihkah bahagia itu bisa kamu rasakan memancar dari relung hati? Kalau belum, berarti ada yang harus diperbaiki. Seperti yang sudah-sudah, kita coba mulai lagi.
Pokoknya, belajar terus, jangan menyerah. Begitu pesan Guru.
Terima kasih. 🙏
Bahan ngaca terbesar saya beberapa hari ini tentang sulitnya belajar spiritual murni adalah Ibu. Sampai saat ini, saya masih sering memaksakan Ibu untuk belajar lebih serius dan tidak menyia-nyiakan kesempatan belajar di sini. Setelah direnungkan, akar dari perilaku ini adalah ketakutan, kekhawatiran, dan kemelekatan saya ke Ibu (yang sebelumnya saya bahkan tidak menyadari bahwa ini adalah bentuk kemelekatan). Saya sempat mempertanyakan, kenapa saya harus melekat sama Ibu, padahal kami berantem terus.
Beberapa hari yang lalu, saya mencoba memaksa Ibu untuk belajar isi formulir pendaftaran webinar sendiri. Saya beride karena saat di Jogja, Ibu sudah diajari oleh Haryani untuk mengisi formulir sendiri dan bisa. Saat mencoba lagi sendiri juga berhasil, tapi besoknya ribet lagi. Pikir saya, “Ibu tu nggak bisa kalau nggak dipaksa dulu.” Akhirnya, saya berikan arahan dari awalnya pelan hingga keras, tetapi tetap tidak masuk. Saya pun lepas kontrol dan emosi, sampai akhirnya bocor tidak tahan untuk mengatakan, “Saya tahu kebiasaan buruk Ibu dan saya minta kebiasaan itu distop biar otaknya tidak konsleting.”
Bentuk ekspektasi saya sendiri yang terlalu tinggi malah bikin kecewa, sangat kecewa, karena peserta webinar yang paling sulit diajari untuk mengisi formulir adalah Ibu saya sendiri. Padahal peserta lainnya tidak sesulit ini untuk diarahkan sampai akhirnya bisa. Keributan ini berakhir dengan emosi yang tidak enak selama berhari-hari, buat refleksi saya, kenapa saya begitu banget.
Lalu saya membaca tulisan dari Mak. Awalnya, saya tidak langsung nangkep maksudnya. Setelah refleksi lumayan lama, baru ngeh ada kesombongan dengan pencapaian saya saat ini. Saya ingin membawa Ibu “ikut naik” bersama saya, sehingga saya memaksa Ibu mengikuti anjuran saya. Baru sadar juga, Mak dan Bapake, yang sudah berada di level setinggi itu, pun tidak bisa memaksa orang-orang terdekatnya untuk ikut naik jika mereka tidak memilih sendiri. Lalu, kenapa saya merasa sombong, seolah-olah bisa melakukannya, padahal pencapaian saya belum seberapa?
Padahal sudah berkali-kali diingatkan Mak untuk fokus pada diri sendiri, tetapi saya tetap belum lulus dalam hal ini. Lagi-lagi, secara teori saya paham, tetapi dalam praktik, saya belum mampu menerapkannya. Inilah salah satu bentuk sulitnya belajar spiritual murni. Bahwa tahu teori saja belum tentu paham dan terealisasi dalam kehidupan sehari-hari.
Berkaca lagi dari bagaimana saya belajar spiritual murni. Saya baru benar-benar serius dan mempraktikkan SMSHD dengan benar malah setelah tragedi kejatuhan (secara spiritual dan fisik bonyok—pada November 2023). Itu pun setelah lima tahun belajar. Dan sekarang, di tahun keenam, saya masih jauh dari idealitas kemurnian jiwa yang seharusnya. Dari situ, saya sadar bahwa saya tidak akan pernah bisa memaksakan proses belajar orang lain.
Berkaca lagi dari bagaimana saya belajar spiritual murni, saya baru benar2 serius & mempraktekkan SMSHD dengan benar malah setelah tragedi kejatuhan (secara spiritual & fisik bonyok) di November 2023, itu pun setelah 5 tahun belajar. Dan sampai sekarang di tahun ke-6 pun masih sangat jauh dari idealitas kemurnian jiwa dari hasil belajar SMSHD. Dari situ saya sadar, bahwa saya tidak akan pernah bisa memaksakan proses belajar orang lain.
Ternyata, ini adalah bentuk sigel ego saya yang terlalu kuat, seringkali ingin memaksakan kehendak egoistik. Ini juga menjadi ujian bagi saya untuk mempraktikkan ketulusan, pemakluman, kasih murni, dan menyikat sigel kesombongan, sekaligus melepaskan kemelekatan.
Inilah ujian nyata bagi saya: sejauh mana pemahaman saya akan ajaran ini, bagaimana saya merealisasikan SMSHD dalam keseharian, hingga akhirnya saya benar-benar bisa memurnikan jiwa dari sigel-sigel yang masih melekat ini.
Belajar SMSHD bagiku penuh dengan dinamika. Kadang sangat menyenangkan, kadang juga menjengkelkan. Menyenangkan karena seperti menemukan oase kehidupan—ketika aku lelah, jalan ini benar-benar memberikan kelegaan dalam hidupku. Rasanya seperti bisa berhenti sejenak dan mereguk air kehidupan. Namun, di sisi lain, kadang terasa menjengkelkan karena aku tidak bisa lagi berjuang untuk cita-cita yang dulu kuimpikan karena ternyata, cita-cita itu hanyalah hasrat egoistik belaka yang memang harus ditinggalkan sama sekali. Kita diarahkan untuk menuju rancangan agung kita.
Apa sih cita-citaku itu? Aku ingin hidup berkecukupan, punya perusahaan yang bisa membiayai hidup sehingga aku bisa tur ke sana ke sini bersama orang-orang tercinta, sehat, dan gembira. Pokoknya, semua hanya berpusat pada diri sendiri, pada ego. Jauh sekali dari ajaran PM yang mengajarkan misi mewujudkan bumi surgawi dan meluruhkan segala hasrat egoistik.
Saat ini, perlahan-lahan cita-citaku yang berbasis hasrat egoistik ini mulai terkalibrasi. Aku mulai memahami bahwa hasrat egoistik ini hanya akan membawaku pada kehancuran. Meskipun begitu, proses kalibrasi ini masih penuh dinamika. Kadang aku berhasil melampauinya, kadang muncul lagi dengan berbagai alasan, seperti merasa bahwa belajar SMSHD ini melampaui ekspektasiku. Namun, aku juga tahu bahwa ajaran ini adalah anugerah yang sangat agung.
Menjadi ksatria berhati murni, menjadi versi terbaik dari diri sendiri, dan mengalami evolusi jiwa adalah hal yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiranku sebelumnya. Ini adalah sesuatu yang sangat agung. Tapi karena aku masih lemah dan tidak sepenuhnya mau pasrah pada kasih Gusti yang tanpa batas, akhirnya aku sering kali “perosotan” dan jadi ruwet sendiri.
Kata-kata ini benar-benar pas menggambarkan kenyataan bahwa belajar spiritual murni itu sungguh tidak mudah.
Dulu, sebelum semakin dalam belajar di spiritual murni, saya pikir pembelajaran spiritual itu ya seputar metafisika atau hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh mata lahir. Ternyata, itu lebih mendekati supranatural atau perdukunan. Boro-boro mata batin, beresin sisi gelap diri aja nggak selesai-selesai. Hahaha.
Teringat akan peristiwa kejatuhan saya beberapa waktu lalu karena PR Tantra yang saat itu bikin saya syok berat. Akibatnya, saya linglung sampai dua minggu. Menurut saya, itu adalah salah satu case yang sangat berat. Melawan diri, melawan pikiran, dan prasangka diri sendiri lalu memprosesnya dengan hening itu benar-benar nggak mudah, Ferguso! Pediiihhh rasanya. Padahal sudah tahu dan sadar bahwa rasanya nggak enak, tapi ya tetap aja hanyut mengikuti alur dramanya. Hahaha.
Semua ini harus dilandasi tekad yang kuat untuk berubah menjadi lebih baik. Bersyukur, melalui pembelajaran ini saya jadi punya pemahaman yang lebih bulat untuk menghadapi badai-badai sisi gelap yang sudah kayak angin muson itu. Jalan satu-satunya ya hening, tapi harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, tulus, tanpa ambisi. Kepasrahan total juga punya pengaruh besar dalam proses transformasi, dari si mlempem jadi si agak kenyal. Hehe.
Saya masih terus berupaya memperbaiki diri, menyadari, dan memproses segala sisi gelap diri sambil mengubah sikap dalam keseharian. Ini masih menjadi PR juga: bagaimana menjadi teladan bagi orang-orang di sekitar saya, terutama keluarga, untuk mencerminkan ajaran PM dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak sudut pandang saya berubah, ajaran SMSHD yang awalnya saya anggap sebagai sesuatu yang “langitan” lengkap dengan paparan istilah-istilah kuno dan cita-cita indah tentang kehidupan surgawi, kini berubah menjadi menerapkan ajaran SMSHD yang lebih membumi. Implementasinya tidak lagi hanya konsep, tetapi harus terlihat dalam keseharian: mulai dari meditasi formal (medfor) setelah bangun tidur, perubahan perilaku yang nyata, hening informal yang konsisten, mengelola emosi dengan medfor saat baper, menghasilkan karya nyata hasil dari kesadaran yang meningkat, hingga menerapkan ajaran dalam aktivitas organisasi dan topik kepemimpinan. Realitas ini membuat saya menyadari bahwa menjalankan ajaran SMSHD memang lebih berat untuk dijalani.
Euforia dan kebanggaan egoistik sebagai bagian dari pasukan Hamemayu Hayuning Bawana—yang dipimpin SHD untuk memperindah jagat raya—eh terbentur dengan kenyataan bahwa saya harus terlebih dahulu memperindah diri sendiri yang belum indah ini. Hal ini menjadi semakin berat lagi setelah saya menyadari bahwa semua aspek kehidupan saya (sebagai pembelajar PM, profesional, pasangan, anak, kakak, dan lainnya) terhubung langsung dengan cara saya mempraktikkan ajaran SMSHD, yang kemudian akan tercermin dalam parameter-parameter evaluasi. Di sini, pencitraan tidak berlaku—CCTV semesta terus memantau. Ini juga berat.
Hal lain yang saya rasakan berat adalah fenomena demotivasi, kejenuhan, bahkan putus asa. Akarnya adalah keputusasaan melihat jarak yang jauh antara yang diajarkan SHD—yang hasil akhirnya adalah kebahagiaan sejati—dengan kenyataan diri saya sehari-hari saat itu yang penuh samsara khas LoC 100-an: pikiran ruwet, baperan, dan tindakan ngawur yang itu menghasilkan lagi kebaperan-kebaperan akibat menerima efek merusak dari pilihan tindakan yang ngawur. Dilengkapi lagi dengan pernyataan kefrustasian, dalam benak sempat berpikir, “Kayaknya hening ini nggak ngefek deh, memperbaiki kondisi saya.” Hal ini makin memperparah keputusasaan. Frustrasi terhadap diri sendiri ditambah kurangnya trust pada ajaran, perumpamaannya saya sedang masuk jurang, melihat uluran tangan penolong tetapi saya enggan menggenggamnya.
Mengenang ini, lalu saya berefleksi ke diri sendiri, kok jadinya saya bisa mengalami peningkatan LoC? Jawabannya adalah trust. Trust menjadi penghubung saya, si manusia putus asa ini, bisa sampai ke pengalaman peningkatan kesadaran. Trust saya belum paripurna dan stabil, apalagi jika dikaitkan dengan kondisi sekarang dengan lingkup aktivitas lembaga-lembaga SHD. Sebagai contoh trust saya kepada Mbak Ay sebagai Wasekjen Pusaka Indonesia ternyata belum paripurna, terbukti oleh adanya perilaku ngeyel dan sok tahu. Namun, saya ada pengalaman bagaimana trust bisa tumbuh, khususnya dalam konteks pembelajaran di PM.
Trust pada apa? Level trust saya berkembang dari yang awalnya hanya pada sosok SHD, kemudian meluas ke sosok Mbak Ay. Dari situ, saya mulai mempercayai metode-metode membumi yang beliau ajarkan dan mau bereksperimen menerapkannya. Di tengah kefrustrasian, saya masih punya kemauan untuk mencoba metode-metode’ tersebut, dimulai dari lebih rajin medfor. Trust ini menjadi “starter pack” saya—mulai dari ‘mau aja dulu’ mencoba. Saya yakin, level trust tertinggi adalah trust pada ajaran.
Dulu kala merasa sudah bisa dalam menjalankan ajaran SMSHD. Pola pikir masih kental dengan pola dogmatis agama dan klenik instan. Asalkan pindah dari agama lama ke “agama baru”, dogma lama ke “dogma baru” maka tiket surga sudah terpegang jaminan keselamatan.
Saat menjalani pola latihan baru melalui program pamomongan, journaling, sharing pengalaman, refleksi, rapor dengan berbagai jenis evaluasi yang massif, diperkuat dengan wahana berkarya melalui berbagai lembaga, barulah terasa terseok-seok dalam meniti jalan ini.
Akhir-akhir ini sekadar untuk tekun latihan medfor melalui journaling saja angot-angotan. Kadang bikin, kadang tidak, kadang dibagikan, kadang dikekepin sendiri. Sempat malu sama teman-teman pembelajar yang saya dampingi. sekadar kasih contoh journaling, refleksi, sharing rutin saja saya masih belum konsisten. Belum bisa menjadi teladan yang baik.
Maka langkah awal saya beberapa minggu yang lalu adalah memperbaiki kerapian dan konsistensi menulis jurnal. Tiap menulis sampai dengan jam berapa langsung saya share ke temen pembelajar tanpa menunggu tulisan rapi jali dan lengkap. Pokoknya saat sudah ada dorongan share, langsung saya share terlepas medfor masih banyak bolong, tulisan belum rapi. Hal ini untuk mengurangi kebiasaan pencitraan saya yang maunya selalu kasih contoh jurnal yang lengkap dan rapi. Saat tidak rapi dan lengkap, kurang nyali untuk membagikan.
Itupun jika dikorelasikan dengan evaluasi LoC, terbukti catatan jurnal saya belum bisa menaikkan LoC secara signifikan. Masih fokus pada rutinitas dan sharing jurnal secara robotik, belum berdampak pada laku hening yang baik, peluruhan sigel dalam keseharian.
Meskipun demikian, saya akan lanjut semampu saya menulis jurnal secara rutin, karena ini menjadi dasar saya untuk lebih disiplin latihan medfor, TIR, refleksi diri. Sambil berusaha memperbaiki pikiran, perkataan, dan perbuatan saya di keseharian, menambah laku lingkaran malaikat.
Pembelajaran saya dalam ajaran SMSHD masih seperti siput yang belum mencapai tercerahkan, bahkan di level pertama sekalipun. Bila melihat perjalanan belajar saya sejak April 2021 hingga saat ini, dengan pencapaian yang masih seperti ini, saya sepakat dengan ungkapan bahwa “susahnya belajar spiritual yang murni.
Dari pengalaman pribadi, melepas dogma religi dan kebiasaan cocoklogi ajaran SMSHD dengan ajaran lain (baik religi maupun spiritual lain), prosesnya butuh waktu hingga dua tahun. Setelah itu, barulah mulai memahami konsep pemurnian jiwa secara utuh. Itupun untuk konsistensi laku, saya masih jauh dari sempurna. Kadung banyaknya junk file dan sampah-sampah di otak bawah sadar maupun tak sadar.
Saya juga pernah mengalami tahap merasa sudah paham secara kognitif, tetapi untuk penerapannya ambyar. Belakangan, saya paham bahwa ini karena kuatnya pengalaman dan ajaran sebelumnya, yang ternyata tidak sesuai dengan SMSHD, tetapi sudah terlanjur terekam dalam memori bawah sadar dan tak sadar. Semua itu akhirnya tercermin dalam perilaku keseharian. Memang, inilah tantangan di kehidupan saat ini—dimana PR-PR yang disebabkan oleh pengalaman masa lalu itu harus saya bereskan untuk keberlanjutan pembelajaran SMSHD.
Lingkaran malaikat yang coba saya bentuk dengan menentukan pilihan menggunakan akal sehat sudah saya rasakan manfaatnya. Tapi, itu hanya cukup untuk kehidupan normal, sedangkan untuk tujuan pembelajaran spiritual murni, masih sangat kurang. Apalagi, jika setelah menyadari sesuatu, saya tidak segera mengiringinya dengan laku hening yang tepat. Berdasarkan pengalaman, hal ini bisa menyebabkan stagnasi, bahkan membuat saya kembali ke titik awal sebelum belajar—lebih parahnya, bisa jatuh lebih rendah dari kondisi sebelum mulai belajar.
Bila saya merefleksikan lebih dalam, kesadaran yang tiba-tiba muncul itu pun tidak lain adalah bentuk keajaiban dari boostingan Guru. Uniknya, dalam pembelajaran spiritual murni, keinginan untuk segera memurnikan jiwa seringkali berubah menjadi ambisi. Sementara jika hanya membiarkan segalanya mengalir, makna pembelajaran dari setiap kejadian yang dialami justru sulit diperoleh.
Ketulusan adalah hal mutlak dalam pembelajaran ini. Saya pun pernah mengalami masa-masa ada keinginan atau agenda egoistik, tercermin dalam perilaku malas, mau enaknya saja, atau berharap instan. Saat menyadari hal itu, saya sempat merasa seperti, “Ya Allah, kok diri saya gini amat, nggak sembuh-sembuh (bentuk lain dari mengeluh dan masih adanya pola pikir ingin instan).” Padahal, saat dipahami lebih dalam, hal-hal itu memang harus saya akui dan terima terlebih dahulu. Tidak ada proses instan—segala kesulitan yang saya alami adalah akibat dari kesalahan-kesalahan saya di masa lalu.
Saya bersyukur masih diberi kesempatan untuk menyadari pembelajaran-pembelajaran ini. Setidaknya, saya tidak sampai mengalami amnesia saat kesadaran saya goyah. Untuk terus melanjutkan pembelajaran spiritual murni ini, langkah awal yang bisa saya lakukan adalah mengubah kebiasaan dan meningkatkan frekuensi latihan hening atau medfor.
Bahasa sederhana ‘LANGITAN’ sebenarnya bahasa yang seharusnya mudah dicerna, tapi kok ya susah dimengerti untuk dijalankan.
Berikut ini perjalanan saya di bawah bimbingan dan pengarahan Guru SHD dan tim.
• Tahun 2019 April berkenalan dengan Guru SHD saat mengikuti One Day Workshop
• Tahun 2021 berjatah ikut program kepamomongan batch 1. Baru mengerti apa itu meditasi formal (medfor) dan pentingnya untuk dijalankan secara rutin meskipun tidak bertemu Guru SHD. Mulai bisa medfor dengan panduan satu audio — sadar tanpa tertidur dari awal sampai akhir panduan. Tapi, masih belum paham arti kata ‘tulus’.
• Tahun 2022, latihan medfor semakin rutin dan pernah mencicipi kejernihan tubuh energi 100%, tapi hanya dua kali karena medfor masih fluktuatif.
• Tahun 2023, baru paham kalau makhluk dimensi bawah itu tidak kengangguran nempel ke saya, tapi saya yang menarik mereka saat marah. Mulai belajar bertanggung jawab menerima apa yang dituai tanpa menyalahkan orang lain atau keadaan.
• Tahun 2024 masih belum bisa rutin melakukan medfor dua kali sehari, masih banyak alasan kenapa tidak atau malah menghindari medfor. Tapa ing Rame (TIR) juga masih seingatnya, belum bisa langsung ingat saat bangun tidur, masih menyalahkan orang lain kalau sisi gelap ter-trigger.
Perjalanan lima tahun seperti itu apakah mudah? Tentu tidak!
Kenapa masih mau lanjut? Karena saya yang perlu untuk melakukan purifikasi jiwa, perlu belajar lebih lanjut selagi kontrak nafas masih berlaku.
Pas baca PR ini pertama kali, aku langsung keinget niat awal waktu masuk PM: ingin hidup nyaman, jauh-jauh dari masalah yang waktu itu sedang dihadapi, ingin slow living karena lelah dengan pekerjaan. Jujur, yang ada di pikiranku waktu itu—dan terus membekas hingga saat ini—adalah Meditasi = suaka dari dunia nyata. Maka, banyak sekali kekagetan yang ku alami sewaktu masuk PM.
– Meditasi bukan sekadar rileks, tapi purifikasi jiwa dari sisi gelap. Banyak sekali hal yang baru aku tahu tentang jiwa dan diri setelah masuk PM, karena sebelumnya aku tidak akrab dengan dunia spiritual. Baru tahu ada trauma masa lalu yang membentuk banyak watak angkara. Baru tahu kepalaku penuh dengan konsep dan ilusi nggak penting. Baru tahu perlu ada pemurnian jiwa dari itu semua, walaupun selalu membatin, “Aku ini terlalu ambisius, perlu nggak sih jadi nggak ambisius biar hidupnya tenang dan nggak bikin masalah terus?” Kupikir caranya cukup dengan mengubah mindset, sugesti, atau ke psikolog.
– Proses purifikasi ternyata nggak menyamankan. Haha, ya iyalah! Proses menguras itu selalu dimulai dengan menyikat keras, bikin keruh air di kolam, kemudian baru dibuang air kotor itu, lalu masuk air bersih. Begitu, Niniek. Jadi jangan maunya serba instan dan nyaman. Salah sendiri numpuk sigel 30+ tahun.
– Setelah masuk kepamomongan, baru tahu ada evaluasi dan rapor. Wow, challenge accepted! Ambition mode: ON! Jujur, sampai sekarang, mengatasi ambisi/obsesi terhadap skor evaluasi masih jadi PR besar buatku. Kalau ada indikasi sidak LoC di WAG SC, kudu medfor dulu biar nggak korsleting, habis itu medfor lagi setelahnya. Haha.
– Jurnal dan refleksi di kepamomongan, awalnya bikin kaget. Masa curhat ditonton banyak orang? Aku memang nggak terbiasa curhat, apalagi refleksi ke diri sendiri. Awalnya sungguh kagok, tapi sebetulnya karena sok sibuk dan kabur di balik alasan pekerjaan. Belakangan, baru sadar kalau journaling ini latihan mengosek hasrat pencitraan dan kepalsuanku. Melatih kejujuran—minimal, jujur ke diri sendiri.
– Lalu ternyata ada misi Bumi Surgawi, yang waw keren banget. Misi ini membangkitkan mimpi-mimpiku yang dulu tertimbun. Rasanya, ingin sekali berjuang bersama.
– Namun saat diberi tugas, peran, dan tanggung jawab, malah melempem. Si ksatria kerupuk, hiks. Awalnya semangat, tapi begitu dihadapkan pada sigel sendiri dan keharusan keluar dari zona nyaman, malah berdrama yang dibikin sendiri. Ternyata, setelah berbagai tugas itu, jadi ketagihan dengan pengakuan diri, berikut dengan pujian atas kinerja bagus, proyek fantastis, dan sebagainya. Bensin bekerjanya adalah ambisi/obsesi akan pengakuan, yang diperparah dengan kesombongan ilusif dan kepalsuan diri (berikut pencitraan, omdo, dan ketidakotentikan). Sungguh tidak tulus dan jauh dari integritas.
Menulis ini, aku yang korslet (bahkan sempat amnesia) ini jadi ingat lagi: Wow, keren juga ya ajaran SMSHD. Segala sisi dikerahkan untuk memancing sigel supaya terkosek sempurna. Tools-nya lengkap untuk membantu proses pembersihan, tidak tanggung-tanggung diintegrasikan ke pekerjaan. Maka, bekerja di lingkup lembaga SHD sesungguhnya adalah kesempatan emas. Kesempatan yang bukan hanya one in a million, tapi one in a billion. Belum tentu generasi depan kedatangan Avatar lagi. Bersyukurlah kita. Duh, ini harus terus kuingat-ingat tiap kali “cangkem syaiton” datang berkunjung lagi. Yok, waras-waras!
Terima kasih atas semuanya, Bapake, Mak, teman-teman SC, Mabes, PM, dan lembaga-lembaga tempat ku belajar. Terima kasih atas penggemblengan ini. 🙏
Reaksi Anda: