Mengingat Kembali Kejayaan Era Majapahit (Tribhuwana Tunggadewi)
Jika ditarik mundur, salah satu fase kejayaan dan keagungan kita ada pada masa Majapahit ketika dipimpin oleh seorang ratu yang tercerahkan, yakni Tribhuwana Tunggadewi. Itulah kehidupan yang penuh keselarasan, mulai dari level atas sampai bawah. Sang Ratu mengerti tentang kesadaran yang murni, hidup melampaui egonya, dan mengambil keputusan sebagai pemimpin berdasarkan tuntunan Diri Sejati. Dalam bahasa kebangsaan saat ini berarti mengambil keputusan dengan hikmat/kebijaksanaan. Apa pun yang diputuskan hanya mengikuti titah Gusti yang bertakhta di relung hati. Bukan karena kepentingan egoistik, desakan para cukong, atau desakan dari pikiran di luar negara yang berbeda kepentingan.
Selain itu, rakyat tidak disibukkan dengan ritual/tradisi yang tidak esensial. Yang dilakukan hanyalah hidup dalam keselarasan. Setiap orang betul-betul mengerti Gusti yang bertakhta di dalam diri.
Mempunyai cita-cita luhur mengembalikan bangsa ini kepada keagungannya, maka mau/tidak mau satu landasan dari kejayaan di masa lalu harus dimunculkan kembali, yakni kesadaran spiritual yang luhur. Tidak mungkin bangsa ini kembali kepada kejayaannya kalau kita tidak menjalankan revolusi spiritual atau revolusi kesadaran murni. Secara normatif, hal ini sudah dituangkan dalam agenda kebangsaan kita, yakni Pancasila sebagai dasar negara.
Baca Juga: Pancasila sebagai Formulasi Terwujudnya Bangsa yang Agung dan Jaya
Kesadaran spiritual di masa lalu sebenarnya sudah disarikan di dalam Pancasila. Mulai dari kesadaran tentang Tuhan yang dinyatakan secara eksplisit dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa“. Itu merupakan buah dari kesadaran orang-orang yang menjalankan laku keheningan sehingga mereka mengerti bahwa segala yang ada ini bersumber dari realitas yang sama. Tuhan yang sejati meliputi segalanya dan mengasihi semuanya dengan murni dan tanpa syarat.
Apa yang kita kerjakan pada saat ini dilihat dari perspektif yang lebih luas ada kaitannya dengan kepentingan bangsa. Yang kita lakukan ini adalah bagian dari proses agar bangsa ini kembali kepada jati dirinya. Jati diri yang dimaksud adalah:
1) Keberadaan Yang Sejati
Kembali ke jati diri berarti kembali kepada Yang Sejati atau Yang Esensial di dalam diri. Bagaimana Anda menemukan keilahian di dalam diri, hidup Anda selalu mencerminkan keilahian diri dalam segenap gerak pikir, kata, dan tindakan. Juga menjadi setia total kepada Diri Sejati/Roh Kudus.
2) Keagungan Budaya Luhur Bangsa
Keagungan budaya luhur bangsa ini pernah dipraktikkan secara masif dulu. Bangsa Nusantara pernah hidup dengan budaya luhur yang esensinya kasih murni. Setiap orang bisa mengalami keselarasan antara Mikrokosmos dan Makrokosmos. Setiap orang bisa menghormati tanah, air, dan Ibu Bumi. Setiap orang bisa guyup-rukun dengan sesamanya.
Selanjutnya, bagaimana kesadaran ketuhanan bisa memunculkan humanisme yang universal, kemanusiaan yang adil dan beradab?
Hal ini hanya bisa terjadi jika kita menyadari bahwa Tuhan ada di relung hati terdalam. Di dalam keheningan, kita bisa merasakan terus menerus terhubung dengan sumber kasih murni di dalam diri. Di sanubari kita akan penuh dengan kasih murni. Secara energi, tervisualisasikan ada teratai yang mekar. Tapi, ini bukan hasil bayangan pikiran, melainkan ini hasil dari laku. Ketika Anda konsisten ada di dalam keheningan, Anda mampu mengasihi semua orang dengan tanpa syarat; tanpa melihat latar sosial, agama, etnis, dan seterusnya.
Revolusi spiritual inilah yang sedang kita jalankan. Jika gerakan ini berhasil, maka ini akan menjadi pondasi bangkitnya kejayaan bangsa. Berapa persentase probabilitas keberhasilannya? Saya katakan 99,9% probabilitas untuk keberhasilannya.
Baca Juga: Bangkit Jiwa Ksatria Nusantara
Saya melampaui batasan-batasan fisik saya untuk terus bekerja menggelorakan revolusi spiritual di negeri ini. Hal ini dibuktikan dengan kepadatan jadwal mengajar saya yang ditempuh melalui perjalanan darat. Dalam sepekan ini saya ke Bali-Semarang-Jakarta-Bandung. Saya melampaui rasa capek karena saya hanya mempunyai kesetiaan total kepada Diri Sejati. Setiap saya mengajar dan memberikan wedaran, pasti saya jalankan dengan totalitas. Saya ada dalam peak performance. Itu buah dari kesetiaan total kepada Diri Sejati. Inilah yang saya ajarkan. Tidak dengan kata-kata saja, tetapi dengan keteladanan, dengan tindakan yang nyata yang silakan diikuti.
Kajian Mahadaya ‘Bangkit Jiwa-jiwa Ilahi’
Wedaran oleh Setyo Hajar Dewantoro
Reaksi Anda: