Buddha, adalah gelar bagi siapapun yang tercerahkan. Mengacu pada tangga-tangga kesadaran yang saya saksikan, para Buddha adalah mereka yang menjangkau dimensi 21 dalam struktur 31 dimensi. Dalam bahasa lain, mereka mencapai Kesadaran Shamballa. Mereka yang tak sekadar tercerahkan, tapi mencapai pencerahan paripurna, bisa dijuluki Adhi Buddha. Untuk sampai ke sini, para Buddha harus bertransformasi dulu menjadi The Headless Buddha; mereka meluruhkan egonya lewat kesetiaan penuh pada titah dari Realitas Kecerdasan Tertinggi di dalam diri. Meminjam istilah Tao: mereka sepenuhnya bergerak selaras gerak semesta, total menari bersama semesta; tiada gerak pikir, kata-kata dan tindakan yang tidak selaras dengan “gerak dari Kesadaran Tertinggi”.
Jalan Buddha adalah jalan pembebasan dari roda samsara. Maka jalan ini didasarkan pada 7 prinsip penting:
- Realitas diri yang sesungguhnya dan langgeng adalah Sang Jiwa, sebagai entitas yang terus berevolusi, dan bisa berganti-ganti badan dalam proses evolusinya.
- Jiwa bersumber dari realitas tanpa batas. Ada banyak proses sebelum kemudian Jiwa mengada sebagai entitas yang punya free will dan bisa menentukan nasibnya sendiri. Meski setiap jiwa esensinya adalah kesadaran murni, tapi sebagai pribadi dia adalah realitas yang berbeda dengan Kesadaran Murni itu. Jiwa bisa memilih jalan kehidupan yang selaras ataupun tidak dengan Kesadaran Murni itu, dengan resiko yang ditanggung sendiri.
- Pada dasarnya hidup adalah kesempatan agung untuk bersukacita, untuk tenggelam dalam momen surgawi. Hidup dipenuhi anugerah tanpa batas. Tapi ketidaksadaran manusia dan sikap egoistik, membuat hidup bisa berubah menjadi penderitaan yang seolah tanpa ujung.
- Pembebasan dari penderitaan hanya terjadi saat seseorang bisa memurnikan jiwa raganya, hingga sirnalah semua akar derita di dalam diri.
- Proses pemurnian jiwa terjadi lewat keheningan yang berkelanjutan. Seseorang tidak perlu menyiksa dirinya, dengan memerangi hasrat badannya yang natural. Sikap menganggap tubuh dengan segala hasrat naturalnya adalah musuh bagi jiwa, justru merupakan ilusi yang menjadi akar derita – dan karenanya harus disirnakan lewat keheningan yang sesungguhnya.
- Jiwa itu nyata, Tuhan juga nyata, demikian juga Diri Sejati dan Diri Semesta. Tapi semua realitas itu harus disaksikan dalam keheningan menggunakan Rasa Sejati. Realitas yang bisa dijangkau manusia sangatlah terbatas jika hanya menggunakan otak dan panca inderanya. Kekosongan adalah inti dari segala yang ada. Bukan berarti tak ada inti; kekosongan adalah realitas yang ada. Kekosongan menjadi esensi dari segala yang ada, kekosongan juga meliputi segala yang ada. Bersama kekosongan ada kesadaran murni, energi penciptaan, kasih dan kebahagiaan yang sejati.
- Gelar Buddha, keadaan terbebas dari penderitaan, dimungkinkan dicapai oleh semua jiwa, semua manusia. Yang membedakan hanyalah cepat dan lambatnya proses, yang tergantung dari tingkatan evolusi jiwa dan pilihan-pilihan yang diambil pada saat ini. Setiap Buddha dan Adhi Buddha adalah penuntun bagi manusia agar terlepas dari roda samsara. Mereka ada bukan untuk disembah, manusia hanya perlu mengikuti jalan mereka. Para Buddha dan Adhi Buddha tidak mesti hidup di biara tanpa keluarga. Mereka bisa hidup dimana saja, dengan busana apapun juga, bisa punya profesi yang terkesan duniawi, dan jelas tidak harus selalu berselibat.
Inilah jalan Buddha yang saya mengerti dan jalani. Tidak ada yang mengajarkan saya jalan ini, kecuali Sang Hyang Adhi Buddha yang bertahta di alam kebahagiaan yang paripurna.
Reaksi Anda: