Skip to main content
Refleksi

SPIRITUAL MURNI SHD DAN PEMBENTUKAN KARAKTER

21 April 2025 Persaudaraan Matahari No Comments

Beberapa tahun mendampingi proses belajar ‘Spiritual Murni SHD para anggota komunitas Persaudaraan Matahari (PM), terasa sekali kompleksitas pola berpikir dan perilaku teman-teman dalam menyikapi teknik meditasi/hening dan ‘Proses Pemurnian Jiwa Spiritual Murni SHD.

Sejak zaman dahulu saya kenal Spiritual Murni SHD, teknik meditasi/heningnya sih sama persis tidak ada yang berubah. Tetapi, suasana belajar mendadak berubah menjadi semakin serius dan penuh drama ketika cakupan objek pembersihan (pemurnian) semakin masuk ke lapisan terdalam sehingga area pembersihan pun semakin luas dan holistik. 

Hal ini menyebabkan syarat dan ketentuan akan variabel teknisnya pun semakin banyak dengan toleransi yang semakin minim. Semakin mendalam dan luas area cakupan pemurnian jiwa Spiritual Murni SHD, maka tidak ada lagi ruang persembunyian bagi ‘Sisi Gelap‘ (shadows).

Ajaran Spiritual Murni SHD yang selaras dengan hukum Kosmik ini, tadinya diprediksi mudah untuk diaplikasi oleh umat manusia. Asalkan tekun dan konsisten ‘Bermeditasi/hening dengan Teknik yang Tepat, maka ‘Proses Pemurnian Mental Jiwa Raga akan berjalan. Manusia akan menjadi murni karena bersih dari ‘Sisi Gelap‘ (shadows), hidup penuh keselamatan dan jiwa pun berevolusi. 

Kalau dibuat flow diagram,Fase Belajar akan tampak sebagai proses yang sederhana, singkat dan cepat sampai tujuan. Rumus langitan yang sederhana bahwa dengan jiwa yang bersih dari sisi gelap (shadows), akan membuahkan pola berpikir yang bersih dari sisi gelap (shadows). Pola berpikir yang bersih dari sisi gelap (shadows), akan menciptakan ‘Medan Energi Diri yang selaras, menciptakan habit yang sehat dan konstruktif dan membentuk karakter kuat (strong character traits) yang selaras bagi ‘Evolusi Jiwa.

Tetapi, kenyataannya tidak semudah itu, Ferguso.

Tongkat Sihir yang dipakai sebagai alat membersihkan diri dari kotoran mental jiwa raga ini tidak bisa begitu saja didayaguna tanpa sikap yang tepat. Kesaktian tongkat sihir untuk melebur sisi gelap hanya akan bekerja secara efektif apabila syarat dan ketentuan hukum Semestanya bisa dipenuhi.

Hasil pengamatan kami, yang menjadi faktor keberhasilan belajar Spiritual Murni SHD termasuk menjadi ahli bermeditasi/hening pemurnian jiwa  adalah kepemilikan karakter dominan yang tepat, walaupun intensitas masih minimum. Misalnya, sudah memiliki ketulusan dan ketangguhan walaupun masih minim, sudah memiliki kerendahan hati walaupun perlu diasah sampai potensi maksimumnya, dan seterusnya sehingga bisa menjadi modal yang memadai bagi kelancaran proses belajar.

Bagi kepemilikan karakter kuat yang masih di area abu-abu, antara ada dan tiada, buram tersamarkan oleh tebalnya sisi gelap (shadows), maka membutuhkan meditasi/hening pemurnian jiwa dengan jumlah banyak (pastikan tekniknya tepat, ya) yang disertai dengan berlatih memilih sikap yang tepat di keseharian apabila benar-benar ingin mentransformasi diri dan ‘Mengubah Nasib

Sering bermeditasi/hening saja (ternyata) tidak cukup untuk memberantas kompleksitas pola pikir dan perilaku yang tidak selaras sebagai cerminan dari koleksi sisi gelap (shadows) dalam diri. Tanpa memilih sikap yang tepat maka karakter kuat yang selaras tidak akan terbentuk, aplikasi ajaran pun tidak akan stabil berjalan. 

Tanpa memilih sikap yang tepat, seperti berkomitmen dalam kesungguhan untuk memperbaiki diri, tanpa berupaya membangun ketulusan dalam mengaplikasi ajaran, tanpa ketepatan akan niat belajar, tanpa ketangguhan, tanpa kemauan untuk tekun dan konsisten berlatih, serta tanpa kerendahan hati untuk beradaptasi dalam ‘perubahancara belajar, maka proses belajar menjadi penuh hambatan, penuh gejolak, penuh pemberontakan, dan penuh ‘Drama Tanpa Akhir. Lalu, kapanlah karakter kuat itu akan terbentuk?

Berlatih memilih sikap yang tepat di keseharian menggunakan akal yang sehat, akan mempengaruhi pembentukan karakter, sekaligus membantu proses belajar meditasi/hening pemurnian jiwa. Dan, sebaliknya dengan tekun dan konsisten berlatih meditasi/hening pemurnian jiwa, akan membuahkan ketepatan perilaku di keseharian dan membangun karakter kuat yang selaras. Dalam proses pemurnian mental jiwa raga, baik habit bermeditasi/hening dengan ‘Teknik yang Tepat, pemilihan sikap yang tepat, dan pembentukan karakter kuat yang selaras adalah saling terkait erat dan mempengaruhi satu sama lain, tidak bisa dipisahkan.

Bukan rahasia lagi bahwa memiliki karakter yang kuat dan selaras, merupakan landasan yang kokoh bagi keberlangsungan kehidupan manusia di Planet Bumi. Tidak terkecuali bagi proses membersihkan mental jiwa raga dan proses sang jiwa berevolusi. 

Seluruh karakter kuat yang selaras, seperti ‘Ketulusan, ‘Integritas, ‘Kerendahan Hati’ (humility), ‘Ketangguhan, dan ‘Kesungguhan dapat diciptakan dengan berlatih memilih sikap yang tepat dalam menjalankan kehidupan di keseharian.

Contohnya, ketika ingat untuk bermeditasi/hening pemurnian jiwa di tengah aktivitas, maka pilihlah sikap yang tepat, yaitu segera lakukan meditasi/hening pemurnian jiwa. Atau ketika sudah mengerti bahwa bermeditasi/hening yang berdampak memurnikan jiwa adalah dengan teknik Spiritual Murni SHD, maka pilihlah sikap untuk meninggalkan cara lama walaupun dianggap lebih nyaman, dan berlatihlah dengan teknik yang diajarkan.

Bisa juga dengan banyak berlatih membuat keputusan penting secara mandiri dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil, terutama dalam situasi yang paling membingungkan dan tidak menyenangkan untuk membentuk karakter manusia yang penuh tanggung jawab, tangguh, dan berintegritas.

Yang saya alami dan saksikan, pembentukan karakter kuat yang optimal, stabil, dan permanen, hanya bisa tercipta dengan cara memurnikan mental jiwa raga dari sisi gelap (shadows). Melalui proses pemurnian jiwa, karakter kuat yang selaras akan mencapai titik optimalnya karena tidak lagi terganggu oleh koleksi sisi gelap (shadows). 

Tanpa proses pemurnian jiwa, maka pembentukan karakter yang dilakukan tidak akan pernah mencapai titik optimalnya dan tidak akan pernah stabil permanen, karena selalu terhalangi kembali oleh koleksi sisi gelap (shadows) yang belum dibersihkan. 

Contohnya, seseorang bisa menjadi sangat disiplin ketika mengerjakan pekerjaan yang disukai saja karena ada dampak citra baik yang akan didapatkan. Namun, ketika mengerjakan pekerjaan yang dianggap tidak memberikan citra baik, maka menjadi malas. Karakter kuat berupa disiplin tercipta dengan landasan hasrat egoistik dan bukan atas dasar ketulusan, dan berpotensi berkembang menjadi manipulatif, mencari aman, pandai berkelit dengan 1001 alasan, dan berusaha merekonstruksi agar orang lain yang mengerjakan.

Karakter kuat yang selaras hanya bisa diciptakan dan ditingkatkan melalui pembelajaran dan perbaikan yang tiada henti (continuous learning and improvements). Karakter kuat yang selaras, hanya akan berkualitas mentok optimal dan permanen apabila sisi gelap (shadows) dibersihkan dulu melalui proses pemurnian jiwa.

 

Ay Pieta
Pamomong dan Direktur Persaudaraan Matahari
20 April 2025

Testimoni
Imron Halim

Perubahan sikap apakah pertanda proses pemurnian jiwa berjalan?

Belum tentu. Sikap yang dilandasi hasrat egoistik akan justru memperkeruh jiwa dan mendegradasi kesadaran. Sikap yang tepat selaras dengan hukum Semesta akan berdampak pada kestabilan kesadaran. Pemurnian jiwa terjadi jika sikap yang tepat dilandasi laku meditatif yang tepat (hening metode Spiritual Murni SHD), laku hening yg dilakukan dengan tulus, sungguh-sungguh dan konsisten akan melebur kekeruhan yang kadung ada dan memunculkan kewaspadaan untuk bersikap semakin lebih tepat, sehingga terjadi proses akselerasi pemurnian  jiwa.

Contoh yang saya alami, ketika secara kognisi mengerti sebuah tujuan Agung dari aksi berkegiatan, namun saya sedang tidak hening pada akhirnya memicu sikap malas, prasangka, dan sigel lainnya.  Ketika sedang bisa rileks dan ada upaya hening formal maupun informal, bisa bersikap spontan siap menjalankan dengan sepenuh hati.

Maturnuwun.

R Virine Tresna Sundari

Menurut saya not necessarily proses pemurnian jiwa itu sudah berjalan kalau terjadi perubahan sikap. Bisa sudah, bisa belum. 

Tapi kalau proses pemurnian jiwa sudah terjadi, mustinya perubahan sikap itu akan otomatis terjadi karena kalau sudah murni jiwanya kan sudah bisa mendengar petunjuk Gusti. Jadi, pikiran, ucapan, dan tindakan seharusnya akan selaras. 

Perubahan sikap dalam pemahaman saya bisa saja terjadi karena adanya pemahaman ajaran secara kognitif. Ketika kita sudah sering mendengarkan wedaran, baik secara live dari webinar, dari Youtube atau membaca buku dan tulisan-tulisan Mas Guru dan Mbak Ay, pemahaman ajaran bisa terjadi di tataran kognitif dulu sehingga itu memicu perubahan sikap. Dalam case saya, dengan kualitas hening formal maupun informal yang belum ajeg,  akhir-akhir ini masih di level 4%-an untuk formal, by theory pemurnian jiwa atau peleburan sigel kemungkinan kecil terjadi. Tapi, dalam beberapa hal saya memperhatikan ada perubahan sikap yang terjadi. 

Misalnya, dulu sebelum masuk Persaudaraan Matahari (PM) tahun 2020 ada market crash gegara kopit. Dulu itu sempat yang stres berat karena kekhawatiran yang berlebihan sampai sempat kepikiran mau isdet aja (knock on wood now), walaupun pas ada di lowest point berhasil bisa turn around dan berbalik pasrah dan optimistik sehingga malah bisa thriving di situasi krisis saat itu. Sekarang ketika Bulan Februari, Maret kemarin kejadian lagi market crash, seperti zaman kopit, saya perhatikan di diri saya nggak ada situasi stres berat seperti dulu lagi, walaupun memang sempat muncul kekhawatiran beberapa kali dan coba menganalisis worst case scenario, ya udah jadinya pasrah aja jalanin, nggak pake frustasi kayak dulu. 

Sikap ini diambil karena ya memang berkali-kali Mas Guru dan Mbak Ay kan selalu bilang, kalau belum bisa mendengarkan apa kata Gusti, ya dipake aja akal sehatnya. Memangnya kalo duit hilang dengan stres – duit akan balik lagi. Ya gitu aja, sih. Terlepas dari mungkin juga ada pengaruh pas setiap mulai rasa-rasa khawatir muncul, ya, bawa medfor sebisanya dengan niatan untuk kembali bersyukur atas nafas dan hidup. Dengan memilih sikap untuk coba bersyukur, so far depresi seperti tahun 2020 nggak terjadi lagi.

Natalia Puri Handayani

Jawabannya, “Belum tentu.”

Sebelum saya mengenal ajaran Spiritual Murni SHD, belum tahu tentang konsep pemurnian jiwa, saya bisa melakukan perubahan sikap yang memperlihatkan kemajuan/lebih baik dari sebelumnya. Dasar perubahan sikap itu bisa dari ingin berbakti pada orang tua, ingin mencapai impian hidup yang lebih baik, aktualisasi diri agar diri ini bisa bermanfaat bagi sekitar dan orang lain. Setelah belajar Spiritual Murni SHD, ada pengertian baru, perubahan sikap juga bisa dilandasi oleh sisi gelap diri dan egoistik diri. Berbuat sesuatu karena pencitraan, pakewuh, ambisi dan kompetisi, yang menurut kaca mata orang pada umumnya, masuknya hal yang lumrah. Jadi, semua perubahan bisa terlihat baik dan bagus dari luar, tetapi ternyata tidak membawa pemurnian bagi jiwa. Malah menebalkan sisi gelap dan watak angkara. 

Pengalaman otentik terakhir sewaktu saya jalan sebar poster untuk acara wastra, hari pertama saya masih semangat, jalan ke lima sekolah. Namun hari kedua, mulai muncul ragu-ragu, kalkulasi di otak. Mengingat saat itu posisi peserta sudah 95 orang. Target peserta kami, biasa di 100. Di kepala terlintas pikiran, tidak perlu jalan lagi pun pasti terpenuhi ini target 100. Mulai merasa-rasa badan yang lelah sisa kemarin jalan seharian, lihat tangan yang belang gosong, rasanya nggak mau jalan aja. 

Kemudian saya meditasi sebelum berangkat, saya seperti dapat kekuatan untuk tetap lanjut jalan hari itu. Diingatkan tentang tujuan utamanya adalah misi perkumpulan, misi kembalikan bangsa ini kepada jati dirinya. Justru generasi muda yang harus banyak dijangkau. Lelah seperti hilang, nggak jadi malas-malasan lagi. Siapa sangka ternyata dua sekolah dari tiga tujuan saya pergi hari itu, ternyata datang ke acara wastra. Tanpa hening, mungkin saya bisa semangat, tapi nggak bertahan lama. Melempem kayak kerupuk. Dengan hening saya bisa lakukan lebih dari yang saya pikirkan. Minta ampun Gusti karena saya masih suka kalkulasi tanpa saya sadari.

Stefani Dwi Cahyani

Langkah pertamanya untuk perubahan sikap adalah kemauan untuk mengubah sikap pakai logika dulu dan mempraktikkannya. Tapi, sebuah perubahan sikap tidak bisa stabil jika tidak dilakukan dengan pemurnian jiwa. Dengan melakukan perbaikan sikap secara konsisten dan dilakukan dengan meditasi, sikap baru bisa benar-benar berubah secara otentik tanpa dipaksa atau dibuat-buat.

Pengalaman saya, contohnya ketidakmampuan bersyukur. Bertahun-tahun hidup dengan sikap ini. Baru belajar bersyukur setelah tahun kelima belajar Spiritual Murni SHD, paralel antara memperbaiki pola nalar dan belajar bersyukur lewat meditasi, baru saya akhirnya bisa lebih bersyukur dan menghargai anugerah yang nyata saya terima di keseharian.

Tanpa memilih untuk memperbaiki dan paralel dengan meditasi Spiritual Murni SHD ini tidak mungkin terjadi.

Saat saya tidak konsisten akhirnya sikap ketidakbersyukuran ini ada yang balik lagi, tapi dalam beberapa hal yang dulunya saya sering keluhkan, misal tentang relasi saya dengan orang-orang sekitar: suami, ortu walaupun kesadaran saya sedang merosot, tapi rasa bersyukur untuk hal ini tetap stabil dan tidak muncul keluhan-keluhan seperti dulu lagi. Ternyata, saat saya sharing dengan Mak, baru paham bahwa di bagian ini saya sudah lumayan ajeg.

Sikap bersyukur yang masih belum bisa ajeg adalah bersyukur atas napas, saat ini saya kesulitan lagi ketika bangun pagi merasakan bersyukur atas napas. Hal lain yang perlu saya perbaiki adalah sikap integritas, bertanggung jawab, dan tidak kekanak-kanakan dalam bekerja, masih otewe perbaiki untuk ini. Masih belum bisa stabil apalagi meditasi saya juga masih sering melorot akhir-akhir ini. Jadi, perubahan sikap dalam hal ini masih belum bisa stabil.

Jadi menurut saya, perubahan sikap bisa merupakan hasil dari pemurnian jiwa, tapi bisa juga tidak karena baru melangkah di logika saja belum meresap di kesadaran, jadi belum otentik.

Rika Efian Pratiwi

Perubahan sikap apakah tanda pemurnian jiwa berjalan?

Menurut saya, belum tentu.

Karena sebelum saya mengenal hening pemurnian jiwa dulu kalau marah emosi, ngeyel itu kadang meluap-luap. Makin tambah umur kok malu dan pakewuh, masa masih gitu juga, tapi dalam hati masih aja emosi – masih nggrundel juga. Jadi, perubahan sikap dari emosi yang meluap-luap, lalu menjadi lebih kalem ini, ternyata landasannya bukan jiwa yang semakin murni.

Setelah belajar hening, sampai di titik ini memang ada perubahan dalam diri saya dalam menghadapi sesuatu, seiring dengan apa yang bisa saya serap dan pelajari. Jadi, perubahan sikap belum tentu tanda pemurnian jiwa, akan tetapi semakin murni jiwanya tentu akan diikuti secara natural dengan perubahan sikap dalam keseharian.

Siti Haryani Chasana

Perubahan Karakter dan Pemurnian Jiwa

Membaca artikel Mak tentang perubahan sikap dan pemurnian jiwa raga, saya tentu merasakan ada perubahan sikap, banyak malah. Yang tadinya malas-malasan, sekarang jadi semangat bekerja. Yang tadinya pilih-pilih pekerjaan, sekarang jadi belajar untuk bisa dan mau mengerjakan apa pun selama saya memang bisa mengerjakan. Yang tadinya nggak tulus alias mengerjakan sesuatu biar a b c d , sekarang belajar berlatih tulus yakni mengerjakan dengan sesuai tujuan terbaiknya — misal, beberes agar bersih, indah, dan nyaman. Banyak hal yang terjadi pada diri saya. Namun, sayangnya perubahan itu belum begitu meresap ke kesadaran saya. Karena nyatanya, saya masih merasakan momen saya melakukan sesuatu karena takut, pakewuh, pencitraan, kesombongan, kemelekatan, dsb yang sering disebut dengan kelakuan berbasis sisi gelap.

Ya, saya setuju atas artikel Mak ini. Perubahan karakter yang kuat dan konstruktif ini akan bisa terjadi permanen dalam diri seiring dengan laku hening pemurnian jiwa yang tepat. Yang terjadi pada diri saya adalah ketidakajekan perubahan karakter alias belum permanen itu sebanding dengan laku hening saya yang kualitasnya belum memadai — belum bisa mencapai tahapan hening yang dimaksudkan agar efektif terjadi pemurnian jiwa. Latihan hening sehari-hari saya masih ada pikiran liarnya, kadang muncul ngantuknya, ketiduran, prasangka ini itu — belum sepenuhnya sadar penuh akan keberadaan napas. Di keseharian juga masih ada aja sigel-sigel yang muncul.

Rasanya memang penuh perjuangan ya aplikasi atas ajaran hening pemurnian jiwa. Secara teori bisa dihafalkan, tapi secara aplikasinya tidak semudah itu. Hanya praktik praktik praktik, terus berlatih hening di keseharian yang menjadikan kita bergerak maju, setapak demi setapak mencapai Rancangan AgungNya.

Niniek Pebriany Basri

Kalau berkaca ke diriku sendiri, perubahan sikap belum tentu terjadi karena proses pemurnian jiwa. Saya jadi inget, dari dulu selalu berusaha jadi “orang baik” sesuai konsep moral. Nah, sebetulnya ketika berusaha jadi orang baik ini, banyak hal yg ku-repress atau kuempet-umpet sehingga nggak muncul di permukaan. Misal, sereceh pura-pura manis nan permakluman padahal dalam hati udah gemes banget dan penuh ocehan. Banyak juga momen-momen pengen meledak marah, tapi kutahan karena konsep moral atau bahkan nggak mau merusak citra “orang baik” ini. lagi-lagi, kusimpan lagi luapan emosi itu ke tempat yang dalam. Kalau diintip, udah kayak TPA dekat rumahku kayaknya, haha, isinya gunungan sampah emosi yang bau banget.

Dulu, untuk bisa tetap “survive” menjadi “orang baik”, saya membaca buku-buku ala-ala Zen gitu dari Monk mana gitu — buku yang isinya kata-kata indah biar jadi reminder. Beberapa kali juga dengar semacam wedaran dari bhante-bhante di Youtube. Lalu, juga ditopang dengan harus sering-sering liburan dan harus liburan sendirian di tempat yang jauh dan asing. Wah ini baru ngeh, kenapa begitu? Karena saya capek banget pencitraan, capek banget hidup dalam konsep moral yang kubikin-bikin sendiri itu. Sekali-sekali pengen jadi diri apa adanya. (Di Persaudaraan Matahari (PM) baru tahu, oh “jadi diri apa adanya” harusnya bersifat permanen 🙈)

Jadi dulu, perubahan sikapku terjadi karena ada sigel-sigel penuh hasrat egoistik yang mendasarinya, sehingga perubahan sikapnya nggak awet karena tetap ruwet.

Belajar di PM, saya baru tahu kalau perubahan sikap itu ternyata bisa permanen bila jiwa sudah murni. Tapi sejujurnya itu jalan yang puanjang, terutama untukku yg heningnya empot-empotan. Dengan banyaknya bagasi sigel — lengkap dengan perilaku-perilaku nggak selarasnya, jadi penting untuk saya mengubah sikap sejak saat ini. Yang terjadi adalah saya harus berusaha mengubah sikap dulu, paralel latihan hening Spiritual Murni SHD, lalu hening ini perlahan akan meng-ajeg-kan perubahan sikap tadi.

Banyak sekali perubahan sikap itu yang mulai ber-progress, walau jalannya masih timik-timik. Ngeyel itu masih ada, tapi rasanya udah nggak se-guede dulu. Sekarang juga lebih jujur ke diri sendiri — dengan lebih ringan mengakui ke diri sendiri kalau saya nggak mampu, saya capek, saya kesal, dain lainnya. Pencitraan dan hasrat pengakuan diri masih tebal, masih jadi PR babonku yang memicu banyak sigel lainnya, seperti ambisi dan obsesi, tapi sekarang bisa lebih sadar untuk injek rem walau masih nabrak (dulu sih kayaknya udah tabrak lari 10 km baru nyadar, haha). 

PRnya masih sama: bisa konsisten mengubah sikap dan konsisten latihan hening tersebut. Nggak boleh PMS — baru konsisten seminggu, eh udah PMS lagi, ya ampun Nikkk tobat.

Poncoseno Wiguno

Bisa ya, bisa juga tidak.

Jika dilandasi dengan ketulusan dan laku hening yang tepat, maka sudah pasti akan diiringi dengan proses pemurnian jiwa. Tetapi, jika dilandasi dengan sigel dalam diri, baik disadari maupun tidak, tentunya proses pemurnian jiwa tidak akan berjalan dan bisa kebalikannya (jiwa bertambah keruh).

Pengalaman otentik sudah membuktikan berkali-kali. Misal, dulu saat di salah satu program pamomongan, saya kepingin perbanyak meditasi formal (medfor) karena kepingin cepat-cepat naik LoC-nya. Karena niatnya saja sudah keliru, maka hasil skor kualitas hening rata-rata saat tengah program pamomongan malah turun dibandingkan awal program, yang tentunya berimbas juga dengan penurunan LoC.

Lalu, pernah juga saat saya baru menjadi kader Pusaka Indonesia. Saya ingin aktif agar bisa menciptakan lingkaran malaikat dan mempermudah proses pemurnian jiwa. Tetapi, karena masih ada kesalahan niat yang terselubung, maka LoC saya stagnan lama. Nggak pernah tembus 200 sekali pun.

Terimakasih 🙏🙏

Ficky Yusrini

Jawabnya adalah, “Ya.” 

Pada saya berasa banget dalam hubungannya dengan pekerjaan (terima kasih atas kesempatan peran yang diberikan sehingga bisa menemukan bentuk nyata pembelajaran Spiritual Murni SHD di keseharian). Pembelajaran hening ini sangat nyata saya rasakan ketika dibukakan realitas bahwa skor kinerja saya sangat minim (hihi). Saya tidak mengerti akan tanggung jawab yang mengikuti peran. Sehari-hari tidak mampu memilih prioritas, panik dikejar kerjaan, merasa kekurangan waktu, lemot, ruwet, tidak teliti, tidak mampu berkomunikasi dengan tepat, tidak bisa memimpin diri sendiri, dan seterusnya. 

Connecting the dots, baru nyadar ternyata semua berkorelasi erat dengan sigel. Kalau dibongkar, di situ ada sigel ketidaktulusan, kesombongan, rendah diri, pakewuh, cari aman, pencitraan, drama, bucin, menganggap remeh, menunda, dan banyak lagi.

Ketika saya mau berusaha untuk memperbaiki itu semua, dengan sendirinya proses pemurnian berjalan. Sigel-sigel itu bisa saya proses sedikit demi sedikit. Dari sini saya baru mengerti, apa yang dimaksud Mak dengan memilih sikap yang tepat. Baru paham kenapa Mak selalu menekankan: clarity pada tujuan. 

Mulai dari memperbaiki niat, kesungguhan, semangat. Masih jauh dari totalitas, tapi setidaknya baru mengarahkan niat menuju ke sana.

Maria Dewi Natalia

Saling berkaitan hal mulai mengubah sikap dengan akal sehat dan hening. Pemurnian bisa berjalan perlahan. Pemurnian jiwa yang sudah berjalan, akan mendorong sikap-sikap yang selaras juga. 

Pengalaman Otentik 

Beberapa kali jeblos karena salah sendiri. Contoh otentiknya ketika saya ada di Level of Consciousness (LoC) 100. Saat itu yang dirasa ke-trigger, spaneng, ambisinya muncul, pencitraan, dan lain-lain. Walau hening, tapi banyak spanengnya, sikap yang dilakukan tetap medfor, bahkan jumlahnya sekalin banyak. Walau gampang merasa burnout, tapi kerjaan tetap saya lakukan. Apa pun itu berusaha mengubah sikap untuk nggak hanyut sama sigel yang banyak bermunculan. Dari perubahan sikap yang dilakukan secara berkelanjutan hampir 1 bulan lebih, yang awalnya semua dilakukan dengan berbasis sigel, makin lama pikiran kembali tertata, ketulusan kembali muncul sedikit demi sedikit. Rasa syukur menjalani prosesnya juga muncul tipis-tipis.

Perubahan sikap yang paling signifikan saya rasakan, yakni mulai berani mengutarakan pendapat, berani buat bertanya, berani mengutarakan ganjalan, yang selama ini susah sekali mengutarakan pendapat. Malas berkonflik, cari aman, dan nggak mau terlihat bodoh. Hal ini masih terus diperbaiki dan dilatih.

Cara merespons segala sesuatunya juga ikut berubah. Tidak fokus lagi ke luar menyalahkan keadaan atau mencari pembenaran. Fokusnya lebih ke dalam memperbaiki diri (mengoreksi diri) lebih menyadari segala sesuatu yang terjadi pasti ada sebab dan akibat.

Terima kasih.

Titya Cecilia Sumarsono

Perubahan sikap adalah pertanda proses pemurnian jiwa berjalan, menurutku berkaitan dan pararel juga.

Perubahan sikap aja tanpa dibarengi dengan tongkat ajaib hening, nggak akan beresin sigel, dan pada titik tertentu akan mandek/mentok perubahan sikapnya, karena masih ada basis luka batin atau sigel yang lainnya. 

Minimal jadi orang baik dengan koleksi luka batin.

Kayak yang sering dijelaskan Mbak Ay di kelas ALOC (Avalon Leadership Online Course) oleh lembaga The Avalon Consulting – kelas leadership-leadership training di luaran bisa membantu merubah sikap dan nalar untuk bisa jadi lebih baik, tapi pada titik tertentu akan mentok.

Dari pengalamanku sendiri, dulu sebelum belajar hening, selalu pengen jadi diri sendiri yang lebih baik, tapi karena nggak tahu caranya, cuma pakai cara-cara umum to work on myself ya udah pasti naik turun, hanya mengandalkan nalar dan remind my self aja buat jangan emosian, jangan begini jangan begitu. Tapi tools-nya kan belum diketemukan waktu itu buat overcome perilaku yang nggak selarasnya gimana.

Setelah belajar hening, juga ternyata nggak cukup hanya duduk medfor aja, tapi pas mata melek bubar jalan. Ketika hening ditambah niat untuk mengubah laku, bisa ada perubahan sikap yang lebih permanen dan nggak oyag-ayig kalau tanpa hening. Kalau dengan hening ditambah niat perubahan perilaku dalam keseharian itu yang udah-udah, beneran membantu untuk proses pemurnian jiwanya sehingga bisa bergerak maju. Hening itu seperti jadi remnya ketika muncul ujian praktik.

Sejauh ini yang paling ketara sejak belajar hening adalah udah less impulsive, udah nggak pernah sakit maag karena kecemasan yang berlebayan, dan seterusnya. Ketika muncul ujian praktik, bisa mengambil sikap yang tepat (termasuk perubahan sikap) untuk minimal ambil jeda dulu kalau belum bisa langsung meditasi formal. Jadi, dengan hening ya memang bisa mengubah perilaku karena sigel-sigel diproses, tapi nggak yang simsalabim juga, harus secara niat dan sadar buat berubah dalam keseharian.

I Made Diangga A. K.

Perubahan sikap merupakan salah satu penanda bahwa proses pemurnian jiwa berlangsung. Namun demikian, tidak semua perubahan sikap serta-merta artinya terjadi pemurnian jiwa.

Dari pengalaman saya bermeditasi selama ini, perubahan sikap yang terjadi:

  • Intensitas mengkhayal berkurang. Dulu sering banget kayaknya berimajinasi mikirin yang nggak-nggak, mikirin masa depan berlebihan, dan lainnya. Tapi, sekarang lebih bisa fokus dengan keadaan saat ini.
  • Lebih cepat sadar ketika mulai spaneng/kesel/baper. Dulu ketika banyak kerjaan, auto-spaneng, tapi sekarang spanengnya bisa terkelola sehingga nggak bikin stres sendiri. Dulu gampang banget emosian ketika jadi bahan guyon. Tapi, sekarang lebih bisa terkelola dan kalem.
  • Mulai tahu rasanya pentingnya bermeditasi, jadi nggak cuma gugurkan kewajiban. Setelah ngerasain ada yang nggak nyaman, baik secara fisik maupun emosi, langsung bawa diri ke meditasi dulu.

Tapi, ada beberapa perubahan juga yang terjadi di saya, yang kayaknya nggak ada hubungannya dengan pemurnian jiwa, seperti jadi gampang cepet lupa untuk hal-hal kecil dan lebih sering guyon atau bikin jokes receh.

Demikian

Fransisca Sicilia Evy Wijayawati

Perubahan sikap apakah pertanda proses pemurnian jiwa berjalan?

Perubahan sikap belum tentu pertanda proses pemurnian jiwa berjalan. Seperti, mengubah kebiasaan makan, dari malas olahraga menjadi rajin. Tujuannya lebih sering egoistik, demi pasangan, keluarga, atau karena FOMO.

Saya pun sebelum belajar spiritual murni, mencoba untuk melakukan perubahan sikap. Tapi tujuannya jelas egoistik, untuk pencitraan. Kelihatan keren kalau sebagai HR bisa ngasih contoh mengubah sikap dan perilaku. Padahal cuma di permukaan. Kemarin waktu saya bersih-bersih lemari, takjub juga nemu tulisan saya 14 halaman tentang berubah siapa takut? Isinya, ya jelas teori banget. Hambar.

Setelah belajar meditasi, perubahan sikap yang bisa saya rasakan ketika diajak ngobrol ngomongin orang, badan jadi nggak nyaman, saya memilih untuk diam atau nanggepin seperlunya. Kalau masih bablas, bisa cepat untuk stop. Kalau dulu, bisa larut ikut dalam obrolan.

Saya termasuk reaktif, apalagi ketika nyetir. Nggak suka ketika orang seenaknya nglanggar atau ngawur. Mulut bisa rem blong gas pol ngomel, saya pepet atau potong kendaraannya. Sangat nggak sabaran. Sekarang better. Ketika waras, merespons sesuatu memang menjadi lebih kalem. Kalau lagi mleyot, kebalikannya. Biasanya setelahnya badan nggak nyaman, sendawa brutal, hoek hoek. (biasanya ini pertanda penyelarasan sedang berjalan)

Marie Yosse Widi Hapsari

Perubahan sikap apakah pertanda proses pemurnian jiwa berjalan?

Jawabannya, meski ada korelasi tapi belum tentu proses pemurnian jiwanya berjalan terus kalau meditasinya tidak konsisten dan kualitasnya tidak memadai, Mbak.

Perubahan sikap yang paling kentara saya rasakan setelah sekian lamanya belajar meditasi ketika kemrungsung. Dulu kayaknya merasa hebat dan bangga gitu kalau kemrungsung

Punya persepsi bahwa kalau nggak kemrungsung sama dengan nggak ada gunanya hidup, demikian yg dimaktubkan ortu. Semuanya harus serba cepat, takut nggak kebagian katanya. Sekarang jadi lebih cepat nyadar kalau kemrungsung dan tahu harus segera stop karena selain nggak ada gunanya, kemrungsung juga menambah korslet saraf. Masih sering kecolongan kemrungsung sih, jadi cape sendiri dan merasa bersalah. Tanda heningnya tidak berjalan terus-menerus alias kendor. Manfaat yang sudah dirasakan jika bisa menyetop kemrungsung kepala jadi lebih enteng, lebih pasrah, kadang jadi dapat ide, mengurangi ngomel dan perselisihan dengan suami dan anak.

Perubahan lainnya, tidak bingung kalau harus nunggu dan diam, tahu harus inget dan merasakan menyadari napas. Mengurangi pikiran ngelamun ke mana-mana. Namun, masih sering kecolongan juga.

Terakhir yang dirasakan dalam minggu ini, bareng-bareng sakit yang mirip sama ibu. Memilih sikap untuk menikmati sakit dan pasrah, masih bersyukur bisa njejek tanah, bisa napas, pas anak libur juga. Sakit, tapi masih merasa beruntung dan bersyukur. Kalau sama ibu dulu seringnya balapan caper, minta dikasihani, mengutuki sakit dan pikiran sudah terlalu maju gimana kalau mati dan sebagainya. Saya berangsur pulih meski pelan-pelan banget, tapi ibu belum. Maaf bu, dulu saya pengen banget jauh dari ibu dan bapak, tapi sekarang pulkam udah santuy aja, cerita apa adanya, nggak takut lagi dinasihatin ina-inu, karena udah nggak ada lagi perasaan berat di dada, kuping bunyi, sakit kepala dan lainnya sewaktu dengerin ibu dan bapak.

Selain perubahan perilaku ke arah yang lebih baik, semakin ke sini juga dimunculkan sikap, pikiran, dan perilaku saya yang ampun deh – nggilani. Coreng-moreng, carut-marutnya diri ini masih terhanyut belum sampai pada perubahan perilaku: belum bisa ngatur waktu, ngelamun, ketiduran, sombong, pencitraan, egois, tidak tegas, cari aman, cemen, dan seterusnya.

Meski ada pengalaman, namun prosesnya tidak saya jalani dengan konsisten dan tekun, kebanyakan ngeyel, mau enaknya memenuhi apa yang enak menurut ego, kualitas heningnya pun tidak memadai karena masih mengandalkan pikiran dan tidak punya keimanan yang cukup padahal sudah merasakan sendiri manfaat berlatih meditasi yang benar. Inilah yang menghambat pemurnian jiwa. Mohon ampun, Ya Gusti.

Rochkus Suradi

Menurut saya belum tentu, bisa juga perubahan sikap karena alasan egoistik, bisa juga  karena masih memegang sikap ilusif, sedangkan proses pemurnian jiwa membawa perubahan peningkatan kesadaran hal cara berpikir, berkata, dan bertindak. 

Pengalaman saya ketika LoC  di bawah 200 akan ada beda sikapnya dengan LoC  di 400 (walau di-boosting). Evaluasi skor yang diberikan Guru SHD pun ada tanda perubahan/peningkatan lebih baik ketika kesadaran meningkat (waras). Misalnya saja skor kemelekatan, skor kepalsuan, skor kesombongan, skor kebucinan, skor cabul, dan lain-lain, 

dengan adanya peningkatan kesadaran tersebut secara bersamaan sikap saya berubah,  berarti tanda proses pemurnian jiwa berjalan. Masalahnya, di saya adalah belum menjalankan laku hening yang belum konsisten sehingga tingkat kesadaran naik-turun yang berimbas pada proses pemurnian jiwa dan berdampak pada sikap saya. 

Pengalaman, dulu ketika menghadapi dinamika keluarga, saya selalu reaktif, membela diri plus pake emosi, sekarang sudah berkurang.

Chandra

Perubahan sikap apakah tanda pemurnian jiwa berjalan? 

Belum tentu perubahan sikap itu pemurnian jiwa, kebanyakan sikap itu dipengaruhi egoistik. Sebaliknya, pemurnian jiwa pastinya sejalan, semua sikap mengikuti kasih murni . 

Saya pernah rasakan ketidakwarasan mengejar cuan, akhirnya saya dicuan sama orang. Nah, jadi bodoh. Kalau warasnya dulu finansial sudah kempes nggak tahu lagi mau cari di mana. Saya hening pasrah tiba-tiba ada ide datang cari bos kursi pangkas tawari produk. Akhirnya, saya hubungi dia dan dia mau ambil banyak, ajaibnya kok gampangnya dia mau dengan kesepakatan di mana dana yang ditransfer lumayan bisa bayar tagihan. Lucu ya kalau landasan ego pasti celaka. Betul yang dibilang Mas Guru semua, jangan ilusi dulu belum tentu akan terjadi waras aja keajaiban akan datang . 

Saya akui saat saya ini memang nggak waras, semua yang datang itu, ya pasti nggak selaras, ada aja masalah datang ini. Jadi, pelajaran begitu pentingnya menjalankan keheningan ini.

Eko Nugroho

Bila pertanyaannya adalah perubahan sikap apakah pertanda proses pemurnian jiwa berjalan, saya sepakat dengan jawaban: belum tentu. Perubahan sikap di sini diartikan sebagai tindakan empirik yang terlihat kasat mata (behaviour). Perubahan sikap yang lebih baik. Misalnya, menjadi rajin belajar belum tentu karena akibat pemurnian jiwa. Sering karena ambisi  egoistik untuk bisa menjadi juara kelas atau takut dimarahi orang tua. Tentu hal seperti ini tidak ada hubungan dengan pemurnian jiwa. 

Namun, pemurnian jiwa yang benar akan berpengaruh tidak hanya perubahan sikap (behaviour), tapi juga pikiran dan perkataan. Yang saya rasakan bila “waras”, maka pikiran, perkataan, dan perbuatan jadi lebih baik. Tidak mikir yang macam-macam, kata (atau tulisan) yang keluar lebih selaras dan tentunya sikap yang muncul juga berubah menjadi lebih baik. Yang tadinya mulai males nulis menjadi mendapat inspirasi baru dan semangat untuk menulis. 

Kalau lagi “tidak waras”, kalau ada tantangan jadi baper, sibuk berkhayal buruk yang belum terjadi dan seolah khayalan tersebut adalah kepastian. Kalau lagi “waras”, menghadapi tantangan baru juga menjadi lebih santai dan bisa diterima dengan lebih tulus. 

Walaupun sedang “kepepet” masalah finansial, betul kata Mas Guru, kalau “waras” jadi muncul ide-ide yang tadinya tidak terpikirkan. Kalau pintu tertutup di satu tempat akan muncul dari tempat lain. Kita hanya perlu tetap “waras” yang akan berakibat tindakan kita akan menjadi selaras (bukan selaras dengan keinginan kita, tapi selaras dengan yang kita butuhkan menurut Hukum Semesta). Tanpa kewarasan, kita akan menyalahkan diri dan dunia atas tantangan yang dihadapi. Being “waras” kita menjadi lebih bersemangat dan bersyukur menghadapi tantangan-tantangan yang muncul. 

Demikian pengalam saya.

Nenden Novianti Fathiastuti

Kalo yang saya alami, “Iya, Mbak.” 

Cara saya merespons sebuah peristiwa misalnya, menjadi berbeda karena proses pemurnian jiwa yang berjalan (meskipun masih pelan banget) melalui latihan meditasi ini, meskipun secara kualitas dan konsistensi belum stabil, tapi perbedaannya terasa cukup nyata.

Pengalaman otentik sebagai hasil latihan meditasi Spiritual Murni SHD yang saya rasakan cukup signifikan adalah proses recovery post the ugly divorce. Mbak Ay, Mas Guru dan beberapa teman pembelajar geng artefak cukup tahu kayak apa prosesnya 5 tahun lalu, dan sekarang saya bisa menjalani proses co-parenting dengan cukup smooth. Bisa ngobrol dengan santuy sama my ex itu, nitip bocah kalau pas ke Jakarta, antar ke rumahnya dan ketemu dengan tante pacarnya yang teman saya juga itu. Nggak pernah terlintas saya akan mampu sampai di titik ini kalau ndak belajar meditasi di PM ini. Saya juga mampu menyadari bahwa kontribusi kesalahan saya juga seabrek, dan dia juga sesungguhnya korban manipulatif saya. In my meditation, bahkan saya bisa minta maaf dengan tulus dan berterima kasih untuk semua yang pernah terjadi. Saya nggak akan ada di sini saat ini kalau nggak menikah dengan dia dan mengalami kehororan selama 9 tahun itu.. Buat saya ini adalah sebuah keajaiban yang nyata saya bisa seperti ini, secara saya manusia sangat pendendam sebetulnya.

Namun beyond that, saya sadar dan tahu diri bukan murid yang baik dan tekun dalam belajar keheningan ini, bebal banget saking terlalu lekatnya dengan mode pembelajaran akademik, yang jago ngafal tapi mentok di pemahaman kognitif aja, praktiknya zonk. Dan, ironisnya kebacut sombong karena merasa sudah bisa, hakdezig!

Bersyukur Semesta masih memberikan saya waktu dan kesempatan untuk memperbaiki diri, dengan segala dinamika kegoblokan saya yang naik turun di proses meniti tangga-tangga kesadaran ini, beberapa bulan terakhir ini saya diberikan wahana yang berbeda untuk belajar praktik Ajaran Spiritual Murni SHD. Wahana tersebut berupa sepetak tanah berukuran 4×4 meter persegi yang bernama Kebun Surgawi 33. 

Ketika pembelajaran selama lebih dari 5 tahun ini yang nyantol beneran hingga ke ranah praktik dan menjadi bagian dari perilaku cuma sekian persen, sekarang nyoh saya dikasih lapak belajar yang konkrit tiap hari depan mata, daaaaaan ternyata ini membuat saya jauh lebih mudeng. Oh, ini ternyata yang namanya ketulusan, merawat tanaman sepenuh hati, hasilnya gimana nggak bisa ngatur, pasrah aja lakukan yang terbaik.. berendah hati mengikuti arahan kapten KS, karena saya beneran nggak ngerti apa-apa soal pertanian, ketika selama ini belajar sama Mas Guru dan Mbak Ay, meski nggak disampaikan secara verbal, tapi ketika saya tidak menjalankan apa yang diajarkan dengan sungguh-sungguh, ‘kan sebenarnyalah saya itu ngeyel dan meremehkan yang tentu saja merupakan bentuk kesombongan. Hakdezig lagi!

Dari kebun mini ini juga saya belajar soal tekun, dan disiplin mengikuti aturan. Ada kalender Sigma Farming yang sudah dibuat setiap bulannya, kalau saya malas melakukan apa yang sudah dijadwalkan ‘kan tanamannya terlantar, nanti mati, nggak jadi kebun surgawi, dong… Wajib laporan juga tiap minggunya untuk catatan kegiatan harian yang kita lakukan di kebun, saya dipaksa disiplin mencatat proses, mendokumentasikan progress, mengamati dan meriset. Tiap bangun pagi sambil ngopi saya cek ricek kebun mini itu, liatin apa yang berbeda pagi ini, ada yang baru berbuah kah, ada daun kena hama kah, ada bunga baru muncul, tunas kecil yang ngintip-ngintip. Dari kebun ini saya jadi menghargai dan menikmati proses, saya juga rasanya lebih sabar dan bisa merasakan sukacita yang sederhana, orang lain yang lihat mungkin saya gila karena suka ngobrol sama pohon cabe, atau terong ha ha.. eh kamu betah nggak di kebunku?

Saya juga jadi banyak kontemplasi, kenapa selama ini rasanya susah banget belajar Spiritual Murni SHD buat saya, sehingga kuntet begini udah lebih dari lima tahun. Dan saya menemukan jawabannya di tulisan Mbak Ay “Change is inevitable”.. saya masih berkutat di tahap persiapan yang nggak kelar-kelar, masih berjuang mengubah pola pikir, mengubah cara meditasi/hening, mengubah sikap, mengubah gaya hidup, mengubah kebiasaan lama yang tidak konstruktif, ini aja nggak uwis-uwis rasanya.. kebongkar sini, dibetulin eh kebongkar lagi di sebelah sana, eh lebih banyak lagi yang kudu diberesin. Dan selama ini saya menggunakan mode bertahan, bertumbuh karena keterpaksaan, bukan dengan pemahaman, sehingga karena mode bertahan ini maka prosesnya jauh dari sukacita.

Dan ajaibnya dengan mengurus kebun ini, saya dipaksa mengubah pola pikir dan perilaku dalam banyak hal receh, dari yang jijik geli sama bekicot, akhirnya tiap pagi rajin ngumpulin bekicot dimasukkin ke tong kompos, takut sama hewan-hewan kecil melata, sekarang saya santai aja ngadepinnya, kaget bentaran aja tapi ya udah.. dulu main semprot pake baygon, gebuk, pites, sekarang ndak lagi – lihat-lihat dulu.. diajarin Novi kalau mereka juga bagian dari rantai makanan, ada di sekitar kita, ada gunanya. Dari kebun ini juga saya belajar sukacita yang sederhana, sekedar menikmati pagi sambil ngecekin kondisi mereka.. sehat apa ndak..panen cabe 5 biji, terong sebiji.. liat kacang panjang numbuh, bayem yang daunnya subur.. mensyukuri hal-hal kecil yg dulu ditengok aja ndak, sibuk tengadah ngelihat ke atas dan memimpikan hal yang ndak dipunya.. sementara esensi meditasi adalah mensyukuri nafasmu saat ini disini sebagai anugerah Tuhan kasihNya yang nyata dan diberikan tanpa batas dan diskriminasi..

Begitulah ternyata perjalanan belajar meditasi saya selama lima tahun itu baru beneran bisa napak, ngerti di tingkat praktik ketika akhirnya dipaksa nginjek tanah beneran.. menapakkan kaki membumi, berendah hati, mengosongkan gelas, mengasah ketulusan, merawat dengan sebaik-baiknya semampunya tanpa berharap hasilnya akan sesuai mauku (melebur ambisi), dan mensyukuri hal-hal sederhana serta menikmati prosesnya dengan sukacita, dari KS 33 ini. 

Maturnuwun Pusaka Indonesia dan tim SFA lucu juga ternyata saya lebih ngerti praktiknya belajar hening melalui berkebun ini, he he.

Nyoman Suwartha

Menurut pemahaman dan pengalaman otentik saya, belum tentu perubahan sikap adalah pertanda proses pemurnian jiwa berjalan. Namun sebaliknya, saat pemurnian jiwa sudah berjalan akan mendorong perubahan sikap yang lebih selaras.

Memang untuk sampai ke proses pemurnian jiwa berjalan di Spiritual Murni SHD ini, sudah tentu diperlukan perubahan sikap, perilaku keseharian dalam berpikir, berkata, dan bertindak dari sikap konvensional gembolan sejak kecil, remaja hingga dewasa yang sebagian besar masih ditunggangi hasrat ego menuju sikap yang lebih selaras. 

Misalnya dalam laku hening dengan mengubah sikap untuk menambah frekuensi medfor, meningkatkan durasi medfor, menjaga ketekunan dan konsistensi latihan.

Tapi perubahan sikap tersebut tidak akan menjamin proses pemurnian jiwa bisa berjalan kalau dalam praktiknya dilakukan dengan ambisi, obsesi, target harus segera murni jiwanya. Perubahan sikap yang dipaksakan ini jelas tanpa ketulusan niat dan kepasrahan dalam berproses, sehingga sudah pasti tidak akan berjalan pemurnian Jiwa.

Catatan berikutnya, ketika perubahan sikap dalam laku medfor yang sudah tulus dan pasrah pun harus dilihat kualitas heningnya apakah menunjukkan peningkatan signifikan atau malah stagnan di kualitas yang rendah?

Karena untuk terjadi purifikasi atau pemurnian jiwa mulai berjalan ada syarat dan ketentuan berlaku; yaitu kualitas hening minimal > 5% (makin besar kualitas hening tentu pemurnian jiwa berjalan lebih optimal).

Jadi perubahan sikap tahap awal ini, baru sebatas momen terbukanya gerbang menuju potensi pemurnian jiwa yang harus dijalani setiap prosesnya.

Ketika proses pemurnian jiwa sudah berjalan seiring dengan meningkatnya kualitas hening formal (dan informal), maka akan jadi pemicu dan pemacu terjadinya perubahan-perubahan sikap yang lain. Misalnya, melakukan perbuatan baik (menolong orang lain, membantu teman/saudara, berdonasi, dll) yang memang dilandasi kesadaran, bukan karena agar kelak gantian dibantu, atau karena mengejar karma baik dalam rangka terobsesi menciptakan lingkaran malaikat.

Perubahan sikap tahap lanjutan ini yang bisa jadi penanda bahwa pemurnian jiwa telah berjalan, dan akan makin terakselerasi ketika perubahan sikap tersebut semakin luas menjangkau dan mentransformasi cara berpikir, berkata dan bertindak.

Pande Made Oka Iriana

Ya, tegas saya nyatakan. Dalam laku hening Spiritual Murni SHD, mengubah sikap/mindset dengan tepat akan membantu proses pemurnian jiwa berjalan ke arah progresif.

Masalahnya ada pada saya yang belum konsisten menjalaninya, belum bisa ajeg hening, belum konsisten mengambil sikap yang tepat di saat ketemu sigel diri. Abai, menunda, tak sat-set secara spontan sebagai penyebab beranak-pinaknya ketidakselarasan yang dialami. Hal tersebut saya akui lantaran masih dilingkupi hasrat egoistik. Ampure Gusti yang Maha Agung.

Adalah nyata dengan kualitas hening saya dalam kurleb sebulan ini pada range 4-5%, kejernihan tak mencapai 100% (indikasi kekeruhan jiwa), terasa lemot, tak sat-set dalam bertindak, banyak terdistrak lamunan/pikiran liar, bahkan saat hening. Sungguh berbeda dengan saat mencicipi keheningan hampir 10% (bahkan sesekali > 10 %). 

Nah, kondisi ini yang saya cari dan tak dapat hingga saat ini, dan justru menjadi spaneng dan obsesif. Sungguh tidak mudah.

Tindakan laku hening (niatan diri) tetap tak kan saya surutkan dan kendor, walau terseok-seok di jalan Spiritual Murni SHD, saya hayati prosesnya untuk lebih natural tanpa pencitraan diri, berlatih apa adanya. Dan, tentu lebih spontan agar tak terpengaruh pikiran liar. Dan siap menerima segala risikonya.

Pasrah.

Terima kasih Gusti atas segala anugerahMU. Walau saya sering lupa atau kurang khusyuk dalam memohon pengampunan pada Gusti, namun tetap akan saya sadari dan berlatih kepekaan diri. Hal positif dengan indikasi kesadaran LoC ada kenaikan sikit 10 poin dari 190 —>200, adalah upaya saya bertahan dan tak mau mundur (no turning back) dari jalan Spiritual Murni SHD.

Berusaha menikmati proses cleansing diri.

Mekathen, Rahayu

Christin Winata

Perubahan sikap apakah tanda pemurnian jiwa berjalan?

Menurut saya ada korelasinya antara perubahan sikap dan pemurnian jiwa, perubahan sikap yang dilakukan dengan ketulusan dan continue bukan hanya situasional aja, ini masih jadi PR besar saya, masih suka on-off jadi pemurnian jiwanya juga mandek 🙏

perubahan sikap yg saya alami setelah belajar Spiritual Murni SHD yang paling saya rasakan itu adalah gejolak emosi. Kalau boleh pinjem istilahnya Mas Probo, dulu itu saya selalu gigi 4, nggak sesuai sama maunya saya langsung emosi meledak-ledak walaupun hanya sesaat itu saja setelahnya langsung adem dan itu ternyata menguras energi. Kalau habis marah tuh langsung mikir kenapa harus marah-marah, ya. Saya nambahin dosa karena bikin orang sakit hati, suka cocoklogi juga dengan astrologi – ‘kan saya bintangnya Leo, jadi kayak singa 🤣 mencari pembenaran atas kesalahan yang dibuat, duh benar-benar emang. Tapi sejak belajar Spiritual Murni SHD, mulai berkurang nggak pakai gigi empat walaupun masih muncul gemez, ini jadi PR saya buat diberesin.

Manipulatif demi pencitraan hal simpel sesimpel presensi pagi sebelum masuk kerja, ini dulu suka bikin saya galau saat telat 1 atau 2 menit di mesin absen, membuat saya suka berpikir keras mau absen apa pura-pura nggak absen karena pasti diabsenan sudah telat, demi pencitraan di penilaian akhir tahun. Dulu saya suka nggak absen ntar bilangnya mesin absenan error, tapi ini membuat noda lagi di tubuh saya karena udah bohong dan pasti dosa. Sekarang sejak belajar Spiritual Murni SHD, saya apa adanya aja, telat ya telat, nggak mau pusing dengan harus mencitrakan diri sebagai orang yang nggak pernah telat masuk kantor. Dan pastinya masih banyak PR saya yang harus diberesin dan pastinya dengan hening yang tulus dan berkelanjutan, bukan hening yg on-off. Terima kasih PR-nya Mbak Ay.

Gede Vernanda Satria Dita

PERUBAHAN SIKAP APAKAH PERTANDA PROSES PEMURNIAN JIWA BERJALAN?

Yang paling sering saya alami adalah perubahan sikap dalam merespons perkataan orang lain, paling sering teman kerja, yang membuat saya ter-trigger/tersinggung. Perkataan dalam berbagai levelnya mulai dari yang paling ringan yang ternyata adalah gaya bercanda Yang Bersangkutan (Ybs) memang seperti itu, ekspresi luka batin/tumpukan emosi merusak Ybs yang diluapkan ke saya sampai yang memang terdeteksi niatnya memang jahat dan benci pada saya sampai mengucapkan sesuatu. Dulu sebelum kenal Spiritual Murni SHD dan istilah pemurnian jiwa, mekanisme atau sikap dominan saya adalah fokus ingin mengubah orang lain yang membuat ter-trigger ini atau yang lebih parah lagi pikiran balas dendam yang itu hanya sebatas mengkhayalkan adegan-adegan gimana saya bisa membalas. Setelah praktik-praktik merespons dengan prosedur pemurnian jiwa ya jadi tertampar sendiri bahwa memang harusnya yang utama dilakukan adalah ngecek diri sendiri apa yang terjadi, apa kesalahan respons diri sendiri sehingga ter-trigger/tersinggung.

Mulai dari sini jadi ngerti, mudah atau nggaknya saya ter-trigger tergantung seberapa tebal luka batin/beban emosi merusak yang saya derita saat momen ter-trigger itu hadir, dan seberapa mau saya hening.

Lalu sempat momen yang mirip atau bahkan sama yang biasanya membuat saya ter-trigger hadir lagi dan saya tidak ter-trigger (memang belum selalu bisa seperti ini dan masih ada juga dimana momen/orang yang sama masih memunculkan gejolak ter-trigger yang berat).

Saat tidak ter-trigger ini biasanya saya sadar memang sedang tidak dalam kondisi terbebani oleh luka batin dan emosi merusak > akibat pemurnian jiwa mulai dari persepsi dan nalar saya pada kejadian dan orang yang dibenahi, luka batin mereda, kesombongan yang biasanya jadi bensin pemberontakan juga mereda. 

Dari pengalaman ini saya jadi bisa simpulkan bahwa tersinggung saya itu akibat tumpukan luka batin dan watak angkara yang belum dimurnikan, tapi kalau pemurnian sudah jalan, sikap-sikap tersinggung dan impulsif saat ter-trigger gini juga jadi bisa berubah, kayak bensinnya berkurang.

Sikap berendah hati dan tulus mengakui kesalahan juga bisa saya buktikan sebagai pertanda pemurnian jiwa berjalan. Kalau dulu sebelum kenal Spiritual Murni SHD dan istilah pemurnian jiwa, kalau bisa nggak usah ngaku salah sih udah paling aman buat saya.

Tadi siang ada pengalaman sebaliknya kalau sigel nggak diberesin sikap juga terpengaruh. Soal perilaku misuh. Tadi siang saya lagi nyiapin pakaian yang mau di-packing terus pas gantung satu pakaian meleset terus dan jatuh sampe ada tiga kali, meleset yang terakhir terasa gejolak emosi naik dan misuh dalam hati. Belakangan baru sadar ini misuh yang beneran pake hati dan tenaga untuk meluapkan emosi, capek, dan ngeluh. Emang beda rasanya dengan misuh karena kaget atau karena tercengang sama sesuatu yang itu spontan cuma di mulut aja.

Robertus Suprobo Jati

Menurut saya memang ada kaitannya, karena akal sehat pun masih bisa terdistraksi saat kita tidak murni jiwanya.

Pengalaman otentik

Perubahan sikap saat murni jiwanya, yang saya rasakan minimal berpikir panjang dan lebih banyak diam merenung dahulu saat menanggapi tantangan, bahkan permasalahan .. Tidak grusa-grusu atau buru-buru…

Saya bahkan tidak lagi merasa aneh saat harus diem dahulu menimbang suatu keputusan tanpa khawatir sikap orang lain yang menanti keputusan saya. “Jeda” menjadi salah satu bagian dari proses pengambilan keputusan, meski diakui saya masih harus terus melatih agar “jeda” tersebut menjadi semakin singkat, biar ga jadi kelamaan mikir, malah jadi kebanyakan distraksi. Memang tidak mudah…. 

Berbeda saat sedang ruwet, keputusan pun bisa terdistraksi pada sikap orang lain, meski belum clear benar tapi berani ambil keputusan hanya karena merasa harus segera menjawab, karena tidak mau dianggap lambat berpikir dan bodoh.

Muhammad Fathul Hadi

PERUBAHAN SIKAP APAKAH PERTANDA PROSES PEMURNIAN JIWA BERJALAN?

Menurut saya, betul, perubahan sikap merupakan pertanda proses pemurnian jiwa berjalan. 

Awal sebelum mengenal ajaran spiritual murni jelas pilihan sikap banyak yang salah, penuh ilusi, penuh angkara. Sesudah belajar ada kemajuan, termasuk bisa mengubah sikap dalam keseharian sekali pun dalam hal-hal receh membuang sampah.

Saat kesadaran menurun mempengaruhi pemahaman dan pilihan sikap saya. Pengalaman saya, saat kesadaran turun, pemurnian jiwa mandeg, maka saya abai dalam hierarki organisasi, mengabaikan perintah atasan. Ketika sikap diperbaiki sembari meminta pengampunan, maka proses pemurnian jiwa berjalan.

Hari ini saya memilih sikap untuk melanjutkan pekerjaan di Hutan Surgawi sampai besok untuk memasang pompa dan tes fungsinya, dengan risiko yang bisa saya ukur: diomelin istri. Dan benar, istri merasa keberatan dan protes di WA. Saya merasa proses pemurnian jiwa berjalan, sebab jika tidak, maka saya akan galau, hati tak tenang. Karena pemurnian jiwa berjalan, maka dapat memilih sikap yang tepat.

Ariyanti Dragona

Iya, perubahan sikap – apalagi kalau bisa permanen dan berkelanjutan – itu tanda kalau proses pemurnian jiwa berjalan. Hmm, lebih tepatnya mungkin jadi langkah awal/pintu gerbang proses pemurnian jiwa berjalan. Saking bebelnya, maka pintu masuk ‘perubahan sikap’ jadi salah satu opsi, soalnya disuruh meditasi saja kualitasnya brebet. Haha. 

Saat di awal memutuskan untuk tidak melakukan A-B-C bisa jadi menggunakan akal sehat/nalar aja, tapi saat perubahan sikap bisa terus menjadi pilihan (apalagi sambil dibarengi dengan meditasi), maka bisa dipastikan proses pemurnian jiwa berjalan. Berikutnya tinggal masalah konsistensi. Mau berkonsisten memilih mengubah sikap atau on-off, kalau on-off ya maju-mundur juga jalannya pemurnian jiwa tersebut.

Pengalaman otentik: Ariyanti si paling pencitraan dan ngeyel ini selalu over-thinking dalam berinteraksi di WAG, terutama yang ada Mbak Ay sama Mas Gurunya (dua orang yang dalam kalkulasiku harus dibaik-baikin – padahal juga mereka bisa ngeliat dalemanku yang sebenarnya, ya). Terutama sama Mbak Ay yang aku paling banyak interaksi karena hubungan atasan-bawahan di beragam lembaga dan mentor-murid di PM, super hobi bercaper, pencitraan, dan ngeyel. Bentukan perilakunya adalah enggan being apa adanya di WAG, enggan bilang nggak tahu, enggan punya pendapat yang berbeda dari crowd, dll. Nah, ini nih jadi yang paling urgent untuk aku beresin.

Karena lelah dengan mode kebanyakan mikir dan pekerjaan jadi macet-macet (mau menyelesaikan satu hal aja berattt bener), akhirnya aku memilih untuk surrender (pasrah), memaksakan diri untuk just comment when I want to, biarin deh mau dinilai apa. Dibilang bego, ya udah. Dibilang ruwed, ya memang. Dibilang nggak mampu, ya emang gitu kan kenyataannya.

Dari upaya-upaya kecil yang kulakukan setiap mau berinteraksi di WA, rasanya bertektok di WAG maupun dengan Mbak Ay jadi lebih ringan. Tektok tuh bisa fokus sama kontennya instead of sama sigelku sendiri, haha. Beban-beban pencitraan dan segudang prasangka terangkat. I guess ini bentuk pemurnian jiwa yang berjalan.

Sejujurnya ini masih proses sih, mampukah aku berkonsisten untuk terus memilih sikap yang tepat dibarengi sama meditasi. Nah, ini PR babonku – konsistensi. Kalau berhasil, ya pemurnian jiwa jalan terus, kalau on-off, PMS, ya udah babaylah, ‘mulai dari nol lagi ya, Kakak’.

Riza Habibi

Menurut pengalaman saya, perubahan sikap bukan pertanda proses pemurnian jiwa berjalan. Perubahan sikap adalah pilihan untuk menentukan sikap mana yang akan terus dilakukan dan yang tidak. Dalam kondisi tidak murni jiwanya sebenarnya masih bisa menentukan akan mengubah sikap yang tidak selaras atau tidak, hanya saja jauh lebih sulit menentukan perubahan sikap saat kondisi jiwa tidak murni. Di fase ini yang menentukan apakah proses pemurnian jiwa berjalan atau tidak dengan memilih membentuk lingkaran malaikat atau tetap hanyut dalam lingkaran setan. 

Proses pemurnian jiwa yang berjalan akan membantu jadi lebih mudah untuk bisa berpikir jernih dalam menentukan sikap karena lebih minim distorsi dari sigel.

Share:

Reaksi Anda:

Loading spinner
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda