Bagaimana kita mempraktikkan nilai-nilai spiritualitas dalam keseharian?
Setiap manusia itu lumrah punya keinginan, apa pun bentuknya. Tapi, secara faktual dengan satu dan lain sebab, keinginan itu belum tentu bisa terrealisasi. Orang yang sudah belajar keheningan, seyogyanya bisa menerima kejadian apa pun tanpa sebuah pemberontakan. Kalau apa yang kita inginkan tidak terjadi, ya sudah, berarti bukan jatah kita. Tidak usah marah, tidak usah ngersulo (mengeluh), tidak usah kecewa. Kalau tidak terwujud keinginan berarti anugerahnya didatangkan lewat cara yang lain. Tetapi, karena kita selama ini heningnya belum serius, belum sungguh-sungguh, cuma merem, tetapi egonya belum diluruhkan.
Ego itu muncul ke permukaan di dalam keseharian. Begitu ada yang membuat kita merasa keinginan tidak terpenuhi, kita marah atau kecewa. Itulah ego yang sedang bermain. Ngambek, pundung, dan segala macamnya itu adalah manifestasi dari ego. Ego itu dibentuk dari apa? Dari pikiran. Bukan berarti kemudian Anda jadi tidak punya pikiran. Tetapi, laku spiritual itu membuat Anda bisa betul-betul mengelola ego Anda. Yakni, ego ditumbuhkan kepada Yang Sejati/Diri Sejati lewat tindakan penerimaan dalam segala hal.
Banyak pembelajar meditasi itu tidak meditatif di dalam kehidupan sehari-hari sehingga surganya itu hanya muncul dalam meditasi, terutama kalau bertemu dengan saya. Setelah itu bubar.
Inilah sebetulnya PR buat Anda semua dan ini tanggung jawab Anda semua, bukan tanggung jawab saya. Saya tidak bisa membuat Anda bahagia sepanjang hari karena itu adalah sesuatu yang Anda pilih, bukan yang saya pilihkan. Saya sudah memberikan panduan, selanjutnya Anda yang memilih dari waktu ke waktu untuk mendapatkan kebahagiaan itu. Mau susah/mau senang, kita yang memilih. Itulah manifestasi dari kebebasan berkehendak di dalam diri kita.
Saya betul-betul mengajak Anda untuk terus menerus menjadikan napas kita sebagai poros/jangkar kesadaran. Pikiran terus dibawa ke napas, tapi bukan spaneng mikirin napas. Jangan salah tafsir. Begitu kita menikmati napas, sebetulnya secara spontan kita juga bisa menikmati yang lain, kecuali kalau spaneng. Spaneng pasti tidak membuat kita bisa menikmati yang lain. Kalau kita bisa menikmati napas, kita bisa menikmati secangkir teh manis, keindahan sekitar, senyuman orang lain, dan seterusnya.
Konsistensi Anda di dalam menjalankan laku keheningan ini, kapan pun dan di mana pun, itu yang bisa betul-betul memelihara kemurnian jiwa dan menjadi pemicu Anda semakin murni dan semakin bertumbuh kesadaran spiritualnya.
Saya dan tim sedang melakukan riset tentang bagaimana sebetulnya orang bisa kesambet, bagaimana orang bisa konsisten dalam kejernihan, juga bagaimana orang bisa konsisten kesambet tiada henti. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi, di antaranya’
- Orang itu akan cenderung konsisten ada di dalam kemurnian jiwa kalau dia tahu cara hening yang benar.
- Pengetahuan dia tentang keheningan ini dipraktikkan dengan konsisten/tekun. Dengan ketekunan ini lama-lama kualitas keheningan sepanjang waktunya akan meningkat. Bangun tidur hening, nanti aktivitas di mana pun, seperti di kantor, pasar, kita hening. Sore sudah mulai santai, kita hening lagi, bertemu dengan siapa pun kita hening, mau tidur kita hening.
Konsistensi dalam semua proses itu yang akan membuat kualitas keheningan kita ini meningkat. Dan, ini yang menciptakan keterhubungan yang semakin utuh dengan Diri Sejati. Buahnya adalah kita menjadi punya kekuatan pelindung yang membuat kita itu tidak akan “kesambet”.
Sebaliknya, bagaimana orang kesambet? Karena kebanyakan mikir, dia lupa menikmati anugerah yang nyata di dalam napasnya. Di dalam segala yang ada, pikirannya berkelana ke sana ke mari, penuh dengan prasangka ini dan itu, egonya yang tumbuh. Itulah awal mula Anda kesambet. Karena rumusnya sudah jelas, maka silakan Anda praktikkan. Kapan pun, di mana pun, dinikmati hidup ini, napas ini, segala anugerah yang ada.
Termasuk kalau omset Anda turun, tenang/kalem. Kalau situasi ekonomi sedang slow down, tidak perlu heboh juga. Itu siklus yang lumrah. Dan, tentu saja ada banyak variabel yang mempengaruhinya. Tinggal kita temukan variabel yang bisa kita kelola sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Yang pasti, kalau ada orang yang sedang down ekonominya itu tidak mesti linear dengan down secara spiritual. Faktanya, ada yang spiritualitasnya sedang ditumbuhkan, ekonominya lagi diturunkan. Ini berarti yang bersangkutan sedang dibawa kepada fase baru, yakni harus meninggalkan pola lama untuk memasuki pola baru yang lebih waras menuju keberlimpahan dengan cara yang baru. Jadi, jangan langsung men-judge kalau orang itu lagi tipis dompetnya, “Wah, ini lagi nggak bener, banyak dosa”. Belum tentu. Jangan sok-sokan karena ada juga yang dompetnya semakin tebal, bukan berarti spiritualitasnya benar, tapi pesugihannya lagi jalan. Makanya, hati-hati dalam menilai orang, jangan sembrono. Apa pun kondisinya, sudahlah. Siklus itu pasti berjalan, tidak bisa terus sama. Wajar.
Wedaran oleh Setyo Hajar Dewantoro
Kajian Bandung, 24 Oktober 2021