1. Apakah boleh punya tujuan dalam belajar spiritual?
Jawab: Memangnya ada tindakan yang dilakukan tanpa tujuan? Tidak ada. Tujuan itu membentuk motif, muncul secara sadar maupun tak sadar. Makan baksopun pasti ada motifnya: semisal untuk memenuhi lidah yang kangen dengan rasa bakso, sekadar membuat perut tak kelaparan dan seterusnya. Jadi tidak mungkin ada tindakan yang dilakukan tanpa ingin apa-apa dan butuh apa-apa. Tindakan yang paling tulus juga pasti ada motif: namun itu adalah motif yang murni. Semisal seseorang membantu orang lain, hanya karena digerakkan sesuatu di relung hatinya, tanpa motif egoistik. Di sana, sang penggerak itu sebetulnya punya kehendak, punya tujuan, punya motif – yaitu terjadinya harmoni, terealisasinya kasih murni.
Maka, wajar jika belajar spiritual itu ada tujuannya. Yang harus dilakukan adalah memastikan tujuan itu murni. Belajar spiritual semestinya dilandasi kerinduan jiwa untuk menjadi sempurna. Belajar spiritual adalah bagian dari proses menuntaskan evolusi jiwa. Belajar spiritual dijalankan mengikuti gerak dari hati agar terjadilah rancangan agung: jiwa kita menjadi jiwa ilahi.
Yang tidak pas dan pasti berbuah kegagalan dalam belajar spiritual adalah ketika Anda punya motif egoistik, seperti:
– Belajar spiritual supaya punya kekuatan supranatural yang memungkinkan diri Anda ditakuti dan dikagumi banyak orang.
– Belajar spiritual agar naik pangkat, bisnis berkembang omset naik, atau agar dapat jodoh di lingkungan pembelajaran spiritual.
Hanya yang punya motif murni dan tujuan agung yang punya kemungkinan besar berhasil dalam belajar spiritual.
2. Apakah tingkat kesadaran bisa diukur?
Jawab: Ya tentu saja bisa. Penilaian terhadap sesuatu adalah kewajaran. Penilaian itu penting agar kita bisa memberi sikap yang tepat. Yang penting penilaian itu akurat. Pengukuran terhadap tingkat kesadaran adalah terapan dari penilaian. Yang pasti, karena ada penilaianlah muncul label “orang tercerahkan”, “orang tak tercerahkan”. Terkait dengan pembelajaran spiritual, para pembelajar dan pejalan tentu perlu model atau benchmark orang tercerahkan. Maka wajar jika dicari siapa sosok yang memang tercerahkan untuk dipelajari prinsip keberhasilannya. Jika mau berguru ya wajarnya dipastikan dulu jika sang guru benar-benar tercerahkan. Yang repot adalah jika Anda menilai seseorang tercerahkan (atau tidak) berdasarkan asumsi atau berdasarkan cerita turun temurun atau berdasarkan gossip. Penilaian demikian pasti tidak akurat. Dan Anda pasti kesasar dalam arti tidak bisa mencapai apa yang menjadi tujuan agung dari belajar spiritual. Maka berupayalah hening untuk mendapatkan petunjuk dari Sang Sumber.
Baca Juga: Indikasi Sombong Dalam Pandangan Spiritual
Pengukuran tingkat kesadaran adalah metoda yang dibuat seobyektif mungkin agar kita tahu mana sebenarnya orang tercerahkan. Bagi mereka yang rasa sejatinya sudah berdayaguna, dengan rasa sejati itulah tingkat kesadaran ini diukur. Hasilnya adalah kuantifikasi terhadap kualitas satu jiwa: tingkat kemurnian jiwa, tingkat kasih murni, tingkat kesatuan dan kesalarasan dengan Diri Sejati/Tuhan. Bagi khalayak yang lebih luas, bisa dipergunakan muscle test karena muscle atau otot punya kesadaran dan tak akan pernah berbohong. Apapun caranya, kemurnian dan keterbebasan sang pengukur tingkat kesadaran dari beragam distorsi, itulah yang menentukan akurasi pengukuran.
3. Apakah belajar spiritual bisa dievaluasi?
Saya sendiri mengevaluasi diri, akurasi saya dalam membaca realitas dan mengukur tingkat kesadaran, jauh berbeda antara sekarang dan 2 tahun lalu: sekarang makin akurat. Saya mengembangkan banyak parameter untuk mengevaluasi siapapun yang belajar pada saya. Untuk apa? Agar yang belajar tahu mereka sebenarnya dapat manfaat apa tidak dalam belajar. Ini adalah upaya penjaminan mutu agar setiap yang belajar benar-benar mengalami transformasi jiwa. Maka munculllah model-model evaluasi: tingkat kesadaran ( LoC), pencapaian dimensi, persentase keberadaan sisi gelap yang masih tersisa, dan lainnya.
Dengan beragam parameter dan cara pengukuran, saya jadi tahu siapa sebenarnya orang-orang yang tercerahkan. Murid-murid saya di lingkaran inti juga bisa melakukan hal ini. Beberapa bahkan punya metoda lain yang memperkaya khazanah dan meningkatkan akurasi. Maka, saat ini, ketika mencontohkan orang tercerahkan, saya hanya menyebutkan nama-nama yang telah lulus uji: mereka memang beneran tercerahkan bukan cuma katanya tercerahkan.
Baca Juga: Perjalanan Spiritual Yang Tiada Berujung – Setyo Hajar Dewantoro
Apakah saya Guru Setyo Hajar Dewantoro (SHD) tercerahkan? Yang pasti, saya salah satu orang paling bahagia di dunia, juga salah satu orang dengan wajah paling sumringah dan punya senyum indah… Hi Hi Hi Hi Hi
Reaksi Anda: