
Pagi ini terpantik dari jurnal salah satu teman seperjalanan yang isinya cukup reflektif dalam mengungkapkan pemahaman Ajaran Spiritual Murni SHD melalui artikel materi belajar yang ada di website Persaudaraan Matahari.
“Baru ngeh bentuk menyiksa diri (emosi–mental–fisik) dengan membiarkan para sigel pesta-pora mempengaruhi pola pikir dan gejolak emosi. Baru nyadar (kembali) kalau kebanyakan memilih untuk mengikuti hasrat egoistik itu bentuk kekejaman dan pengrusakan terhadap diri sendiri. Dengan ketidakmauan untuk hening, ketidakmauan untuk memilih yang tepat, ketidakmauan untuk stop dan meditasi dulu, kesemuanya ini merusak diri. Mana self-care-nya? Self-care bukan sekadar pergi ke salon untuk creambatch, manicure, pedicure. Bukan sekadar pakai skincare perawatan wajah dan kulit sekujur tubuh. Bukan sekadar pakai shampoo, conditioner, hair mask untuk merawat rambut. Bukan sekadar hal-hal yang kelihatan di fisik, tapi juga hal-hal nonfisik yang ada di ‘dalam diri’. Yang kesemuanya bisa dilakukan. Tahu apa yang mesti dilakukan – kalau saja mau bermeditasi. Makanya meditasi Spiritual Murni SHD disebut ‘Tongkat Ajaib’ oleh Mbak Ay.”
~ begitulah cuplikan jurnal yang membuat saya jadi ikutan berefleksi.
Sebenarnya saya sudah pernah berefleksi tentang meditasi/hening pemurnian jiwa Spiritual Murni SHD dan korelasinya dengan self-compassion. Tetapi saya memang hobi refleksi, setiap jurnal yang disampaikan oleh teman belajar pasti saya refleksikan kembali terlebih dahulu sebelum saya berikan respons yang relevan.
Dan, gara-gara paragraf tadi, saya jadi ingat betapa zaman dulu selalu melarikan diri dari kekusutan dinamika kehidupan sehari-hari, dengan cara yang dianggap paling ekonomis dan bisa dilakukan sesering mungkin, yaitu dengan olahraga atau memanjakan diri pergi ke salon. Di umur yang lebih muda, sering sekali lari ke bar terdekat untuk happy-hour dalam rangka meringankan kepenatan dan stres akibat pekerjaan kantor. Namun, kemudian dianggap kurang efektif karena menyebabkan kepala serasa digelayuti konde keesokan harinya.
Menikmati hobi lain pun tidak selalu dapat menjadi wahana pelarian yang dianggap menyembuhkan (healing) karena selalu berakhir dengan obsesi dan kekusutan baru.
Misalnya, hobi dengan tanaman hias, kemudian malah menimbulkan obsesi untuk membeli lebih banyak tanaman hias dan membuat isi dompet sirna tanpa kasih murni. Sama halnya dengan liburan ke destinasi cantik dan belanja cantik pemuas ego semata karena bukan kebutuhan primer. Bagi saya keduanya tidak termasuk kategori wahana pelarian dalam rangka penyembuhan (healing), karena dengan keterbatasan finansial malah berpotensi membuat hidup makin kusut.
Apabila menilik ribuan metode pengembangan diri maupun penyembuhan (healing) yang ditawarkan di dunia wellness, akan ditemukan beragam tip dan solusi parsial seperti praktik self-care, self-compassion, menguasai self-discipline, menjaga pikiran yang positif, mengembangkan kecerdasan emosi, meningkatkan self-awareness dan mindfulness. Setiap metode ditelaah satu persatu dan dipecah lagi menjadi banyak bagian, untuk dikonsumsi sesuai minat dan kebutuhan.
Dalam Spiritual Murni SHD, semua tip dan solusi itu bisa didapatkan melalui satu jalan pintas yang tidak memberikan hasil instan, yaitu meditasi/hening pemurnian jiwa Spiritual Murni SHD.
Bagi saya meditasi/hening pemurnian jiwa Spiritual Murni SHD merupakan jalan pintas, karena menyederhanakan banyak teori dan tawaran solusi. Saya tidak perlu sibuk belanja ribuan metode pengembangan diri. Cukup satu metode yang ringkes, simple, focus, holistik dan tentu hemat.
Saya sebut sebagai jalan pintas karena tidak perlu sibuk ke salon memanjakan diri sebagai bentuk self-care dan self-compassion, tidak perlu lagi sibuk melarikan diri dari dinamika kehidupan di keseharian karena apa pun bentuk dinamika kehidupan, dapat dihadapi dengan ‘Sukacita’ dan ‘Rasa Syukur yang Tulus’.
Tidak perlu liburan cantik hanya untuk ‘Living La Dolce Vita’, tetapi mampu menciptakan surga dan kedamaian yang konstan di dalam diri sehingga mampu Living La Dolce Vita dalam situasi apa pun, baik yang menyenangkan maupun yang tidak sesuai kehendak ego.
Tetapi, masalahnya memang tidak bisa memberikan hasil yang instan, karena jalan pintas ini berupa proses yang paling holistik alias menyeluruh, tidak hanya pada tataran fisik dan mental/pikiran saja.
Proses pembersihan yang menyeluruh, digosok sampai kinclong di seluruh lapisan kesadaran (conscious mind, subconscious mind, unconscious mind). Jalan pintas ini membutuhkan latihan dan jam terbang agar menjadi ahli dalam memperhatikan nafas natural sepanjang hari dan membuahkan transformasi dengan membersihkan/memurnikan (purify) dari segala bentuk kotoran jiwa raganya terlebih dahulu. Benih Ilahi yang tadinya bantet susah bertumbuh karena kebanyakan tumpukan sisi gelap (shadows), menjadi bertumbuh setelah tumpukan sisi gelap (shadows)-nya lenyap terlebur oleh energi kasih murni yang didapatkan melalui meditasi/hening pemurnian jiwa Spiritual Murni SHD.
Meditasi/hening pemurnian jiwa Spiritual Murni SHD merupakan jalan pintas agar menjadi ahli dalam self-care, self-compassion, self-discipline, self-awareness dan mindfulness, sekaligus dalam satu bentuk latihan. Dengan meningkatkan keahlian mengelola diri (self-mastery) melalui meditasi/hening pemurnian jiwa Spiritual Murni SHD, memberikan dampak kepada peningkatan semua kategori kecerdasan, termasuk kecerdasan emosi – yang saat ini menjadi primadona di tengah budaya kesehatan mental.
Praktik self-care yang holistik bukan hanya tentang kesehatan rambut, kulit, dan kuku saja, tetapi menyeluruh termasuk kesehatan emosi, kesehatan mental atau pikiran, dan kesehatan jiwa. Kesehatan mental dan jiwa akan berimbas kepada kesehatan tubuh fisik, termasuk kesehatan rambut, kulit dan kuku.
Bagaimana dengan dirimu, masih kesulitan mencari cara untuk memperhatikan dan menyayangi diri sendiri? Cobalah dengan mulai memperhatikan nafas naturalmu sendiri sepanjang hari.
“Perhatikan dan nikmati nafasmu, jangan biarkan berlalu begitu saja.” ~ SHD
Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
18 Februari 2025
Setelah menyimak wedaran, saya termenung. Mencoba menggali dan bercermin ke dalam diri.
Refleksi mode on.
Dulu saya mengira bahwa mengasihi diri itu cuma kalimat indah kayak di poster motivasinya Mario Teguh atau Andri Wongso. Ternyata, kalau benar-benar dipraktikkan, bisa lumayan wow. Ajaib. Luka yang bisa bikin nangis berhari-hari bisa diubah jadi pelajaran berharga.
Saya tipe orang yang gampang sakit hati. Sedikit-sedikit baper, salah paham dikit langsung bikin drama internal. Rasanya kayak punya sensor super sensitif. Ada nada suara agak tinggi dikit, langsung diolah jadi, “Wah, dia nggak suka gue, nih…!”
Rasanya kayak punya radar hati edisi KW, sinyalnya lemot, tapi over reaksi. Kalau ada lomba meratapi nasib, mungkin saya udah langganan juara.
Terus-terusan main di panggung drama kayak gitu ternyata nggak bikin hidup jadi keren. Saya sendiri malah capek. Nyadar, “Oh, kuncinya bukan nyalahin orang lain toh, tapi mulai belajar mengasihi diri sendiri dulu.”
Ternyata mengasihi diri itu kayak punya kaca pembesar yang sehat, ya. Luka nggak lagi dipandang sebagai aib, tapi sebagai tanda perjalanan. Rendah diri nggak jadi alasan berhenti, tapi bisa dijadikan bahan bakar buat maju.
Saya juga harus bisa menerima luka dan rasa rendah diri ini biar semakin terasa bahwa hidup nggak segelap bayangan. Kayak film komedi satir. Kadang perih, tapi kalau ditonton lagi bisa bikin ketawa. “Ya ampun, mosok gara-gara chat nggak dibales aja bisa overthinking semaleman.” Lebay banget.
🎶 Perjalanan ini, terasa sangat menyedihkan…🎶
Ebiet G. Ade mode on nya perlu ditinggalkan.
Nggak usah buru-buru keren, cukup konsisten belajar. Toh, nggak ada juga yang tiap hari ngitungin langkah saya selain diri saya sendiri.
Saya juga sering minderan kalau lihat orang lain sukses. Rasanya pengen ngegulung diri pake selimut, terus pura-pura nggak ada di dunia. Padahal, dunia ‘kan juga nggak sempat nyariin saya, ya..!
Kayaknya saya harus mulai nyoba belajar, “Oke, saya memang masih jauh, tapi siapa tahu justru dengan belajar mengasihi diri ini, saya bisa lebih kuat.”
Mengasihi diri sendiri ternyata juga nggak melulu soal self-care ala spa mahal ya. Ternyata itu cuma sesederhana bilang ke diri sendiri, “Hei, kamu nggak seburuk yang kamu pikirkan.” Walau kadang, suara di baliknya suka nyaut, “Ya, tapi jangan ge-er juga..!”
Saya memang masih banyak bolongnya. Masih suka kesel, masih baperan, kadang sok tahu, kadang rendah diri, kadang males ngapa-ngapain.
Tapi setidaknya, dari sini saya coba belajar melihat bahwa semua kekacauan itu nggak harus jadi beban. Belajar untuk bisa mensyukuri semua kekurangan saya. Kalau diterima dengan kasih, justru bisa jadi kekuatan.
Memang mulai belajar mengasihi diri sendiri itu nggak langsung bikin hidup bebas drama. Cukuplah drama yang ada, bisa berubah jadi komedi reflektif.
Walaupun hidup saya masih kayak sinetron striping. Alur nggak jelas, pemain suka ganti-ganti, ending-nya belum ketahuan. Sekarang saya coba belajar bisa lebih santai nontonnya.
Minimal sekarang belajar nggak ngeluh, ngedumel lagi, paling cuma ketawa sambil ngetik “wkwkwk..” walau hati masih agak nyesek dikit. Ini sepertinya cukup bikin hidup terasa lebih ringan untuk dijalani.
Terima kasih, Mas Guru dan Mak Ay yang tetap tulus ngasihi saya yang masih aja suka ngeluh dan ngayal gak jelas, tapi diam-diam ngarep naik level.
Akhir kata,
Lagi hujan enaknya makan soto babat,
Kuah panas, panasnya bikin keringetan.
[Cakeppp….! ]
Kalau nunggu orang lain buat kita hebat,
Yaaahh kelamaan…
Mending sayangi diri biar jadi kekuatan.!
Reaksi Anda: