Skip to main content
Bhinneka Tunggal IkaIndonesiaNusantaraPancasilaSetyo Hajar Dewantoro

Jatidiri Bangsa

5 October 2019 SETYO HAJAR DEWANTORO No Comments

Pada setiap bangsa pasti tumbuh kesadaran luhur. Pada mulanya kesadaran luhur itu diinisiasi oleh pribadi terpilih yang dituntun oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui sabda dalam keheningan. Lalu ia menjadi kesadaran bersama, terlembagakan dalam budaya luhur atau kebijaksanaan lokal pada setiap suku, selanjutnya berkembang menjadi budaya bangsa.

Berbicara tentang Indonesia, kita bicara tentang bangsa yang purba. Bangsa Indonesia bukan baru lahir pada 17 Agustus 1945, ia telah ada sejak masa yang kuna dan bergerak dalam pasang surut sejarah. Indonesia hanya metamorfosa dari satu bangsa yang telah mengukir keberadaannya sejak jutaan tahun silam. Ada masa-masa jaya, ada masa-masa kejatuhan. Matswapati, Kalingga, Mataram, Sriwijaya, Kahuripan, Singasari, Majapahit, adalah nama-nama yang ada dalam memori kolektif kita berkenaan dengan realitas bangsa kita di masa lalu. Sebagai bangsa Nusantara kita memang pernah meraih kejayaan secara kebudayaan, ekonomi dan politik.

Menarik untuk dicermati, bahwa kejayaan kita sebagai satu bangsa, sangat terkait dengan tinggi rendahnya tingkat kesadaran kolektif yang kita capai. Di era Matswapati saat dipimpin oleh Prabu Harjuna Sasrabahu, LoC kolektif bangsa kita mencapai 711 dalam skala SHD. Prabu Harjuna Sasrabahu sendiri ada di LoC 1000. Secara umum rakyat berada dalam kesadaran spiritual, terbimbing oleh Guru Sejatinya dan bisa melahirkan peradaban yang menyelaraskan antara spiritualitas dan teknologi.

Pada era Kahuripan yang dipimpin oleh Prabu Airlangga, LoC kolektif bangsa kita ada di LoC 505 skala SHD. Sementara Prabu Airlangga sendiri ada di LoC 910. Dan dia didampingi oleh beberapa pandita agung yang tercerahkan, seperti Empu Bharada dengan LoC 1000. Pada era ini, jiwa Pancasila yang berporos pada Ketuhanan yang Maha Esa dan spirit Bhinneka Tunggal Ika masih dipegang dengan teguh. Rakyat tidak tercengkeram oleh institusi agama yang mengkotak-kotakkan. Spiritualitas masih menjadi perekat bangsa.

Di era Majapahit muncul seorang Ratu Agung yang tercerahkan, Tribuana Tunggadewi dengan LoC 1000. LoC kolektif saat itu adalah 510. Majapahit menjadi imperium besar, yang semangat toleransinya mengayomi banyak tradisi spiritual yang saat itu tumbuh berkembang.

Kita sejatinya adalah bangsa spiritual, yang hidup dalam kesadaran luhur, menghayati realitas ketuhanan dengan cara yang membawa damai, sangat menghormati ragam ekspresi dalam membuka Hyang Agung, dan hidup dalam keselarasan dengan tanah dan air beserta seluruh penghuninya.

Jatidiri bangsa kita adalah sebagai bangsa yang meresapi keberadaan Tuhan yang bersemayam di dalam diri, hidup dalam dorongan getaran kasihNya yang murni, menghormati sesama manusia tanpa diskriminasi, terhubung selaras dengan tumbuhan, hewan, dengan Ibu Pertiwi.

Jatidiri inilah yang kita hidupkan kembali. Sebagai satu bangsa, kita perlu kembali pada keagungan kita bermula dari kesediaan untuk menyelami keheningan dan menemukan getar kehidupan di pusat hati yang menuntun kita untuk melahirkan budaya yang luhur. Kita hayati kembali Ketuhanan yang Maha Esa yang menjadi landasan tumbuhnya spirit kemanusiaan yang universal. Dengan kesadaran inilah para pendatang dari Tiongkok, India dan negeri-negeri lain diterima sebagai tangan terbuka dan diajak bersama-sama membangun Nusantara. Maka segenap bangunan kejayaan bangsa adalah hasil kerja bersama, dan bertumbuhkembanglah kebudayaan hibrid yang indah. Kesadaran inilah yang dirumuskan oleh Bung Karno dan para founding fathers dalam bentuk dasar negara kita, Pancasila.

Saatnya kita kembali pada jatidiri dan kita songsong kembali era keemasan Nusantara.

Jaya Indonesia.

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda