Skip to main content
JiwaSetyo Hajar Dewantoro

Surga dan Neraka

19 August 2019 SETYO HAJAR DEWANTORO No Comments

Surga dan Neraka

Siapa dan apa yang menentukan nasib atau keadaan seseorang yang “meninggal dunia”? Saya jawab dengan lugas, yang menentukan adalah dirinya sendiri dengan mengacu pada matematika semesta yang adil, pasti dan presisi. Bahkan yang menentukan bukanlah Tuhan jika Dia kita asumsikan sebagai sosok di luar diri yang bisa punya rasa suka dan tidak suka, punya perkenan atau tidak. Adalah sebuah ilusi jika kita membayangkan bahwa kita bisa masuk surga atau neraka berdasarkan keputusan Tuhan yang bisa Dia buat dengan suka-suka.

Sebentar, benarkah surga dan neraka itu ada?

Begini, sejauh yang saya mengerti, kematian hanyalah momen perpindahan dimensi. Kita sekarang ada di dimensi 5. Saat meninggal kita memasuki dimensi yang sesuai dengan tingkat kesadaran dan kejernihan jiwa kita. Agama, afiliasi kelompok dan label apapun tidak berpengaruh sama sekali terhadap nasib sang jiwa.

Jiwa yang kurang berkesadaran dan kurang jernih, bisa terjatuh ke dimensi 4 ke bawah. Inilah yang sejatinya disebut neraka. Mereka yang cukup berkesadaran dan jernih jiwanya bisa masuk ke dimensi 12-27 yang disebut sebagai alam cahaya. Inilah sejatinya surga. Yang pas-pasan kesadarannya masuk ke dimensi 6 dan bersiap2 kembali terlahir di bumi dalam ikatan tumimbal lahir. Yang menemukan pencerahan paripurna, bisa menjangkau dimensi 28-31. Inilah mereka yang disebut mencapai moksa.

Mereka yang telah terhubung penuh kepada Diri Sejatinya dan terbuka rasa sejatinya, bisa menyaksikan bagaimana nasib jiwa yang meninggal dunia. Kita bisa mengetahui secara visual, audio, rasa atau pengertian. Contoh, yang tajam visualnya bisa melihat film tentang jiwa seseorang, apakah berada dalam samudera cahaya yang Indah, atau justru terjerat dalam penjara makhluk2 dimensi bawah yang menyeramkan. Yang tajam rasanya, bisa tahu apa yang dirasakan oleh jiwa seseorang: damai dan bahagia, atau menderita, nelangsa.

Dengan demikian, sangat wajar jika seseorang meninggal, mereka yang rasa sejatinya telah hidup bisa mengerti bagaimana nasib sang jiwa. Mereka tidak sok tahu dan mendahului kehendak Tuhan, hanya membaca realisasi kehendak Tuhan dalam bentuk matematika semesta yang adil, pasti dan presisi.

Lebih detail bisa diketahui, yaitu mereka yang bisa masuk ke alam cahaya, adalah mereka yang tingkat kesadaran terbilang tinggi, dengan kejernihan tubuh emosi, tubuh energi, tubuh karma dan tubuh pengetahuan mendekati 100%. Justru yang bisa seperti ini adalah yang tidak melekat pada dogma dan institusi agama apapun, adat dan tradisi apapun, serta merdeka dari jeratan kuasa supranatural dari dimensi bawah.

Sejauh saya mengerti, Tribuana Tunggadewi bisa menjangkau dimensi 29. RM. Sosrokartono bisa menjangkau dimensi 25. Mereka punya jiwa yang murni. Sementara banyak orang yang terbilang terkenal, justru terjerrmbab di dimensi 1 dan 2.

Saat ini, orang-orang di Skandinavia banyak yang masuk ke alam cahaya, karena mereka cenderung spiritualis, hidup dalam kewelasasihan dan selaras dengan alam/Ibu Bumi. Sementara orang Indonesia meski telah banyak didoakan, tak sedikit yang terjerat di dimensi 1,2 atau jadi arwah gentayangan di dimensi 4. Mengapa? Karena sangat melekat pada dogma dan institusi agama, sekaligus karena banyak yang bermain-main dengan kuasa supranatural dari dimensi rendah.

Jika ada sudah tahu matematika semesta yang membingkai perjalanan jiwa, maka urusannya jadi sederhana: murnikan jiwa, lalu hadapi kehidupan dan kematian dengan senyum yang merekah.

Rahayu

SHD

Share:
×

Rahayu!

Klik salah satu tim kami dan sampaikan pesan Anda

× Hai, Kami siap membantu Anda