
Saya baru menyadari bahwa sebenarnya yang disebut dengan zona nyaman adalah kenyamanan yang membosankan. Zona nyaman yang membosankan, ditandai dengan mencari kesenangan baru atau hal baru yang dianggap menarik dan memenuhi keinginan ‘Sang Ego’, sehingga membuat diri menjadi senang. Ketika otak telah berhasil beradaptasi dengan kesenangan, maka akan memasuki zona nyaman. Namun, apabila telah berada dalam zona nyaman, rasa senang akan pelan-pelan memudar. Yang tadinya terasa sangat gembira, menyenangkan dan ingin dipertahankan dengan permanen, secara perlahan hilang, menjadi terasa datar kembali, terasa biasa-biasa saja, bahkan hampa. Hilanglah semua kegembiraan dan rasa syukur yang dipanjatkan ketika merasa senang, karena memasuki sebuah kebosanan. Hal yang tadinya menarik untuk diupayakan dan menyenangkan ketika dicapai, berubah jadi membosankan.
Gara-gara penyadaran ini, saya jadi memahami kenapa Semesta selalu bergerak dan kehidupan selalu bergerak dalam perubahan. Yang permanen konstan dalam hidup adalah ‘Gerak Perubahan’ yang ‘tidak bisa dihindari’. Ternyata gerak Semesta tidak akan pernah menciptakan situasi yang membosankan karena selalu bergerak dan berubah.
Gerak perubahan akan memaksa manusia untuk selalu beradaptasi, menjadi tangguh dan resilien, sekaligus adaptif dan fleksibel untuk menari bersama irama semesta.
Makanya, menjadi sangat tepat disebut sebagai irama Semesta – semua manusia seharusnya turut menari mengikuti irama Semesta itu, tidak bisa maunya diam saja di satu tangga nada dan membuat irama kehidupan menjadi sumbang, datar, tidak harmoni, dan membosankan.
Sementara itu, otak manusia yang Banyak Maunya (BM) ini menginginkan tidak banyak perubahan karena menginginkan kesenangan tidak hilang, menginginkan kesenangan selalu hadir permanen, dan keinginan-keinginan lainnya. Tetapi, ketika proses adaptasi sudah selesai, siklus zona nyaman hadir dan bosan, pasti akan mencari hal baru lagi yang dianggap lebih menarik dan memberikan kesenangan baru. Inilah yang terjadi ketika memiliki tujuan yang cetek, ketika satu tujuan tercapai, lalu menjadi bosan. Cari lagi yang lebih menarik – tercapai lagi, lalu bosan lagi. Begitu terus, tidak ada habisnya dan dalam ilmu psikologi disebut adaptasi yang hedonik.
Berbeda dengan saat ini, ketika saya menjadi praktisi ‘Seni Hidup SHD’ dan menjalankan proses penjernihan diri, tujuan hidup pun ikut menjadi jernih. Dengan kesadaran yang jernih, saya menemukan clarity of purpose versi server kanan sebagai tujuan hidup yang paling mentok dan luhur. Dengan memiliki clarity of purpose yang luhur, akibatnya hidup menjadi selalu terseret keluar dari zona nyaman. The struggle is real dan terjadi terus menerus terasa tidak ada habisnya. Tetapi, kok lucunya malah membuat hidup semakin bermakna, tidak pernah lagi merasa bosan. Menjalankan ilmu ‘Seni Hidup SHD’ dengan ketekunan bermeditasi/hening penjernihan diri, memang mengasah keahlian dalam bersyukur dan menjadi ahli dalam menikmati proses dalam beradaptasi.
Menemukan penyadaran baru bahwa ternyata hidup yang selalu berubah dan bergerak inilah, yang membuat hidup menjadi lebih hidup dan penuh makna.
Dengan mentransformasi tujuan menjadi mentok paling atas sebagai sesuatu yang luhur, perjalanan menuju pencapaian tujuan seolah-olah menjadi tanpa batas akhir. Tercapai satu anak tangga, akan terbuka anak tangga berikutnya yang harus didaki kembali. Ketika proses adaptasi mendekati akhir, dan memasuki area zona nyaman, maka kalkulator Hukum Semesta akan memberikan tantangan baru lagi. Bagi rumus Hukum Semesta, ketika manusia menuntaskan masa adaptasi, pertanda bahwa telah siap untuk melangkah ke anak tangga berikutnya. Hukum semesta yang berjalan ini, seperti memaksa hidup agar turut bergerak dan berubah mengikuti iramaNya.
Dan, inilah yang membuat hidup malah lebih bermakna ketika berada dalam perjalanan untuk mencapai sebuah tujuan, yaitu ketika sedang berupaya memberikan yang terbaik pada proses, bukan ketika memiliki pencapaian tujuan.
Manusia yang tidak bisa mengelola ke-BM-annya, sudah pasti kesulitan untuk bersyukur. Ketidakmampuan ‘Mengelola Diri’ pasti akan terjebak pada kemelekatan karena tidak mau kehilangan rasa senang yang pernah dirasakan. Bukannya melangkah pada gerak perubahan dengan keluar dari zona nyaman, tetapi lebih senang untuk mencari lagi rasa senang yang pernah hadir. Berputar-putar dalam kubangan zona nyaman yang sebenarnya sudah membosankan, bertahan hanya untuk mencari kesenangan yang sama.
Minimnya keterampilan untuk ‘Bersyukur dengan Tulus’ dan malas untuk keluar dari zona nyaman akan menciptakan pemberontakan ketika kehidupan bergerak dalam perubahan. Aksi pemberontakan seperti tidak ‘Pasrah’, tidak ‘berserah diri’, keras kepala, malas beradaptasi, penolakan dan pelarian, dan sebagainya. Inilah yang menyebabkan roda samsara (suffering) dimulai, yaitu ketika aksi pemberontakan dilakukan demi mempertahankan zona nyaman yang sebenarnya membosankan. Pemberontakan membuat hidup menjadi tidak berirama dalam harmoni. Dan sudah tentu tidak mungkin menjadi ‘Totalitas’ karena menolak untuk mengalir menari bersama irama Semesta.
Setelah satu minggu mendapat pembelajaran penting tentang zona nyaman, akhirnya saya mengerti mengapa Semesta selalu memaksa saya keluar dari zona nyaman. Hidup menjadi sangat dinamis dan penuh petualangan adaptasi yang perlu dijalankan dengan kesukacitaan, sehingga tidak pernah terjadi lagi zona nyaman yang membosankan. Refleksi lengkap mengapa saya menemukan pembelajaran ini, akan saya bagikan di artikel selanjutnya. Tapi, coba deh lebih jujur kepada diri sendiri, “Zona nyamanmu sebenarnya membosankan, ‘kan?”
“Life is a series of impermanence fortunate events. Be conscious, embrace the flow, and let life become fully content.” ~ Pure Consciousness
Ay Pieta
Pembimbing dan Direktur Persaudaraan Matahari
16 September 2025
Reaksi Anda: