Secara ideal saat kita belajar spiritualitas, tentu kita menemukan kebenaran sejati dan berada di jalan keselamatan. Tetapi, faktanya yang dialami oleh banyak orang yang belajar spiritualitas berbeda dengan idealitasnya. Sekian lama belajar spiritual, tapi tidak mengerti tentang kebenaran sejati. Mereka juga tidak menemukan jalan keselamatan. Inilah yang kita sebut sebagai “Nyasar di Jalan Spiritual”. Tema ini diangkat karena ini menjadi fenomena yang harus dimengerti agar kita tidak terjebak dalam fenomena ini. Siapa pun yang belajar spiritual/meditasi/keheningan, sewajarnya menemukan kebenaran dan keselamatan.
Apakah kebenaran itu?
Kebenaran adalah kenyataan sebagaimana adanya. Kenyataan itu termasuk dalam kategori kebenaran jika selaras dengan kenyataan sebagaimana adanya, tanpa bias persepsi apa pun. Contoh, sebuah kebenaran saat kita mengatakan bahwa udara yang segar atau oksigen yang murni dibutuhkan untuk menopang daya hidup kita. Karena dari sanalah energi hidup/prana/chi itu ada dan mengalir bekerja di dalam tubuh kita. Itu dikatakan sebagai kebenaran karena demikianlah kenyataannya.
Dalam persoalan yang lebih kompleks, kita katakan bahwa Tuhan adalah keberadaan yang tanpa batas yang meliputi segala yang ada. Apakah ini merupakah kebenaran? Pernyataan ini tidak akan bisa diverifikasi selama kita hanya menggunakan pendekatan empirik. Mata kita tidak akan bisa melihat Tuhan, tubuh/tangan kita tidak bisa menyentuh keberadaan Tuhan. Tetapi, melalui jalan keheningan dan penggunaan logika yang konsisten, maka kita bisa membuktikan bahwa pernyataan tersebut adalah kebenaran.
Saat kita betul-betul masuk ke dalam diri, kita terhubung dengan Diri Sejati. Diri Sejati membuat kita bisa menyelami realitas yang berlapis-lapis, realitas yang multidimensi sampai pada keberadaan yang menjadi asal mula dari segala yang ada. Dalam bahasa manusiawi, kita menjuluki asal mula yang ada sebagai kekosongan yang absolut. Kekosongan ini yang meliputi segala yang ada sekaligus yang menjadi esensi dari segala yang ada. Inilah kenyataan sesungguhnya tentang Tuhan. Tuhan bukan sosok yang punya emosi (bisa marah/senang) terkait dengan keberadaan manusia yang melakukan tindakan tertentu. Tuhan adalah impersonal, keberadaan yang tanpa sosok. Dia keberadaan yang meliputi segala yang ada.
Saat kita mengungkapkan hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, maka kita ada dalam kesalahan. Jika kita mengatasnamakan spiritualitas untuk mengungkapkan kesalahan ini dan menganggapnya sebagai kebenaran, inilah pertanda kita nyasar di jalan spiritual.
Dari mana datangnya kesalahan ini? Kenapa kita bisa nyasar secara spiritual?
Karena kita tidak sungguh-sungguh ada di jalan spiritual/keheningan. Apakah kalau kita memejamkan mata, duduk bersila, kita selalu ada dalam keheningan? Belum tentu. Banyak orang yang memejamkan mata duduk bersila, pikirannya sangat tegang. Ia terjebak dalam ketegangan pikirannya itu. Dalam ketegangan itu, ia tidak akan bisa menyingkap kebenaran sebagaimana adanya. Ada juga yang duduk memejamkan mata dalam posisi duduk bersila, ia malah sibuk dengan pikirannya yang melayang ke sana ke mari. Ia malah memfungsikan imajinasinya, ia mencipta realitas di dalam pikirannya, mengkhayalkan sesuatu. Walaupun ia terlihat bermeditasi, sejatinya ia tidak bermeditasi. Meskipun terlihat memejamkan mata, sesungguhnya ia tidak ada di dalam keheningan.
Dalam beberapa kasus tentang orang yang mempersepsi pengalamannya sebagai kebenaran. Contoh, ia menciptakan realitas tertentu atau sosok tertentu di dimensi yang berbeda. Padahal ia tidak bertemu, hanya mencipta di dalam imajinasinya. Ketika ia menganggap pengalamannya sebagai kebenaran, maka ia ada di dalam kondisi halusinasi. Halusinasi adalah sesuatu yang pasti terjadi pada siapa pun yang tidak hening, sibuk dalam imajinasinya, tanpa kesadaran yang murni. Ketika dianggap sebagai kebenaran, inilah contoh orang yang terjatuh dalam kondisi nyasar, walaupun labelnya menekuni jalan spiritual.
Pikiran kita dalam kondisi yang tidak terhubung penuh dengan Diri Sejati itu bisa dipengaruhi dan dimanipulasi oleh makhluk-makhluk yang punya kemampuan memanipulasi realitas. Ia bisa menciptakan gambar-gambar tertentu dalam imajinasi kita dan kita menganggapnya sebagai kebenaran. Inilah cikal bakal kondisi halusinasi. Kita berhalusinasi tetapi merasa ada di dalam kebenaran.
Kita harus bisa menyelami kebenaran yang sesungguhnya agar tidak terjebak dalam kebenaran yang palsu. Banyak orang terjebak ketika ia merasa mendapatkan wisik (bisikan) tertentu dari makhluk supranatural. Ia merasa mendapatkan kebenaran yang sejati. Padahal ia tidak dalam kondisi hening/jernih, ada banyak faktor distorsi yang membuatnya mengalami pembiasan persepsi terhadap realitas. Yang ditangkap sebagai kebenaran, sejatinya bukanlah kebenaran.
Misalnya, ia merasa mendapatkan bisikan (wisik) dari Eyang Semar, apakah ini benar? Belum tentu. Ketika ia tidak dalam keheningan yang maksimal, tidak betul-betul jernih, ada banyak faktor distorsi, maka tidak bisa dipastikan bahwa mereka yang mengaku mendapat wisik dari makhluk supranatural itu pasti ada dalam kebenaran, meski dikesankan sebagai makhluk dari dimensi luhur. Sebaliknya, banyak orang yang mengalami fenomena ini, sebenarnya ada di dalam kondisi nyasar di jalan spiritual.
Yang lebih halus adalah ketika orang-orang merasa mendapatkan tuntunan dari Diri Sejatinya, merasa mendapat bisikan dari relung hatinya sehingga dianggap itulah sabda dari Tuhan yang bertakhta di dalam diri. Padahal karena diri tidak jernih, di dalam relung hatinya ada penyusup, itu tidak menjadi kebenaran sejati. Sabdanya adalah sabda dari Diri Sejati yang palsu. Tentu saja mereka yang mengalami hal ini disebut sebagai orang yang nyasar di jalan spiritual.
Wedaran oleh Setyo Hajar Dewantoro
Webinar Bisakah Nyasar dalam Berspiritual?
18 Juli 2021