Skip to main content
JiwaMeditasiSetyo Hajar DewantoroSpiritual

Menjadi Orang Spiritualis

4 September 2020 Setyo Hajar Dewantoro No Comments

Pembelajaran spiritual selalu berangkat dari kesadaran atau pengertian bahwa diri kita terdiri atas tiga realitas yang berbeda, namun saling berkaitan. Tiga realitas tersebut adalah,

  1. Ego atau “aku”

Ego atau “aku” adalah identitas diri yang terbentuk dari pikiran ragawi. Identitas ini membentuk kita menjadi sosok yang berbeda dari yang lain. Tubuh fisik ini berfungsi sebagai kendaraan.

  1. Jiwa atau “Aku”

Di balik “aku”, ada “Aku” yang lain yang lebih halus yang berakar pada keberadaan jiwa. Jiwa ada di dalam tubuh fisik sebagai pengendara dari kendaraan.

  1. Spirit atau “AKU”

Di balik “aku”, ada “Aku” yang lebih halus dan Agung lagi, yakni “AKU”. Ini dinamakan Spirit atau Diri Sejati. Basis pembelajaran spiritual ada di sini.

Ajaran spiritual mengajak semua realitas keberadaan diri ditransformasi sehingga menjadi sebagaimana “AKU”. Kualitas “AKU” mengejawantah menjadi “aku” dan membuat “Aku” yang mewakili keberadaan jiwa terealisasi.

Keberadaan manusia tidak lepas dari keberadaan tubuh fisik yang di dalamnya terdapat jiwa dan spirit. Tubuh fisik memiliki perangkat kesadaran, yakni otak. Otak memunculkan fungsi pikiran. Selain otak, ada panca indera yang memberi input data untuk diolah sehingga menjadi pikiran atau pengetahuan.

Laku spiritual mengakui semua perangkat tersebut. Namun, laku spiritual menjelaskan bahwa di dalam diri kita ada perangkat yang lain, yakni Rasa Sejati. Rasa Sejati ini bagian yang tidak dapat terpisahkan oleh Spirit atau Diri Sejati yang dimiliki oleh setiap jiwa.

Laku spiritual ingin menghubungkan segala yang berbasis otak dengan Rasa Sejati. Orang spiritualis adalah orang yang hidup dengan pikirannya, tetapi pikirannya dihubungkan dengan Rasa Sejati yang mampu mengenali keberadaan jiwa dan spirit sehingga mengalirkan kebijaksanaan Ilahi.

Apa prakondisi agar semuanya bisa terjadi?

Kuncinya hening.

Bagaimana pikiran bisa terhubung terus dengan Rasa Sejati?

Pikiran jangan dibawa melamun, yakni mengingat masa lalu atau membayangkan masa depan. Pikiran dibawa sepenuhnya pada kesadaran perangkat sensorik saat ini dan di sini. Setiap detik perangkat sensorik kita pasti menyentuh realitas. Contohnya kaki menyentuh tanah atau hidung merasakan sirkulasi udara. Pikiran itu dibawa untuk fokus pada apa yang kita rasakan sekarang.

Meditasi adalah membawa perhatian kita untuk selalu ada dalam kondisi kekinian sehingga kita sadar pada apa yang kita rasakan. Misalnya, meditasi asap suci. Anda benar-benar merasakan nikmatnya asap rokok. Meditasi kuliner, Anda benar-benar merasakan kelezatan makanan yang Anda makan.

Jika pikiran dibawa pada kondisi kekinian, maka kita tidak ada susahnya, kecuali jika Anda melamun. Mulai berpikir yang tidak-tidak dari masa lalu atau masa depan. Padahal dipikir atau tidak dipikir juga tidak mengubah kondisi dan keadaan. Hening adalah melampaui tarikan masa lalu dan masa depan, hanya menikmati momen kekinian.

Cara hening yang mudah adalah menggeser fokus. Mulailah fokus pada rasa sensorik, lalu ke Rasa Sejati. Yang dimaksud rasa bukanlah emosi. Emosi merupakan produk pikiran, mood. Itu yang dikenal dengan baperan (terbawa perasaan), yakni senang, sedih, atau susah.

Fokus pada rasa adalah sense. Seperti, mencium wewangian, merasakan kelembutan, merasakan kesejukan, merasakan aliran nafas, dan lainnya. Merasakan adalah kunci keheningan. Jika sepanjang waktu kita memperhatikan sensorik, kita sadar bahwa hidup adalah anugerah. Yang ada hanya rasa berterima kasih. Itulah yang memunculkan keterhubungan dengan Rasa Sejati.

Saat manusia hidup dengan egonya, maka segala tindakannya pasti keliru. Tindakan yang keliru berdampak pada tubuh emosi, energi, karma, dan pengetahuan. Keterhubungan dengan Diri Sejati mampu membereskan segala keruwetan ego. Melalui meditasi, kita dimurnikan, kita kembali kepada cahaya yang Agung.

Akar penderitaan manusia itu sibuk berpikir. Sibuk berpikir membuka kehidupan neraka. Ketidakheningan membuat Anda mudah berkonflik dengan orang lain, kecewa pada diri sendiri, atau melangkah dengan resiko yang umpan baliknya keliru.

Jika emosi adalah produk pikiran, mengapa sakitnya di sini (pusat hati)?

Emosi dirasakan oleh jiwa, bukan tubuh. Tubuh hanya menjadi wahana emosi terbentuk. Jiwa ada di dalam tubuh fisik. Tubuh fisik punya otak, panca indera, dan sistem kelenjar. Sistem kelenjar bekerja menghasilkan horman. Pikiran bekerja berdasarkan apa yang didengar dan dilihat akan memunculkan persepsi. Jika yang muncul persepsi destrukstif, maka menghasilkan horman kortisol, kepedihan.

Misalnya, kita tidak sengaja mendengar orang lain menyebut nama kita dengan kalimat yang tidak utuh, “Si Kaka itu….”

Pikiran memang tidak mengerti, tapi pikiran senang berasumsi. Jika pikiran itu muncul, maka akan memicu kelenjar yang menghasilkan hormon kortisol. Dari pikiran tersebut muncullah emosi. Si Jiwa yang merasakannya. Pusat kesadaran jiwa ada di pusat hati. Sebab itu, “sakitnya di sini”.

Lucunya obat dari rasa sakit itu ada di sini juga, di dalam pusat hati. Supaya bisa menjangkau obat tersebut, maka jangan terlalu banyak berpikir. Terlalu banyak berpikir tandanya terlalu banyak sampah, yakni sampah kebencian atau sampah sakit hati. Akhirnya, susah terhubung kepada Yang Ilahi yang bersemayam di dalam diri. Lewat meditasilah, semua ditata dan diselaraskan. Semua mengalami proses diri ditransformasi seutuhnya.

 

*Disarikan dari Workshop Total Human Transformation
Setyo Hajar Dewantoro
Blitar, 9 Agustus 2020

 

Share:
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda