Skip to main content
Pijar Kesadaran

Isra Mi’raj dalam Sudut Pandang Mistisisme Jawa

19 September 2023 Persaudaraan Matahari No Comments

Sering ada yang bertanya kepada saya tentang apa sesungguhnya yang dimaksud dengan Isra Mi’raj. Saya sangat memaklumi mengapa pertanyaan ini diajukan kepada meski jelas-jelas ajaran saya tidak pernah dikaitkan dengan ajaran agama tertentu dan saya juga tak pernah mengklaim diri saya sebagai Ulama, Kyai ataupun Mursyid. Bagaimanapun mayoritas pembelajar yang mengikuti wedaran-wedaran saya lebih dari 60% berlatar belakang sebagai Muslim. Pastilah banyak yang penasaran dengan peristiwa mistik yang tiap tahun diperingati sebagai Hari Besar, dan dinyatakan pada momen itulah turun perintah Shalat 5 Waktu yang kemudian secara de jure maupun de facto sering dijadikan faktor pembeda antara orang yang benar-benar beriman dan tidak, antara orang yang taat dan pembangkang.

Mereka yang kemudian bergerak menjadi kaum skeptis yang tak mau percaya asal percaya, mulai mempertanyakan, “Benarkah peristiwa itu terjadi?” “Jika benar, bagaimana rincian dari proses kejadiannya, dan bisakah manusia lain selain Nabi Muhammad mengalaminya?” Tulisan ini hendak memberikan wawasan pembanding yang berangkat dari pengalaman mistik saya pribadi yang berangkat dari teori mistik Jawa. Para pembaca tentu perlu cukup punya kematangan agar bisa melampaui hasrat berkonflik untuk kemudian masuk kepada perbincangan spiritual-intelektual yang terbuka. Bagaimanapun itu perlu bagi siapapun yang merindukan kebenaran sejati.

Kita mulai dengan melihat dulu apa yang dimaksud dengan Isra Mi’raj:
“Isra Mi’raj berasal dari bahasa Arab. Biasanya ditulis sebagai al-Isra’ wal-Mi’raj (الإسراء والمعراج) yang terdiri atas dua kata, yaitu isra’ dan mi’raj. Keduanya memiliki arti yang berbeda.
Kata isra’ berasal dari kata sara yang artinya ‘perjalanan malam’. Sementara, mi’raj dalam bahasa Arab berarti ‘kendaraan’, ‘alat untuk naik’, ataupun ‘tangga’. Bentuk jamaknya adalah ma’arij yang berarti ‘tempat-tempat naik’.
Menurut Abduh (1994) dalam ‘Hikmah Isra’ Mi’raj Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW’, isra’ menurut bahasa Arab diartikan sebagai perjalanan jauh di waktu malam dan selamat pulang kembali ke tempat semula.
Sementara menurut istilah, isra’ diartikan sebagai perjalanan Rasulullah SAW di waktu malam dari Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsha (Palestina).
Mi’raj menurut bahasa Arab artinya tangga untuk dinaiki, sedangkan menurut istilah, mi’raj adalah perjalanan Rasulullah SAW dari Masjidil Aqsa ke langit tujuh sampai ke Arasy Allah.” (https://uici.ac.id/menyingkap-makna-isra-miraj-salah-satu-perjalanan-terpenting-rasulullah/)

Seyyed Hossein Nasr, cendekiawan modern dengan reputasi mendunia, dalam buku ‘Muhammad Kekasih Allah’ (1993) mengungkapkan bahwa pengalaman ruhani yang dialami Rasulullah SAW saat Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual dari salat yang dijalankan umat Islam sehari-hari. Dalam artian, salat adalah mi’raj-nya orang-orang beriman. Sehingga jika kita tarik benang merahnya, ada beberapa urutan dalam perjalanan Rasulullah SAW ini.

Membaca uraian di atas, siapapun yang bernalar skeptik dan kritis pasti bertanya hal seperti ini:
Benarkah langit ada 7 lapis?
Benarkah Allah (Tuhan Yang Maha Esa) bersemayam di Arasy?
Lalu apa maksud lapisan langit dan arasy itu? Apakah semua manusia dimungkinkan untuk menjumpai Tuhan yang bersemayam di Arasy? Jika tidak, bagaimana kita bisa membuktikan bahwa Arasy itu ada atau tidak sekaligus menyingkap misterinya seperti apa.

Para pembaca perlu mengerti konteks keistimewaan Isra Mi’raj dalam sudut pandang doktrin Islam: biasanya Nabi Muhammad mendapatkan pesan, perintah atau Firman Tuhan melalui malaikat Jibril. Dalam peristiwa Isra Mi’rajlah ada perintah langsung tanpa perantara karena Nabi Muhammad langsung bertemu Allah.

Jika kita merujuk pada wawasan mistik yang berkembang di Nusantara, terminologi Isra ini padanannya adalah laku lelana, kembara, kelana – sepadan dengan kata Tirta Yatra: perjalanan dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan pencerahan atau menyingkap misteri kebenaran sejati. Biasanya yang menjadi tujuan adalah tempat-tempat yang disakralkan dan punya nilai historis dalam tradisi spiritual yang dijalani. Para Begawan/Resi/Empu di Jawa/Nusantara pada umumnya punya cerita yang intens mengenai pengembaraan spiritual ini. Prabu Airlangga yang menjadi Raja di Kahuripan (abad 10) dikenal sebagai pertapa pengembara sebelum menemukan jalan menuju tampuk kekuasaan politik. Saat sudah jadi raja juga ia sering melakukan kunjungan dengan tujuan spiritual. Makanya generasi masa kini mengenal petilasan dari para tokoh seperti Prabu Airlangga. Di masa yang cukup modern, Bung Karno yang selain sebagai negarawan adalah juga seorang spiritualis yang handal, sangatlah populer dengan perkara ini: banyak sekali jejak pengembaraannya yang dinapaktilasi para pengagumnya.

Saya pribadi sebagai praktisi spiritual Jawa/Nusantara tentu saja sangat intensif melakukan pengembaraan spiritual. Sebelum mengalami pencerahan tahap pertama di penghujung 2018, sejak 2008 saya berkelana ke banyak tempat: mulai dari Gunung Tidar di Magelang hingga Alas Purwa di Banyuwangi, Pusuk Buhit di kawasan Toba Sumatera Utara hingga Hutan Loksado di Kalimantan Selatan. Sekitar 150 tempat sakral pernah saya jelajahi di kurun waktu itu. Pasca pencerahan tahap pertama, dalam rangka mencapai tahap berikutnya, saya berkelana lebih jauh: Singapura, Malaysia, Laos, Kamboja, Thailand, Vietnam, Myanmar, Hong Kong, hingga ke tanah Eropa. Dalam rentang 2019-2022 saya berkunjung ke banyak negara di Eropa: Italia, Perancis, Belanda, Belgia, Inggris, Skotlandia, Swiss, Jerman, Spanyol, Portugal, Monaco, Andorra, Luksemburg, Austria, Slovenia, Ceko, Yunani, Turki, Denmark, Finlandia. Kesemua perjalanan itu menyingkapkan kepada saya rahasia tentang Suwung, Sastrajendra, Buddha, Tao, Tantra, Druid, Ahuramazda dan lainnya. Buah dari laku ini adalah ajaran yang saya ceramahkam dan bukukan.

Jadi, bisakah setiap orang menjalankan Isra? Tentu saja jika Isra dimaknai sebagai perjalanan fisik dengan tujuan spiritual, semua orang bisa melakukannya sesuai kapasitas. Daya jelajah tiap orang akan tersesuaikan dengan daya dukung finansial yang dimiliki dan kekuatan tekad masing-masimg. Lain cerita jika Isra harus dilakukan lewat teleportasi, pastilah tak semua orang bisa; saya juga belum pernah melakukan teleportasi.

Setelah saya menjadi makin ahli dalam mempraktikkan keheningan, baik pada saat saya mengembara, di rumah atau di kafe, saya bisa mengalami realitas yang jika saya selami, sepadan dengan apa yang dimaksudkan para pakar mistisisme Islam sebagai Mi’raj. Hening yang dimulai dengan relax, sejauh pengalaman otentik pribadi, membawa kita pada berbagai kenyataan berikut:

Perjumpaan dengan Dewa Ruci. Dewa Ruci bukanlah realitas fisik, eksistensinya hanya bisa dikenali dengan Rasa Sejati. Dewa Ruci bertahta di telenging manah atau relung hati. Ia sepadan dengan kata Diri Sejati, Sang Hyang Atman, Roh Kudus, yang sederhananya dapat dibahaskan sebagai realitas Tuhan yang mempribadi di dalam diri: Sang Penuntun Agung yang ada di tahta suci di relung hati setiap manusia. Seiring dengan intensitas kualitas hening yang berjalan seiring dengan pemurnian jiwa, maka perjumpaan ini bisa menjadi sering. Setidaknya, kita menjadi makin intensif mendapatkan tuntunan agung, titah atau Sabda yang menuntun pada keselamatan dan mengurai rahasia kehidupan, yang sepadan dengan Firman/Wahyu dari Tuhan. Jadi bagi mistikus Jawa/Nusantara, berkomunikasi dengan Tuhan bukanlah hal aneh. Sebagaimana berkomunikasi dengan malaikat, dewa dewi, leluhur dan segala entitas metafisik di jagad raya ini bukanlah hal yang aneh.

Tapi sejauh yang saya tahu, tidak ada Mistikus Jawa/Nusantara yang benar-benar tercerahkan, menyebutkan bahwa ada sosok Tuhan yang terpisah dengan keberadaan manusia dan ada nun jauh di sana, dan dianggap bertahta di satu tempat di langit lapis ketujuh. Tak ada juga manusia tercerahkan di Jawa/Nusantara memaknai langit seperti dalam konteks perbincangan sehari-hari sebagai batas cakrawala pandang manusia, atau dalam konteks sains: lapisan-lapisan atmosfer yang berukung di ruang angkasa yang membawa manusia berjumpa dengan planet dan galaksi lain. Faktanya, tak ada satupun astronot yang mengaku berjumpa dengan Tuhan di luar angkasa sana.

Siapapun yang menyelami realitas Tuhan dalam keheningan, setelah menjumpai realitas Dewa Ruci sebagai Sang Penuntun Agung, ia diniscayakan menyaksikan realitas Tuhan sebagai kecerdasan tertinggi di Jagad Raya – yang jikapun menyosok, Ia bisa kita kenali sebagai Diri Semesta yang bertahta di pusat jagad raya tapi tetaplah Ia tak terpisah dengan diri kita. Ia kita saksikan saat kita terus menyelami relung hati kita; keberadaanNya sebenarnya tak permah terpisahkan dengan jiwa kita; jiwa kita diliputi keberadaanNya.

Perjalanan lebih jauh akan mengantarkan kita menyaksikan realitas yang meliputi segalanya yang menjadi sumber segala yang ada: Keberadaan yang dibahasakan sebagai Suwung, yang dariNya memancar kasih murni dan energi hidup yang meliputi segala yang ada. Kita semua ada di dalam samudra kasih murni dan energi hidup yang tanpa batas, kita tak pernah terpisahkan denganNya.

Jika bicara langit dalam konteks spiritual, tidak juga mesti terbatas 7 lapisan. Jika mengacu ke matrix realitas di jagad raya ini yang menjelaskan ragam eksistensi berdasarkan frekuensi vibrasi energi, setidaknya dinyatakan ada 31 dimensi. Jika yang dimaksud langit adalah realitas luhur dimana di situ bisa kita jumpai hapsara hapsari, dewa dewi, mahadewa mahadewi, malaikat, juga Adhi Buddha, maka itu berarti merujuk ke alam cahaya ke atas: Dimensi 12 hingga 31. Tapi bukan berarti Tuhan ada di dimensi 31 karena Ia meliputi segalanya, termasuk Ia meliputi Dimensi 1 dan 2 yang kita kenal sebagai Neraka. Sama sekali tak ada eksistensi maupun koordinat ruang waktu yang terpisah dariNya.

Pengalaman menyaksikan segenap realitas yang saya ceritakan ini, bisa dijangkau oleh siapapun, oleh manusia dari keseluruhan suku dan ras di berbagai generasi asal memenuhi syarat: bisa hening paripurna, murni jiwanya, terdayagunakan Rasa Sejatinya. Itu bukan hak eksklusif hanya bagi seorang manusia. Demikian yang saya bisa ungkapkan sebagai mistikus Nusantara beneran bukan abal-abal hi hi hi

Setyo Hajar Dewantoro, 19 September 2023

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda