
Pasti ada yang bertanya seputar ini, dan tak banyak yang bisa menjawab secara otentik. Kenapa? Karena jelas di muka Bumi ini tak banyak orang yang mencapai pencerahan dalam pengertian yang akurat sesuai tradisi spiritual kuna.
Banyak orang bicara pencerahan, baik mereka yang masih unyu-unyu maupun yang sudah kawakan di rimba raya spiritual. Tapi susah menemukan yang berani terbuka apa adanya bicara: “Saya sudah tercerahkan”. Umumnya ya sok rendah hati nggak mau menyatakan dirinya tercerahkan, tapi selalu sok tahu bicara tentang pencerahan dengan merujuk pada tokoh masa lalu dan masa kini yang dianggap tercerahkan – padahal belum tentu juga.
Saya termasuk yang pasti oleh banyak orang dianggap sombong dan halu karena berani berkata: “Sejak 2019 saya telah tercerahkan.” Saya juga tidak sungkan menjelaskan bahwa diri saya telah melewati beberapa fase pencerahan: shanaya, shambala, shangrila, shalala.
Padahal saya layak bicara tentang pencerahan karena telah mengalaminya – tak peduli Anda percaya apa tidak. Menjadi tercerahkan dalam versi saya adalah menjadi jiwa murni: jernih secara persepsi, emosi, karma dan energi. Berarti saya menyatakan diri saya telah berhasil menyirnakan luka batin, watak angkara, ilusi, dosa, dan jeratan kuasa kegelapan. Jika divisualkan, saya berhasil membuat tubuh halus saya kembali menjadi realitas cahaya tanpa noda. Inilah buah dari laku heneng, meneng, dan hening yang konsisten.
Sekali lagi, menyatakan hal seperti ini tentu bisa dianggap sebagai kesombongan dan kehaluan. Terutama oleh mereka yang pernah mengenal saya di masa lalu dan memang tahu betapa saya dulu saya sama ruwetnya dengan mereka, bahkan lebih bego. Tentu di luar imajinasi saya bisa mengalami perubahan yang total. Ada juga yang menyangkal pernyataan saya karena punya konsep sendiri tentang pencerahan dan mereka pikir saya tak masuk kriteria itu.
Apa pun itu, tidak mengubah realitas diri saya. Saya saat ini adalah seperti yang saya nyatakan, tak peduli ada orang yang percaya maupun tidak. Saya nggak mungkin jadi galau gara-gara ada yang menganggap saya halu dan tukang ngayal. Yang pasti saya membuktikan semuanya lewat kejeniusan dan konsistensi logika dalam semua tulisan, ceramah, dan buku saya. Plus tentu saja, lewat laku keseharian yang bisa disaksikan orang-orang dekat saya.
Lalu, yang kemudian penting dijelaskan, setelah tercerahkan, lalu ngapain? Bumi ini tempat belajar dan berkarya. Jadi meski sudah tercerahkan, orang bisa terus belajar karena pengetahuan yang ada di Bumi memang tanpa batas. Orang tercerahkan tak berarti dia tahu dan bisa segala hal. Orang tercerahkan tetaplah manusia dengan keterbatasan yang bisa dilampaui dengan belajar terus menerus.
Kemudian, perlulah ditegaskan bahwa orang tercerahkan justru punya tanggung jawab menata peradaban di Bumi. Inilah yang sering saya bahas tentang apa yang sedang kita kerjakan: “Kita sedang berada dalam perjuangan suci guna merealisasikan visi Bumi Surgawi“. Ini kerja raksasa. Maka saya butuh hidup minimal puluhan tahun lagi agar perjuangan suci ini ada hasilnya.
Maka saya – setelah tercerahkan – malah makin sibuk membangun persaudaraan, pergerakan dan bisnis. Mimpi saya: (1) Persaudaraan Matahari mengglobal, (2) Pusaka Indonesia dengan anggota jutaan orang bisa mengatasi beragam masalah di Indonesia mulai dari krisis pangan, air hingga krisis identitas budaya; (3) Bisnis saya juga membesar dan mengglobal. Inilah legacy yang hendak saya tinggalkan di ujung kehidupan di Bumi sebagai orang tercerahkan.
Setyo Hajar Dewantoro
Guru Kehidupan
16 Oktober 2025
Reaksi Anda:














