
“Mungkinkah menjadi guru meditasi sekaligus pebisnis?”
Ini pertanyaan yang layak diajukan. Karena menjalankan lakon sebagai guru meditasi sekaligus pebisnis, seolah menyatukan dua hal yang bertolak belakang. Menjadi guru meditasi berarti menjadi spiritualis, ahli kebatinan, yang harus menjauhi keduniawian dan menjaga kesucian. Sementara bisnis itu urusan duniawi, perkara materialistik, tentang meraih untung, dan bersama politik sering dipersepsikan sebagai dunia yang kotor. Bagaimana mungkin mengajarkan tentang kebersihan batin sembari terjun ke dalam lumpur duniawi?
Sekitar 20 tahun lalu, saya membaca buku yang sangat menarik berjudul Corporate Mystic. Buku karya Guy Hendricks dan Kate Ludeman ini membahas kiprah para pendiri dan pemimpin korporasi besar yang justru merupakan meditator, penekun kebatinan, sangat peduli soal etika, kebajikan, dan punya koridor moral dalam menjalankan bisnisnya. Tapi mistikus korporasi ini tidak mencakup orang yang menipu Tuhan di hari Senin hingga Sabtu lalu menipu Tuhan di hari Minggu.
Saat membaca buku ini, suatu saat saya membayangkan diri saya menjadi mistikus korporat kelas dunia. Namanya ngayal – ‘kan bebas….
Ternyata, apa yang dulu saya khayalkan, punya momentum untuk menjadi nyata. Setelah melewati masa-masa sulit selama belasan tahun, di tahun 2019 tidaklah berlebihan jika saya menyatakan diri atau dinyatakan sebagai mistikus. Karena semenjak saat itu saya bisa mengurai dengan dalam dan lugas berbagai misteri tentang diri, hidup, Jagat Raya, dan Tuhan. Lalu, saya mapan menjadi pembimbing kehidupan dan guru meditasi yang banyak muridnya dengan wadah Persaudaraan Matahari. Hingga tahun 2025 saya bisa membuktikan kapasitas saya sebagai mistikus kelas dunia dengan belasan buku dan ratusan video ceramah bertema spiritualitas dalam berbagai tradisi: membahas Suwung, Tao, Zen, Druid, hingga Ahura Mazda.
Saya terlebih dahulu menjadi NGO Mystic: aktivis-mistikus dengan mendirikan, memimpin, dan membesarkan Pusaka Indonesia, perkumpulan pergerakan kebangsaan yang berorientasi membangun kebudayaan yang sesuai jatidiri, keberdikarian ekonomi dan kedaulatan politik.
Dan kini, saya ada di fase awal sebagai corporate mystic. Saya menjalankan bisnis dengan membawa nilai-nilai saya sebagai seorang meditator dan praktisi kebatinan – mulai dari ketulusan, keadilan, hingga penghormatan pada Ibu Bumi. Sebagai pebisnis saya mencari untung dan sangat peduli pada break event point, return on investment, dan indikator kesuksesan bisnis lainnya. Tapi, saya juga sangat serius memastikan bisnis yang saya jalankan punya dampak pada pemberdayaan komunitas, peningkatan kesejahteraan bersama, juga sangat peduli pada dampak perbaikan terhadap lingkungan hidup. Tentunya, saya tidak menghalalkan segala cara untung dapat untung, tidak memeras keringat karyawan tanpa imbal balik yang memadai, tidak memberi ruang pada kejahatan dan keserakahan. Kompas moral saya dalam berbisnis adalah segala dorongan gerak dan titah yang muncul dari relung hati, yang bersumber dari Hingsun atau Diri Sejati. Saat berbisnis saya dunung alias mapan dalam kesetiaan penuh pada Gusti, saya tak punya dilema moral atau dilema etik, tidak juga menambah dosa dengan bisnis saya, karena saya menjalankan titah dan larangan dari relung hati dengan totalitas.
Saat ini saya sedang menggeluti bisnis di bidang agrobisnis, seperti menanam padi dan ternak ayam, agroindustri seperti produksi herbal dan healthy cookies, dan lainnya, lewat berbagai perusahaan. Saat yang sama saya konsisten mengajar meditasi dan ilmu kehidupan 2 kali seminggu.
Suatu saat mungkin saja saya menjadi mistikus di dunia politik yang saat ini sangat barbar. Who knows?
Setyo Hajar Dewantoro
Guru Kehidupan
21 Oktober 2025
Reaksi Anda:














