Skip to main content
JiwaMeditasiSpiritual

Menjadi Mandala Berjalan

11 October 2020 Setyo Hajar Dewantoro No Comments

Menjadi Mandala Berjalan
Ngeli-Nggelundung-Sumarah

Pembelajaran spiritual yang kita jalani membuat Anda terhubung dengan sumber kasih murni yang bersemayam di relung jiwa. Kita konsisten merasakan getaran itu pada setiap tarikan dan embusan nafas. Kita mengerti bahwa kasih murni memancar ke semua sel di dalam tubuh kita. Kita pun menjadi mengerti bahwa setiap saat pada setiap sel memancarkan kasih murni pula. Inilah arti menjadi mandala berjalan. Tentu saja ini semua tidak akan terjadi tanpa tekun ada di dalam keheningan. Yakni, jiwa menjadi murni agar tidak ada halangan sedikit pun untuk terpancarnya vibrasi kasih murni ke segala penjuru. Ingatlah teknik sederhana yang kita jalankan secara konsisten, yakni meditasi segitiga.

Meditasi segitiga menghubungkan antara Si ‘aku’ yang mempunyai pikiran dengan basis di otak atau kesadaran ragawi dengan kesadaran ‘AKU’ Sang Sumber Hidup/Sang Roh Kudus yang bertahta di dalam ‘Aku’/jiwa kita.

Lewat kesadaran Jiwa (Aku), Diri Sejati, kita bisa mengenali keberadaan Sang AKU/ Sang Sumber Hidup, Tuhan Yang Maha Esa, Roh Kudus. Sepanjang waktu kita sadari kesatuan ini. Kita bisa merasakan kasih murni terus menerus yang berdampak pada kebahagiaan dan kedamaian yang sejati. Kita bergerak untuk semakin meluruhkan ke-aku-an diri. Kita (jiwa dan raga) hanya menjadi alat atau wahana dari Sang Sumber Hidup untuk merealisasikan kehendakNYA. Di dalam situasi sesulit apa pun dengan tantangan sebesar apa pun, ketika kita hidup dalam kesadaran ini, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Yang menyelesaikan masalah ini bukanlah kita yang penuh keterbatasan. Kita hanya menjadi alat atau wahana bagi kekuatan yang tanpa batas. Inilah dasar dari keajaiban atau mukjizat bagaimana perubahan terjadi dan bagaimana keselamatan muncul dengan cara di luar imajinasi kita.

Keheningan

Poros dari laku kita adalah hening. Keberhasilan Anda sangat ditentukan dari sejauh mana Anda bisa melatih diri di jalan keheningan ini. Anda akan terus bertumbuh jika tekun di dalam hening cipta, baik dengan cara formal (meluangkan waktu tertentu, di tempat tertentu, dengan posisi tertentu) maupun dengan cara informal (hening sepanjang waktu di mana pun Anda berada dan sedang dalam melakukan apa pun). Inilah yang disebut laku atau kultivasi atau spiritual exercise. Tanpa hal itu tidak akan terjadi pertumbuhan kesadaran atau transformasi.

Baca Juga: Tujuan Kelahiran dan Misi Agung Sang Jiwa di Bumi

Belajar spiritual bukan menumpuk pengetahuan di kepala. Itu adalah pendekatan akademik saja. Kita ini sedang menumbuhkan kesadaran. Kesadaran muncul dari pengalaman. Pengalaman datang ketika kita mau berjalan. Ketika hening, sebenarnya kita berjalan untuk memperluas cakrawala kesadaran kita. Kita tidak berhenti pada segala yang bisa dijangkau oleh panca indera saja. Kita membiarkan jiwa berkelana untuk menemukan segala realitas yang baru.

Mengalir Mengikuti Arus Kehidupan

Petualangan di dalam keheningan tentu akan membuat Anda mendapatkan banyak kesadaran baru atau pengertian baru. Semakin banyak hening dan menyelam ke dalam diri, maka akan semakin banyak rahasia yang disingkapkan oleh Semesta. Hal yang sangat krusial adalah keberanian Anda untuk ngeli atau nggelundung, yakni mengikuti arus kehidupan masing-masing diri yang pasti berbeda. Skenario hidup masing-masing diri itu unik dan berbeda-beda. Ikuti saja. Dalam skenario hidup akan ada banyak pembelajaran yang berharga. Ada suka-duka di sana yang akan memicu Anda untuk belajar mengenali esensi kehidupan.

Saat ini kita sedang bersama Pak Bambang. Beliau banyak mendapat kesadaran atau pencerahan dari laku kehidupan yang unik.

Kisah Perjalanan Pak Bambang Bengkulu

Perjalanan hidup saya untuk menemukan pencerahan ini ada dalam kondisi terpaksa harus saya lakukan. Sikap saya pun sangat mendesak dengan keinginan yang sangat tinggi. Diawali dengan keinginan kuliah yang tidak bisa dibiayai oleh orang tua. Saya nesu budi nggegeh kawruh, protes pada diri sendiri. Saya pun keluar dari rumah dan pamit pada orang tua, lalu berkata, “Yen aku bali, yo aku anakmu. Yen ora bali, aku selametono, aku wes lungo soko omah.” (Jika aku pulang, aku masih hidup. Jika aku tidak pulang, anggap saja aku meninggal).

Saya melakukan perjalanan selama tiga tahun dengan pakaian yang masih sama. Saya berangkat dari rumah ke Pagar Alam, Jambi, Pekan Baru, Padang, lalu kembali ke Pagar Alam lagi. Saya tidak mengenali diri saya sendiri tanpa dipukuli oleh orang lain. Pada tahun 1979 saya pernah dikubur dan dimasukkan ke dalam peti agar tidak pergi ke mana-mana. Kata orang-orang, saya sudah terkubur selama empat puluh hari. Setelah kejadian itu, saya berkelana tidak jelas.

Saat saya pindah ke Lampung, di sana ada ujian untuk menjadi guru. Berhubung saya tidak punya ijazah sebagai guru, tetapi saya menginginkan pekerjaan tersebut. Saya pun datang ketika ada ujian terakhir. Lalu, saya mendaftarkan diri kepada kepala sekolah di sekolah tersebut. Dan, saya berhasil.

Matahari memang sangat terang. Manakala mendung, maka sinar dan panasnya tidak sampai ke bumi. Segala yang kita pancarkan dari dalam diri akan terpancar ke wajah kita. Tindakan yang tidak baik akan membekas di hati. Sebab itu berbuatlah baik agar kebaikan-kebaikan tersebut bisa terpancar dari wajah kita.

Saya bisa seperti ini secara otodidak dalam kondisi terpaksa mengikuti naluri. Saya tidak punya guru khusus, selain Guru Sejati yang ada dalam diri saya sendiri.

Saya menanam pohon beringin di tengah halaman. Saya berguru pada pohon beringin yang saya tanam sendiri. Akarnya tumbuh ke dalam tanah. Setiap hari terkena sinar matahari. Jika hujan, kehujanan. Pohon itu menerima lakonnya dengan apa adanya. Anda pun harus mau menjalankan lakon kehidupan Anda dengan apa adanya. Sampai sekarang, pohon yang saya tanam tidak pernah pindah dari tempatnya. Pohon tersebut selalu bersyukur diberi hidup. Pohon tersebut terus bertumbuh semakin ke dalam akarnya dan semakin kuat. Jika akarnya tidak dalam dan kuat, maka akan tumbang. Monggo diperdalam kawruh atau ilmu ini. Ikutilah filosofi akar. Sekali pun tak terlihat, dia sangat bermanfaat. Segala peristiwa yang terjadi dalam hidup kita selalu jadikanlah sebagai pembelajaran dalam diri. Pembelajaran kita tidak pernah berhasil manakala kita tidak konsekuen dengan keputusan yang diambil.

Baca Juga: Menjadi Jiwa-Jiwa Ilahi yang Agung

Jika sudah dijadikan ayam, jangan pernah mencoba jadi sapi. Jadilah diri sendiri. Jangan jadi orang lain tanpa kehendakNya. Ikutilah kondrat Anda sekarang. Jika kodrat Anda sakit, maka jalanilah. Jangan protes! Sakit itu mengingatkan Anda agar Anda bisa menjaga kondisi dan kesehatan tubuh. Jangan sambat atau mengeluh kepada teman Anda! Berpikirlah! Aselinya memang seperti itu. Jangan ribut!

Sesuatu yang salah manakala dipanggil namanya pasti akan lari. Contohnya malam hari di bawah jendela dipanggil maling. Pasti dia lari. Seperti halnya sakit. Jika Anda sakit, panggillah sakit itu. Pasti dia akan lari. Syaratnya cukupkan heningmu. Jangan pernah terputus sekali pun. Tansah eling atau selalu ingat pada jalan keluar-masuk hidung, yakni sadari nafas. Itulah guru Anda. Hanya dengan jalan itu, tubuh kita tidak pernah berbohong. Aturan memakai masker itu adalah bentuk ketidakpercayaan diri, tidak percaya dengan Sang Pencipta diri. Saat kita hidup, semuanya sudah disiapkan. Namun, Anda harus mencari sendiri. Termasuk dalam hal jodoh. Anda pasti sudah punya jodoh. Anda harus mencarinya. Jika Anda meminta saya mencarikan jodoh untuk Anda, ya Anda akan saya nikahi sendiri saja. Hehehe.

Mohon maaf jika kata-kata saya membuat Anda tersinggung. Saya sengaja agar Anda tidak suka dengan saya. Biar Anda tidak mencari saya. Jika Anda suka pada saya, Anda akan mencari saya. Orang boleh berbicara apa saja tentang saya. Itu tidak mempengaruhi saya. Lakunya sumarah atau pasrah, apa kata Allah. Saya akan dibuat nasi silakan, dibuat bubur monggo, bahkan dibuat untuk makanan ayam juga boleh. Sejauh peristiwa yang terjadi pada diri saya atas izin Sang Kuasa, saya rela.

Intisari Pembelajaran

Kita dipertemukan dengan Pak Bambang tanpa rencana. Inilah ngeli atau nggelundung. Intisari pembelajaran kita adalah sumeleh atau sumarah atau pasrah mengikuti apa saja ketetapan Gusti. Kita selalu terhubung dengan Sang Sumber kapan pun dan di mana pun. Sadari diri bahwa kita ada dalam kemenyatuan denganNya dan kita selalu dikasihiNya.

 

Disarikan dari Workshop Diri Sejati
Setyo Hajar Dewantoro
Lampung, 3-4 Oktober 2020

Share:
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda