Pendidikan di segala jenjangnya dan dalam segala bentuknya, sesungguhnya merupakan instrumen untuk mendorong terjadinya revolusi kebudayaan. Arah revolusi kebudayaan kita adalah terbentuknya manusia Indonesia yang berbudaya sesuai jatidiri sebagai fondasi bagi ekonomi berdikari dan politik yang berdaulat. Jatidiri Indonesia telah digali dan dirumuskan oleh para founding fathers NKRI dalam dasar negara Pancasila dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Maka, lewat pendidikan, jiwa manusia Indonesia ditransformasi sehingga bisa menghayati Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Bagaimana membuat manusia Indonesia berjiwa Pancasila dan bisa mempraktikkan semangat Bhinneka Tunggal Ika? Tentu saja tidak dengan memperbanyak kotbah moral yang dikaitkan dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Kepala kita semua telah penuh dengan teori moral, telah penuh dengan ajaran kebaikan. Tapi ada sesuatu di sanubari kita yang belum benar-benar hidup.
Maka yang diperlukan adalah pendidikan yang bisa menyalakan api kesadaran, membuat setiap pribadi bisa menghidupkan apa yang memang harus hidup di dalam sanubari: yaitu keterhubungan dengan Sang Maha Hidup, kesadaran untuk selalu hidup dalam tuntunan Sang Maha Hidup. Ini adalah tentang menyelami jatidiri bukan sekadar berteori tentang jatidiri.
Muatan pendidikan yang paling penting dan mendasar adalah penyadaran manusia Indonesia akan keberadaannya sebagai manifestasi dari Sang Maha Hidup, bahwa gerak hidup yang nyata di dalam dirinya adalah bukti bahwa setiap pribadi tak pernah berpisah dengan Sang Maha Hidup. Proses penyadaran ini berlanjut kepada tumbuhnya pengertian bahwa di dalam diri setiap orang terdapat kemahaagungan dan kemahaindahan, bahwa Tuhan yang Maha Esa bersemayam di dalam diri dan mempribadi sebagai Diri Sejati.
Ini semua bisa dicapai dengan mentradisikan hening cipta: mengarahkan setiap orang agar bisa menghubungkan nalar dan rasa sejatinya. Hening cipta yang dilakukan secara tepat adalah jalan untuk menghidupkan api kesadaran di dalam sanubari setiap orang. Inilah dasar tumbuhnya jiwa Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Berikutnya, muatan pendidikan yang juga paling penting dan mendasar adalah mengasah rasa melalui interaksi dengan hewan dan tumbuhan, juga melalui kegiatan seni budaya dan partisipasi dalam momen-momen kearifan lokal seperti sedekah bumi, bersih desa dan semacamnya. Sudah saatnya pendidikan kita memandu setiap orang untuk merayakan keindahan, mengekspresikan cita rasa artistik yang bermuara pada ketajaman rasa, menghidupkan rasa sejati.
Pendidikan Indonesia memang sudah saatnya kita geser dari penekanan berlebihan pada ranah kognitif menuju kesetimbangan, menjadi lebih perhatian pada ranah afektif dan psikomotorik . Manusia Indonesia sudah waktunya kembali hidup dengan mengedepankan rasa sehingga bisa menghayati realitas Tuhan bukan banyak berteori tentang Tuhan, serta bisa hidup harmoni dengan segala yang ada di jagad raya.
Dalam hal ini, sangat relevan mengungkapkan kembali filosofi pendidikan dari Ki Hajar Dewantoro, bahwa institusi pendidikan itu laksana taman, maka tugas Guru adalah membuat di tanah itu tumbuh bunga berwarna warni dalam harmoni. Para siswa juga mengajari sekolah sebagai taman tempat mereka bermain, bersukacita, berekspresi dengan merdeka, merasakan keindahan hidup yang nyata. Dan memang untuk mempraktikkan ini para guru perlu kembali berkemampuan menjalankan 3 prinsip utama: ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Revolusi ini memang hanya bisa dimulai jika para birokrat pendidikan dan para guru terlebih dahulu bertransformasi menjadi manusia berkesadaran, yang berjiwa Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Reaksi Anda: