Skip to main content
Refleksi

PASRAH

29 June 2025 Ay Pieta No Comments

Kata ‘Pasrah’ seringkali diartikan sebagai tidak berbuat apa-apa, lalu dikaitkan dengan Mager (Malas Gerak), membiarkan orang lain yang bekerja, menunggu nasib baik, dan konotasi perilaku tidak konstruktif lainnya. Kata ‘Pasrah’ sering dimaknai dengan nasib yang sudah ditentukan oleh Tuhan, yakni ketika kita tersandung, kejedot, dan berhutang pinjol pun merupakan situasi yang sudah dirancang oleh Tuhan. Pasrah menjadi lekat dengan pengertian menyerah (surrender) sehingga merasa tidak perlu berusaha, dan merasa kalah dalam sebuah situasi, lalu berhenti, dan lari (resignation).

Selama hidup, saya memang belum pernah benar-benar menghayati makna pasrah sampai bertemu dengan ‘Spiritual Murni SHD. Menurut pengertian pribadi secara kognitif, pasrah dimaknai sebagai bentuk penerimaan (acceptance) atas ketidakberdayaan pada diri, atau kelemahan. Pasrah sebagai bentuk ketidak mampuan untuk berbuat apa-apa, sehingga terpaksa menerima sebuah kondisi atau situasi yang tidak diinginkan atau tidak disukai. Jadi sikap pasrah merupakan penerimaan di permukaan, yang diterima dengan segudang pertimbangan akal sehat, dan selalu memungkinkan disertai dengan misuh, mengeluh, protes, menggerutu, ngedumel, manyun, ngambek, cemberut, kesal, ngomel dan aksi pemberontakan halus lainnya.

Setelah belajar ‘Spiritual Murni SHD’, tentu banyak kosakata yang pengertiannya terkalibrasi menjadi lebih utuh dan mendalam. Pasrah yang tadinya saya maknai sebagai sikap di permukaan saja, selama memenuhi syarat penampakan yang tepat, maka sudah dianggap cukup memenuhi standar moral sikap pasrah. Saat ini maknanya menjadi lebih dalam, yaitu sikap penerimaan yang utuh (total acceptance) lengkap dengan Tanggung Jawabdan resiko dari penerimaan itu. Menerima apa pun situasi yang harus dijalankan dan dihadapi, sekaligus tidak memaksakan keinginan pribadi untuk terpenuhi, dan berkomitmen untuk berupaya yang terbaik yang bisa dilakukan. 

Dan, yang paling penting untuk digarisbawahi adalah sikap pasrah yang mentok total (total acceptance), selalu sepaket dengan kerendahan hati, ketulusan, dan kesiapan untuk bertanggung jawab atas konsekuensinya. 

Contohnya, kalau berbuat kesalahan, maka harus siap dengan apa pun hukumannya dan tidak memaksakan kehendak untuk mendapatkan diskon keringanan hukuman, Atau tidak bersikap kabur lari cuci tangan dari kewajiban dan tanggung jawab.


Saya sering menggambarkan sikap pasrah dengan ilustrasi seperti ketika sedang sekarat nyaris mati, tidak mampu berbuat apa pun, hanya punya nafas dan kesadaran diri. Maka, yang bisa dilakukan adalah berupaya yang terbaik untuk tetap sadar bernafas natural, dan pasrah menyambut apa pun yang akan hadir. Siap menghadapi apabila yang hadir adalah kematian atau menerima pertolongan dalam bentuk lain yang tidak sesuai harapan.

Latihan untuk bersikap pasrah ternyata terkait erat dengan kemauan untuk berendah hati dan ketulusan. 

Selain menjadi elemen penting bagi sikap pasrah, kedua elemen ini pun berperan penting dalam pengembangan karakter kuat, seperti resiliensi, ‘Integritas‘, dan ‘Akuntabilitas’. Dalam pasrah berkualitas mentok maksimal yang dimaksud dalam Ajaran Spiritual Murni SHD, tidak mungkin ada kesombongan, tidak mungkin ada ambisi dan obsesi, dan tidak mungkin tanpa ketulusan.

Berlatih Meditasi/Hening Pemurnian Jiwamerupakan salah satu sarana berlatih tentang sikap pasrah atau penerimaan. 

Dalam bermeditasi/hening pemurnian jiwa, kita pun dilatih untuk tidak ambisi dan tidak obsesi. Dilatih untuk berendah hati, tulus, bersyukur, dengan berlatih menata mindset (pola nalar), sehingga mampu berpikir dengan jernih tanpa bias kognisi. Satu tindakan bermeditasi/hening pemurnian jiwa, ternyata memberikan dampak latihan yang bermacam-macam, sesuai dengan apa yang dibutuhkan untuk mengembangkan diri sembari membersihkan diri dari koleksi sisi gelap (shadows). Memang inilah Spiritual Murni, tujuannya untuk menjernihkan atau memurnikan lapisan kesadaran dari sisi gelap (shadows). 

Yang lucu adalah ketika terjadi perdebatan dalam memaknai arti kata pasrah, tetapi dilakukan dengan tidak pasrah. Dilakukan dengan tidak berendah hati dan tidak tulus, dilakukan dengan mindset basis sisi gelap berupa konsep ilusif yang tidak mau dilepaskan. Akhirnya, sebuah kata pasrah dimaknai dengan sikap tidak pasrah, dan mempertahankan perspektif pribadi yang kesempitan karena kesadarannya penuh sesak dengan Sisi Gelap (shadows)’. Kata pasrah tidak berhasil dihayati dengan mendalam karena mempertahankan metode penghayatan yang berbeda, tidak apple to apple. Yang harusnya dihayati dengan penuh kesadaran, dengan kerendahan hati, akhirnya tidak menemukan titik terang akibat kesulitan berefleksi dengan jujur. 

Membuka kesadaran memang membutuhkan metode yang tepat, yang minim bias dan distorsi. Pembuktian dan kesaksian membutuhkan proses yang eksperimental dengan metode yang persis sama, sehingga bisa dinilai dengan setara dan sepadan, apple to apple. Tanpa kerendahan hati, tidak mungkin menjadi pasrah. Tanpa kerendahan hati, tidak mungkin bisa belajar. Seperti ketika anak balita belajar untuk makan sendiri pun, berasal dari sebuah ketulusan dan sikap kerendahan hati.

Punya pengalaman otentik lain tentang pasrah? Ceritakan, ya.

“Consciousness speaks louder than words” ~ Pure Spirituality.

 

Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
29 Juni 2025

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda